Dec 30, 2010

Mari Bicara Tentang NARSIS

Dialog

Saya: iya donk, kan anak psikologi, jadi lebih peka sama lingkungan.

Teman saya: Narsis



Cerita

Suatu kali membuka mbah gugel dengan mengetik ABG Narsis dalam kategori gambar, kemudian hasil yang ditampilkan adalah foto-foto individu dalam rentang usia remaja dengan gaya berfoto melihat keatas, tersenyum, disertai menempelkan satu jarinya di mulut atau sembari manyun-manyun tidak jelas atau hasil berucap ”unyu-unyu” (kata-kata yang sampai sekarang tidak saya pahami maknanya).



Benarkah itu makna dari narsis?



Mari kita cari tahu makna narsis dari literatur sejarahnya:

Banyak versi mengenai sejarah Narsissus, satu yang saya pilih adalah kisah tentang Narcissus yang sedang berburu kijang di hutan, saat ia merasa haus kemudian bermaksud mengambil air di sebuah danau, sampai terpantulah bayangan dirinya yang tampan di air danau tersebut, ia tak mau menyentuh air danau tersebut karena takut merusak bayangan yang ada pada permukaan airnya, ia terpesona, ia jatuh cinta dengan bayangan dirinya yang terpantul di air hingga tak sampai hati menyentuh air danau. Narcissus kemudian meninggal dalam keadaan memandangi dan mencintai bayangannya sendiri.



Karena terpesona dan kecintaan narsissus dengan bayangan dirinya itulah, selanjutnya penyimpangan perilaku dengan ciri kecenderungan berbangga lebih terhadap diri sendiri disebut sebagai narsissus disorder.



Dalam kajian psikologi, narsistik adalah konsep diri yang terlalu melambung, dalam buku Alexander Lowen (Denial of The True Self) menyebutkan bahwa secara psikologis seorang individu dikatakan narsis ketika ia telah sangat berjuang untuk membangun citra atas dirinya hingga mengorbankan diri mereka sendiri, seringkali berlaku menipu demi penampilannya di mata orang lain. Tindakan dan perilakunya seringkali tanpa melalui proses pikir, cenderung manipulatif, egosentris, sangat ingin memiliki atau menguasai, seringkali tidak jujur dalam membawa diri, dan cenderung tidak bertangungjawab (Lowen, 1985).



Perilaku narsis disini cenderung dikatakan sebagai penyimpangan (disorder) ketika ia mulai merugikan orang lain. Bayangkan seorang yang berperilaku narsissus disorder seringkali menganggap bahwa dirinyalah yang paling benar, apa yang ia persepsikan dan asumsikan pastilah sesuai dengan kenyataan, ia tidak lagi memperdulikan pendapat lingkungan yang akhirnya berujung pada paham egosentrisme yang memperlakukan dunia dengan tolak ukur dirinya. Ia kemudian merusak ikatan sosial dan mendistorsi sikap terhadap masa depan terkait pada estimasi (memperkirakan dan membaca rencana suksesnya).



Dalam studi psikologi, interaksi sosial mereka yang memiliki kecenderungan perilaku narsistik digambarkan dengan sebuah hubungan yang tidak menyamankan orang lain, mereka cenderung memiliki fantasi akan ketenaran atau malah kekuasaan, seringkali merespon kritik yang sampai ke dirinya dengan amarah dan penjalasan panjang tentang apa yang telah dicapainya atau dicapai orang disekitarnya, kadang malah sampai bersikap merendahkan orang lain yang dianggap mengancam posisi dirinya untuk tetap tampil sempurna (dalam standar dirinya). Mereka yang narsistik juga kurang mampu menjaga komitmen dan memberikan perhatian dalam interaksinya dengan orang lain, secara yang diperhatikan olehnya terbatas pada dirinya.



Bisa ditebak, dalam bahasa awam siapakah mereka yang narsis? Mereka yang narsis adalah mereka yang sombong sampai mengganggu orang lain, tidak memiliki tolak ukur yang masuk akal dan sesuai proporsi dirinya, mereka yang sering menjelekkan dan merendahkan orang lain (bisa jadi secara verbal sampai dengan perilaku) guna melindungi dirinya yang merasa terancam (dalam standar dirinya, padahal mungkin bagi orang lain keadaan itu biasa saja), yang seringkali tak mengindahkan orang lain saat akan mewujudkan pengamanan atas diri, “yang penting saya merasa bahagia, yang lain bodo amat,” mungkin itu penjelasan mudah mengenai cara berpikir para narsistik.



Karakter seorang yang mengalami narsissus disorder tidak dapat langsung terlihat, banyak indikator perilaku yang harus dicapai, tapi secara kilat bisa kita ukur melalui sikap seorang yang dengan renyah meremehkan dan atau merendahkan orang lain guna meninggikan dirinya dalam percakapannya, tentu saja tidak hanya dalam konteks verbal tapi juga bahasa tubuh dan sikapnya, mereka yang seringkali tidak mau dan tersinggung ketika mendapat nasihat apalagi bila sampai ditegur.



Sayangnya saat ini dalam masyarakat kita, konsep narsistik sedikit banyak telah bergeser maknanya, terkadang secara dangkal dihubungkan dengan gaya berfoto atau sikap kekanak-kanakan para individu yang memang belum memasuki masa dewasa, atau malah dihubungkan dengan lelucon mengenai orang yang memiliki kepercayaan diri, seperti yang saya gambarkan melalui dialog pembuka note ini.



Perlu dipahami, narsistik memiliki beda dengan percaya diri, mungkin secara gampang bisa kita sebut narsistik sebagai percaya diri yang berlebihan (ke–PD-an). Namun, sebenarnya percaya diri adalah sesuatu yang masih sangat dibutuhkan seseorang untuk mejalin interaksi sosial, berbeda dengan narsistik yang akan merusak interaksi sosial. Percaya diri dalam porsi yang tepat adalah memahami kemampuan yang dimiliki oleh diri, meyakini bahwa diri mampu dengan telah mengukur kapasitas, memprediksi kuantitas, dan mengetahui kualitas atas diri dengan baik dan berimbang.



--------------------------------------------------------------

Sedikit pembetulan tentang makna narsis yang seringkali dimaknai dangkal, narsis adalah sebuah penyimpangan perilaku, jangan dengan mudah kita melabelkan diri dengan istilah narsis, karena kata adalah doa. Narsis adalah sebuah kesombongan atau sikap takabur, yang tak pernah diajarkan, yang tak pernah menyamankan.



By the way... bercermin pada diri, adakah ciri narsistik yang pernah atau sering kita lakukan?



Dapus:

http://www.e-psikologi.com/epsi/klinis.asp



Dec 22, 2010

Kenapa Komunis (Marxisme dan Leninisme) ditolak keberadaannya?

Malam-malam dapet order diskusi, tidak tanggung-tangung bahasannya komunisme. Jujur saat itu pengetahuan saya minim mengenai hal tersebut walaupun siang harinya baru saja membaca sekilas mengenai atheis dan agnostik, paling tidak saya punya rambu sampai mana paham komunisme boleh dimaklumi.
Sebagian besar rakyat Indonesia yang awam pastilah mengira komunisme adalah sebuah paham anti Tuhan, padahal paham ini sebenarnya bermula pada kekecewaan rakyat terhadap perekonomian negara, kecurangan yang diusung oleh konsep kapitalisme yang semakin mengkayakan si kaya dan memiskinkan si miskin. Komunisme lahir sebagai reaksi terhadap kapitalisme di abad ke-19, yang pemerintahannya mementingkan individu pemilik dan mengesampingkan buruh, sedangkan berkembang di indonesia sejak pecah perang kemerdekaan setelah pemerintahan berdiri, mungkin ingat pemberontakan PKI Madiun tahun 1947.
Baiklah, maksud teman diskusi saya kali ini adalah meluruskan konsep mengenai komunis yang bersumber pada ajaran Marxisme dan Leninisme. Pada awalnya saya masih berkutat dengan pemaknaan bahwa komunis pastilah atheis, tapi ternyata ya saya akui ada beberapa tokoh komunis Indonesia yang masih menerima konsep agama dalam kehidupan mereka, sebut saja Tan Malaka dan H. Misbach. Konsep komunis yang diusung lebih menekankan pada konsep perekonomian, jadi komunis merupakan sebuah ideologi yang mengusung kepartaian dalam penyelengaraan negara yang akan mengatur aset-aset urgen untuk mencapai kesejahteraan rakyat, begitulah yang saya tangkap tentang penjelasan mengenai konsep dasar komunisme.
Lalu dengan polos saya bertanya, mengapa kemudian terhubung dengan konsep atheis yang mengakibatkan komunis ditolak mentah-mentah oleh banyak tokoh di Indonesia? Menurut teman saya ini adalah bentuk rekayasa pemerintahan Soeharto sebagai antek kapitalisme untuk menghancurkan konsep komunis yang sebenarnya, penolakan agar aset negara terkelola dengan baik, agar nantinya aset-aset berharga bisa dipegang dan dieksploitasi oleh orang kaya yang menjadi kolega Soeharto. Ya terbukti, lihat saja Freeport yang dikontrak selama 90 tahun, hehehe.
Apakah iya hanya itu? Padahal banyak ulama pun menolak ajaran komunis berkembang di Indonesia. Saya berulang kali bertanya, tapi tidak mendapat jawaban memuaskan sampai akhirnya tersebut sebuah dasar filsafat yang mendasari ajaran Marxisme dan Leninisme yaitu filsafat Materi.
Secara sederhana, filsafat materi adalah sebuah konsep pikir yang berujung pada ukuran materi dan mengenyampingkan metafisika, saya jadi teringat mengenai atheis dan agnostik yang baru saja saya baca. Inilah yang ditakutkan para tokoh Islam mengenai perkembangan ajaran Marxisme dan Leninisme di Indonesia.
Sangat mungkin banyak yang tidak mau paham dengan apa yang dikirkan teman saya ini mengenai konsep Merxisisme dan Leninisme sehingga pastilah saat ia mengungkap bahwa ia sedikit menerima konsep komunis dalam perekonomian Indonesia, terjadi banyak penolakan. Sebenarnya keinginan sederhananya adalah karena ia baru saja menemukan sebuah sisi positif mengenai komunis yang ingin mensejahterakan rakyat sehingga konsep itu setidaknya tidak langsung di tolak keberadaannya.
Dalam diskusi tersebut banyak ungkapan mengenai kejadian 30 S PKI tahun 1960 yang ia sebut sebagai rekayasa berlebihan, mengenai pembantaian PKI terhadap jendral dan masyarakat awam, ia sebutkan kondisi tersebut tak lebih dari cara Soeharto Untuk memunculkan diri sebagai pembawa panji kebenaran agar bisa masuk dalam pemerintahan sebagai antek terselubung kapitalisme. Tuntutan teman saya adalah pengembalian nama baik atas korban dan keluarga yang tertuduh sebagai anggota PKI yang terenggut hak asasinya sebagai warga negara.
Saya teringat dengan sepupu ibu saya yang ayahnya dituduh menjadi tokoh PKI, yang sampai hari tuanya sekarang pun tidak pernah merasakan nikmatnya bangku pendidikan. Miris memang. Untuk kasus-kasus seperti itu bisa saya terima secara pikir dan hati, tapi ketika ia mulai menyebut bahwa TAP MPR yang melarang masuknya ajaran Marxisme dan Leninisme itu perlu diubah, ooowh saya mulai panas menanggapinya. Bagaimana mungkin kita bisa menerima ajaran itu masuk kembali ditengah arus pikir dunia barat yang menjujung liberalisme dan pragmatisme telah merasuk dalam pikiran pemuda. Apakah tidak akan menambah panjang daftar PR pembenahan negara yang sudah morat-marit moralnya?
Penerimaaan atas sebuah konsep oleh pemuda bukanlah sebuah proses pendek yang kemudian akan mudah melahirkan positivisme bagi perkembangan bangsa. Individu yang mendapatkan konsep baru mengenai ideologi biasanya berasal dari kelompok usia remaja akhir atau dewasa awal dan secara kognitif idealime pribadi yang dimiliki masih sangat tinggi sehingga sangat mungkin ketika menemukan konsep ideologi atau idealisme baru, individu pada rentang usia tersebut akan berusaha optimal dalam mengimplikasikan konsep tersebut dalam kehidupannya.
Lalu apa yang terjadi jika ajaran Marxisme dan Leninisme dibiarkan masuk kembali ke Indonesia, ditengah pendidikan agama mengenai konsep ketuhanan terkerdilkan menjadi hanya bentuk-bentuk ritual? Pemuda kita yang sedari kecil seringkali tidak dengan baik mengenal Tuhannya harus bertemu dengan konsep filsafat materi yang mempertanyakan metafisika dengan ujung pertanyaan terhadap keberadaan tuhan yang masuk dalam metafisika, karena memang materi manusia tidak bisa menjangkau materi Tuhan. Haaaaaah...
Baiklah, mungkin kawan saya ini ingin mengambil sisi positif dari sebuah konsep (sekali lagi saya sebutkan itu), tapi perlu pemikiran dan pertimbangan panjang mengenai dampak yang akan timbul. Dalam pembenahan ekonomi tersebutlah ekonomi syariah, mengapa harus mengembangkan teori ekonomi komunis bila kita bisa mengembangkan ekonomi syariah. Toh dalam perjalanannya ideologi komunis hancur bukan karena serangan orang luar, melainkan orang dalam. Para tokohnya menjadi korup, aset-aset negara yang begitu menggiurkan berada di tangannya hingga akhirnya kapitalisme masuk kembali ke dalam pikirannya. Lalu dimana kebaikan komunisme itu...(wah panas ini... maaf saudaraku, aku tak lagi diam mendengar pahammu mengenai marxisisme dan leninisme). Okelah, mungkin ada sisi positif yang ditawarkan agar kaum buruh dan orang miskin diperhatikan, tapi selanjutnya sungguh materi begitu sangat menggiurkan dan tanpa dekat dengan Tuhan rayuan syaitan begitu mudah menghanyutkan.
--------------------------------------------------------------
Maka yang perlu dibenahi jangka panjang adalah kelurusan akidah setiap pemuda muslim, bisa gak sih pemantapan mengani konsep Ketuhanan di masukkan dalam kurikulum sekolah, jadi gak hanya melulu masalah ritual keagamaan, ya walaupun ritual juga dibutuhkan.
Kayaknya mentoring guna nih, semoga para pementornya lulus salimul akidah dan cerdas ya, jadi kalo ada bibit mahasiswa yang tertarik dengan filsafat bisa ditanggulangi hee...
-------------------------------------------------------------
Namun, diantara kekagetan saya dengan pemikiran baru teman saya, saya sangat menghargai proses belajarnya, jelas bukan orang dengan kecerdasan dibawah rata-rata yang mau membahas konsep seperti ini, bukan juga mereka yang punya karateristik tidak peduli dengan lingkungan, hanya saja sedikit belum panjang memperhitungkan dampak... ok kita semua belajar. Diskusi dengan dirimu pun membuatku belajar.
No limit to learn and move (jargonnya Kelompok Studi Pengembangan Psikologi Islami)

Dec 4, 2010

Menimbang Ukhuwah

Menimbang Ukhuwah



Beberapa kali aku ingin menulis tentang ukhuwah, tapi berkali gagal mungkin karena sedikit banyak aku sedang menyiakan ukhuwah yang diamanahkan. Seberapa manisnyakah ukhuwah? Aku tuliskan sedikit cerita tentang ukhuwah yang menopang kehidupanku hingga aku bisa berdiri tegak di sebuah kota asing selama empat tahun belakangan.



Aku menemukan mereka ketika menjadi sebatangkara di sebuah kota asing. Mungkin dalam ukhuwah ini, sering kali aku menjadi tokoh antagonis yang membuat mereka tidak nyaman, kadang menjadi sangat keras dan banyak menuntut pada mereka yang aku anggap mampu memberikan sesuatu yang lebih baik dari apa yang mereka berikan. Esensi ini tidak pernah aku buka, biarlah seakan aku yang paling aneh, asal ujungnya adalah kebaikan bagi semua, tak menjadi masalah.



Memuncak ketika typus meyerang tubuhku yang memang sering sakit, aku pahami ukhuwah itu benar manis. Semenjak kuliah dan jauh dari rumah, sedikitnya tiga penyakit kronis ala mahasiswa menempel di tubuhku, seringkali pulang dengan keadaan dekil dan kulit menghitam yang kadang menjadi pertanyaan ibu padaku, “hehe hasil hidup jauh dari perawatan ma...” celetukku. Seketika aku merasakan betapa hebat ukhuwah itu, selalu ada yang mau mengantarku ke dokter, menunggui di rumah sakit, membawakan kasur dan karpet untuk alas tidur bapakku, menjadi pelawak di kamar rawat inap, menjadi supir ojek dadakan untuk bapak yang harus bolak-balik mengurus ASKES dan biaya rumah sakit, sampai jadi agen tiket kereta.



Aku mulai menimbang ukhuwah ini.



Ketika rasa kecewa, sedih, marah mulai memasuki hati yang kosong, aku mencari-cari maafku untuk kesalahan kecil yang mereka lakukan.



Padahal dibanding rasa itu, berapa banyak kebahagiaan yang terhadirkan saat bersama mereka.



Teringat ketika aku mulai mengenal organisasi di tingkat universitas yang ternyata lebih dingin dari apa yang aku bayangkan sebelumnya, hipotermia akan kehangatan organisasi menyerang hati dan otakku. Tahun pertama aku di organisasi itu, saat lokakarya, aku kirim SMS kepada satu persatu teman seperjuangan di fakultas, aku memilih bolak balik ke tempat wudhu untuk menghapus air mata yang jatuh tanpa kompromi dulu dengan otak. Di hari kedua, aku memperjuangkan kebersamaan bersama mereka, ngawul dan berteriak bersama, berpeluh dan tertawa, meninggalkan dua jam lokakarya, hanya untuk bersama mereka. Atau tentang seorang yang menawarkan bantuan agar rasa dingin itu berkurang, terimakasih aku tersanjung sungguh (mungkin orangnya sudah lupa hehe). Atau tentang dua hari bersama seorang yang sakit giginya, yang berbahagia karena kembali menjadi bayi dan menikmati belaian uminya. Atau tentang hari-hari bersama fans berat einstein dan doraemon yang kesal di hari wisudaku karena telponnya tidak aku angkat.



ingat juga dengan sebuah perjanjian bersama mereka, di depan pintu syurga. Kami akan saling menunggu agar bisa masuk bersama-sama karena ukhuwah kami, akan menjadi pembela ketika ibu bendahara kami tertahan akibat utang-piutang yang belum terselesaikan. Indah dan membahagiakan.

--------------------------------------------------------

Di ujung keberadaan ku di kota yang nanti mungkin akan kembali menjadi asing bagiku, saat aku akan kembali ke rumah di kota tempat aku dibesarkan, yang sekarang terasa asing dan terlalu besar. Aku mulai merasa sendiri dan tertinggal. Aku mulai menyalahkan mereka yang tak kunjung menghubungi aku saat mengambil keputusan-keputusan penting, mulai merasa tak nyaman karena ketidaktahuan yang aku rasakan, asing.



Aku mulai berbohong pada diriku sendiri dengan bersikap seperti anak kecil, aku kembali menjadi mudah marah dan egosentris, aku kembali memaksakan diri untuk tidak peduli, padahal aku peduli, hanya saja aku mulai bingung dengan bagaimana cara untuk menyalurkan kepedulian itu.



Menjauh dari mereka adalah sebuah perjuangan ternyata. Menjadi sulit karena dekapan ukhuwah ini sebuah zona nyaman yang berat untuk ditinggalkan. Satu-satu mereka ibarat puzzle yang memiliki bentuk dan tempatnya masing-masing, akan tetap berada di sana dan akan tetap aku pertahankan di sana.

Semuanya, tidak hanya mereka yang tumbuh besar bersama ku di fakultas, tapi juga yang aku temui di luar fakultas.



Aku mencari maafku dan aku harap juga ada maaf untukku.

-----------------------------------------------------------------------

Ukhuwah ini adalah hadiah yang Allah beri, sebuah bentuk kasih sayang yang terkadang tidak aku temukan dalam hari-hariku di rumah. Bukan berarti keluargaku tidak memberikan kasih sayang, hanya saja, rasanya berbeda, manis dan pahitnya berbeda.

-----------------------------------------------------------------------

Aku kembali menimbang ukhuwah ini, sembari membaca buku “dalam dekapan ukhuwah.” Kutemuka sebuah puisi, tepat saat aku mulai membukanya, mungkin Allah sedang membantuku berjuang untuk menjauh dari mereka dengan lapang dada.



Bata demi Bata, Menara Cahaya



Kau mengatakan,

“dalam tiap takdir kesalahanmu padaku,

Aku senantiasa berharap takdir kemaafanku mengiringinya”

Ku Jawab lirih, “Dalam tiap takdir kejatuhanmu,

Semoga takdir pula uluran tanganku.”

Maka kita pun bersenandung,

“Dalam takdir ukhuwah kita,

Semoga terbangun kokoh menara cahaya,

Tempat kita bercengkrama

Kelak di syurga.”

-------------------------------------------------------------- Salim A. Fillah



Untuk semua kenangan indah yang pernah aku dapatkan, berharap Allah selalu melindungi mereka.

Amin allahuma amin.

---------------------------------------------------------------

Di tengah rasa yang tidak terdefinisikan...

di ujung hari-hari bersama mereka...



terima kasih banyak, jazakumullah khoiron katsir.



Belajar bersyukur dengan setiap apa yang Allah beri, seperti apapun itu, pastilah memiliki makna, entah untuk saat ini atau hari esok, entah untuk di dunia ini atau di akhirat nanti.



(selamat menempuh amanah baru, barakallah ^^b)

sudah kah kita dewasa?

Nama panjangnya Muhammad Pintoko Daruadi. Ada yang kenal…?

Jika secara fisik mempunyai kedekatan denganku, paling tidak pernah mendengar nama itu. Dia Pinto, adikku satu-satunya.

Usia kami tidak jauh berbeda, ia lebih muda 2 tahun 3 bulan. Makanya dulu aku sempat khawatir suatu saat disatu sisi dia akan melampaui aku, entah fisik atau psikis.

Dan ternyata sekarang, itu benar2 terjadi. Secara fisik, jelas aku sangat tertinggal, besar badanku mungkin hanya 60% dari besar badannya, tapi sebenarnya itu tak begitu menjadi masalah bagiku sekarang. Yang lebih bermasalah menurutku adalah ketika akhir-akhir ini aku merasa, dia jauh lebih dewasa dibanding aku.

Dalam menghadapi masalah misalnya, terkadang aku kelewat berlebihan dalam merespon, mudah menangis dan melakukan self-blame, tapi dia tidak seperti itu. Keadaan ini mulai aku sadari saat aku mendapat masalah, pertama kali ditilang oleh polisi. Aku menangis sejadi-jadinya saat menelpon pinto yang saat itu masih duduk di kelas 2 SMA, dia mendengarkan semua keluh kesahku, sambil sesekali membela atau bertanya, “kenapa lo gak gini” “kenapa lo gak gitu”. Terasa agak disalahkan, tapi paling tidak aku merasa didengarkan dan diberikan perhatian. Kondisi yang sering sekali terjadi, apalagi kalau aku menangis. Pernah sekali waktu, ketika aku sangat jengkel padanya, aku mencakar pergelangan tangannya hingga berdarah (sadis banget ya?), sampai saat ini pun bekas luka itu masih ada, dan hanya kata maaf yang bisa kukatakan sembari tertawa kecil, entah dia pahami atau tidak, diriku sangat menyesali kejadian itu. Dan dia hanya diam, paling hanya mengatakan “ya ini gara-gara lo” sambil menarik kembali tanggannya. Ya… Diam, dingin, tak terlalu banyak bicara dan tertawa, tetapi ada. Itu pinto, bagiku sekarang.

Akhir-akhir ini aku lebih merasakan kedewasaan itu benar-benar melekat pada dirinya. Sesekali aku membaca secara detail wall FB miliknya, komentar-komentar yang ia berikan kepada teman-temannya, sanggahan atau argumentasi atas sesuatu yang ia yakini sebagai kebenaran, semua ia sampaikan dengan baik, cerdas. Malah terkadang aku menemukan wall berisi ucapan terimakasih atau mohon doa karena si pengirim wall mau UN, teman-temannya yang minta diajari tugas kuliah, atau hal lain yang terkadang membuat aku bertanya “apa iya dia seperti itu?”

Allah benar-benar Maha baik, saat ini bagiku Pinto tidak hanya menjadi seorang adik laki-laki, tapi juga bisa menjadi kakak laki-laki, teman bicara, dan seringkali jika orang yang mengenalku sebagai manusia “biasa” bertemu dengan ku dan pinto yang jalan berdua, maka mereka akan berpikir pinto adalah pacarku… -hahahaha…-


Yah,,, ternyata sekarang dia mampu bersikap dewasa dan bisa menjalankan peran sebagai kakak untuk banyak orang , dan salah satu diantara orang itu adalah AKU.


Satu hal yang sering aku renungkan dari keadaan ini, adalah tentang kedewasaan. Benar kata orang, ketika menjadi tua itu adalah pasti, tapi menjadi dewasa adalah pilihan. Dan seringkali umur kita tak juga menjamin kedewasaan kita. Tidak jarang kita melihat, orang dengan usia yang tak lagi muda tapi enggan bersikap dewasa,memiliki egosentrisme yang besar, banyak menuntut lingkungan untuk berubah mengikuti dirinya, tidak mau bertanggungjawab atas apa yang dilakukan, tidak bisa mengelola emosi (perasaan)-nya, atau hal lain yang bila dilihat sangat kekanak-kanakan.


Ketika kita memiliki kedewasaan, paling tidak seharusnya kita lebih bisa mengelola diri sendiri, bersikap bijak, lebih tenang ketika menghadapi masalah, tahu mana yang harus dilakukan dan mana yang sebaiknya tidak dilakukan, dan bisa membawa diri ketika berada ditengah-tengah orang lain sehingga orang lain merasa nyaman bersama kita.

Maka itulah kedewasaan dikatakan sebagai sebuah pilihan, bukan kepastian. Karena memang kita yang harus memilih untuk bersikap dewasa atau tidak bersikap dewasa.

Aku pun seharusnya seperti itu. Saharusnya aku lebih bisa menyadari bahwa usia yang diberikan Allah kini telah menginjak kepala dua dan masa baligh telah dipertemukan padaku bertahun-tahun sehingga tuntutan menjadi manusia yang dewasa pun telah disandangkan padaku. Namun, terkadang khilaf dan alpa membuat itu tertutupi dan terlupakan.

Sesuatu yang mungkin bisa kita renungkan, sebuah pertanyaan tentang: sudah bersikap dewasakah kita?
……………………………………………………………………………………………………………………………………………….

Sebuah artikel yang terinspirasi dari pernyataan seorang teman yang menunggu di”tag” dalam note ku. Serta Pinto, adikku yang sekarang telah dewasa.

(Pin, ka bangga sama lo… dan kakak belajar banyak hal dari pengalaman bersama lo akhir-akhir ini, may Allah bless you brotha…amin)

Dec 2, 2010


Note ini saya buat, lima menit setelah melihat berita mengenai Kate Middleton dengan Pangeran William, tentu saja di televisi.



Ini tentang masa menunggu, hehehe. Belakangan seringkali mendapat pertanyaan, doa, atau malah sindirian, entahlah. Terkadang terasa tidak nyaman, tapi lebih sering biasa saja dan berusaha mencoba menanggapinya dengan kepala dingin. Respon tanggapan itu telah saya coba pelajari dua tahun belakangan, semenjak usia memasuki kepala dua.



Beberapa kali membaca status teman mengenai, tulang rusuk yang belum menemukan siapa pemiliknya atau tentang menunggu si pengeran berkuda putih. Pernah dulu setelah melihat film Pretty woman, ingin juga rasanya di jemput pangeran berkuda putih, tapi tidaklah cukup ber_Alphard putih, celetuk saya saat itu (ngawir.com)



Masa menunggu, ternyata saya sudah memasuki masa itu ya? Rasanya masih ingin mengelak saja, masih enggan untuk menyadari masa itu telah tiba. Malu, itu intinya. Masih sangat grogi ketika berbicara masalah pernikahan, inginnya menutupi bahwa saya kalang kabut ketika ditanya seperti itu, tapi seringkali malah terlihat bodoh dengan jawaban-jawaban tidak cerdas, salah tingkah, dan mungkin senyuman yang terlalu lebar,bingung.



Obrolan bersama bulek ketika saya menghadiri pernikahan adik sepupu saya yang secara usia lebih tua:

Bulek: Nanti kak Nuram ambil Melati yang ada di roncean pengantinnya ya.

Saya: hah? (dengan muka bodoh)

Bulek: eeeh jangan tersingung,

Saya: (buru-buru saya potong) iya bulek nuram tahu maksudnya.

Atau obrolan dengan kakak sepupu saya:

Mbak: Kapan kak Nuram?

Saya: apanya?

Mbak: ntar bilang mama, EO nya pake dari mbak,,,

Saya: hehehe (dengan senyum terlalu lebar), di discount ya mbak, 50% persen?

Mbak: lha,,,profesional donk... hehehe

Kakak saya itu, pengusaha Wedding Organizer, belum-belum udah bisnis aja, sepertinya beliau memasukkan nama saya dalam daftar calon kliennya.



berbeda dengan orang tua saya yang tidak pernah membahas ini. Mungkin dalam mata mereka saya masih anaknya yang kecil.

Hemm,,, seperti kata MR saya yang pertama usia 20-an adalah usia rawan dengan pikiran-pikiran mengenai menikah. Jujur, karena sering digoda itulah malah jadi terpikirkan, dalam pikiran saya: ini kenapa jadi kepikiran? Padahal dulu saya telah merancang apa-apa yang akan saya lakukan untuk mengamankan hidup saya dari pikiran aneh mengenai pernikahan. Toh jodoh tak akan kemana. Namun sepertinya Allah mendidik saya dengan cara yang berbeda dengan apa yang saya inginkan.



Mulai dari kata-kata: syindrome orang tua, doa semoga Nuram segera menyusul, di tanya itu siapa/ini siapa?, sampai di jodoh-jodohkan. Saya mencoba memahami bahwa ini adalah bentuk perhatian mereka kepada diri saya, hanya saja seringkali ini malah mengganggu dan agak merusak konsentrasi. Maklum, saya termasuk orang yang tidak berani membuat daftar kriteria orang seperti apa yang akan menjadi pendamping saya nanti, jadi jangankan nama, kriterianya saja saya belum jelas koridornya. Yang saya tahu, saya menyenangi orang kurus dan tinggi serta cerdas (titik) (tidak bermaksud iklan).



Menyikapi gejala ini, sering saya takjub dengan mereka yang dengan santai menuliskan status mengenai jodoh, sampai pernah saya memberikan komentar: saya mau cari imunitas agar tidak tertular... setelahnya saya malah di SMASH balik. Repooot euy....



Note saya tentang pernikahan beberapa waktu lalu pun malah meninggalkan jejak dipikiran beberapa orang bahwa saya siap untuk menikah, padahal sampai saat ini saya masih dalam proses mempersiapkan diri. Itu hanyalah akumulasi protes saya terhadap oknum ikhwan yang maju mundur mengutarakan maksudnya.



Saya lebih memilih untuk benar-benar menyiapkan diri, mulai dari fisik (apa ya persiapan fisik, sudahlah masing-masing kita –perempuan- tahu apa itu, hihihi) dan terlebih mental. Inginnya sih tidak terlihat, walaupun dua kali ini note saya membahas masalah pernikahan, ini lebih kepada mengingatkan bahwa biarkan ini berjalan mulus tanpa terlihat guncangannya, tak perlulah diperlihatkan di forum publik bila sedang menanti, meskipun saya yakin publik pun paham bahwasanya penantian itu adalah realita.



Manusiawi memang, tidak salah juga, pada akhirnya saya sadar itu, apalagi bagi perempuan yang fisiknya terhalang usia pasti kekhawatirannya lebih ketimbang laki-laki. Namun, jika Allah berkata BELUM, apakah kita mau secara agresif mencari pangeran berkuda putih itu? (bila pemahaman saya salah mohon diluruskan). Hehehe. Walaupun Khadijah pun melamar Muhammad ibn Abdullah, dan tak pernah salah mengajukan diri terlebih dahulu, tapi itu terjadi bila mental benar-benar telah siap dan kesholihan telah membungkus rapat kekurangan.



Entahlah, saya pun masih bingung dengan konsep ini. Intinya posisi saya sekarang, lebih memilih meminta pada Allah azza wa jala.

Namun,,, jika ada teman-teman akhwat berani mencontoh sikap khadijah, maka saya mendukung. InsyaAllah. jangan hanya terhenti pada invasi dunia maya bahwa kebutuhan berpasangan itu telah muncul. hehehe.



"Rabbana hablana min azwaajina, wa dzurriyyatina qurrata a'yuniw, waj'alna lil muttaqiena imaamaa."



"Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami jodoh kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang2 yang bertakwa." (QS 25:74)



Sebuah note, untuk mengingatkan diri saya pribadi... hehehe.. gak berani buat ngingetin orang. Kagak enak.



------------------------------

karena gak dapet gambar pangeran berkuda putih, pangerannya pake sepeda ajah...

Nov 27, 2010

Hasil Kenal Gedung DPR

Belajar untuk tes cpns. Latihan soal membuat saya menemukan 2 ayat di 2 pasal yang berbeda mengenai hak warga negara berpendidikan.



Pasal 31 ayat 2: setiap warga negara WAJIB mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah WAJIB membiayainya



Pasal 28c: setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya. Berhak mendapat dan memperolah manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat menusia.



Adakah yang salah dengan kedua pasal ini? Jawaban saya: tidak ada. Sungguh konsepnya bagus, sayang dalam perealisasiannya, miris.





Teringat obrolan saya dengan seorang senior yang sekarang bekerja sebagai asisten ahli anggota fraksi di gedung DPR, tentang terpilihnya Busyro Muqqodas sebagai ketua KPK mengalahkan Bambang Wijayanto yang notabene ber-back up Indonesian Coruption Watch (ICW). Berlaku layaknya seorang anak kecil menginginkan jawaban yang memuaskan dari orang yang lebih tua, saya bertanya “Pak, Kenapa dalam rapat anggota DPR sore ini, yang terpilih menjadi ketua Pak Busyro bukan Pak Bambang?” lama pertanyaan saya tak di jawab, entah karena bingung atau memang sedang tidak berada di tempat. Beberapa saat kemudian, muncul dalam chatt box FB saya “perlu jawaban???” haha. Ya iyalah saya perlu jawaban, kalau gak... ngapain juga saya tanya...



Penjelasan abang saya yang satu ini, nyambung dengan ceramah sore bapak saya, saat tahu Busyro terpilih. Negara ini, terlalu pelit dan tidak pernah ikhlas memiliki panglima kritis dan berani, terlalu banyak rekayasa politik, belum lagi mayoritas back up Pak Busyro adalah partai dengan stok koruptor paling banyak.



Tambahan dari abang saya itu: seperti puisi Adi Masadi, Negeri Para Bedebah. Sempat saya protes perkataan abang saya tu, saya bilang “janganlah memakai kata para, ketika para dipakai, kita bisa masuk dalam daftar para bedebah.”



Pekan lalu, saya diajak teman saya berkunjung ke gedung DPR, yap yap ke kantor Abang baru saya. Jujur pengalaman baru untuk saya. Antara takjub, bingung, aneh, sampai kecewa. Inikah gedung DPR yang mereka pinta untuk diganti bangunannya? Dua buah TV LCD besar terpampang di setiap sudut, mubazir sungguh, hanya berisi agenda yang akan dijalani hari ini, tidak berkategori penting. Lantai marmer, ruang ber-AC, dan pemandangan indah dari kaca jendela, tidak menampakkan kesulitan hidup rakyat yang telah milihnya, nyaman-nyaman, terlalu nyaman. Seandainya yang mereka lihat setiap harinya adalah pemandangan pinggir rel dari stasiun Bekasi hingga Pasar senen, saya yakin mereka akan malu memakai segala bentuk fasilitas mewah perasan keringat rakyat, berganti ketidakmampuan untuk tidur dan beristirahat dengan tenang, layaknya kegelisahan Ummar ibn Khattab yang melihat seorang ibu merebus batu untuk menenangkan hati dan perut buat hatinya yang kelaparan, tentu saja ini tak berlaku bagi mereka yang tak bernurani.



Pulang dari sana, sepanjang perjalanan saya dan teman saya bersungut-sungut menghadapi kenyataan, idealisme yang terluka (saya menyebutnya). Sesampai di rumah ingin rasanya bercerita pada bapak, tapi saat ditanya bapak “gimana?” saya hanya bisa bilang “Nuram gak mau cerita sama bapak, ntar bapak makin il-feel sama pemerintah.”



Padahal mereka yang ada di sana, bisa jadi pernah juga menjadi mahasiswa, punya idealisme membahana untuk mensejahterakan bangsanya. Contoh orang yang masuk daftar terkorup dari partai berlambang Pohon Beringin, Akbar Tanjung, bukankah dia pernah menjadi salah satu mahasiswa angkatan tahun 1966 yang bersikeras menentang kebijakan pemerintah mengenai PKI dan kenaikan harga yang mencekik rakyat. Berpuluh tahun kemudian seakan waktu menggerus idealisme masa muda, berakhir pada penidasan pada rakyat berupa korupsi yang dilakukan. Semudah itukah idealisme luntur, terlenakan harta dan tahta dunia?



Banyak sekali pertanyaan yang terajukan ketika medatangi yang katanya gedungnya wakil rakyat itu, bingung bertanya pada siapa, semua bayangan akan kesibukan di dalamnya seketika luntur berganti banyak pertanyaan “kenapa?” Repotlah... teman saya pun berusaha mencari orang lain yang bekerja dalam kategori rajin dan tekun untuk menyembuhkan idealismenya yang terluka dengan menghubungi temannya, seorang anak wakil rakyat. Hehehe. Saya lebih memilih bercerita mengenai kekecewaan saya kepada teman-teman seperjuangan, walaupun terkadang juga tak di tanggapi serius malah kesannya tidak peduli. Beginikan idealime itu luntur??? Atau kami para bocah yang tidak tahu bagaimana sesungguhnya realita?



Belum lagi ketika abang baru saya ini bercerita tentang barang-barang mewah yang digunakan para jet zet dunia politik, beeeuh dengan kesal (walau mungkin tak akan nampak) saya merespon: Ke Laut aja lah.... sebegitu mudahnya uang dihamburkan untuk membeli sekedar dasi atau jam tangan, kenapa tidak memilih membeli saham freeport atau exxon mobile, atau krakatau steel untuk kemudian digunakan untuk kesejahteraan rakyat.



satu hal yang saya pelajari saat itu, sebuah jawaban dari pertanyaan yang dari dulu berkubang dalam pikiran saya: "kenapa manusia sampai sebegitu inginnya memiliki harta dan kekuasaan?"

ternyata jawaban dari pertanyaan bodoh itu terlalu simpel: agar bisa menikmati hidup ini dengan mudahnya.



Sungguh panjang perjalanan negeri ini untuk membersihkan bedebah beserta anak cucunya dariperadaban bangsa. Haaaaah....

-----------------------------------------------------------------------------

Sedikit coretan, kala pening belajar buat tes CPNS. Ingin sekali menjadi orang kaya, agar bisa memberi dan berbagi, bukan hanya mengenai cerita pengalaman atau pemikiran saya, tapi juga hal lain yang bisa berguna bagi sesama.

Haha.



Anak kecil yang memasuki kehidupan belantara, baru saja keluar dari laboratorium yang terlalu sempurna sehingga banyak kecewa. saya akan belajar, memandang hidup agar lebih bijak nantinya. astaghfirullah.



Nov 25, 2010

Obrolan sepertiga awal malam; tentang ::: PACARAN

Tergelitik dengan diskusi malam bersama adik seperjuangan, tentang::: pacaran.
Usia dan perjalanan di kampus adakalanya membuat saya lupa akan jawaban dari pertanyaan: Kenapa gak boleh pacaran? Setelah keluar kampus ternyata mendapatkan pertanyaan seperti itu lagi.
Keputusan untuk tidak menempuh jalan berpacaran sudah saya ambil sejak 6 tahun lalu, berhenti ditanyakan masalah mau pacaran atau tidak sekitar 4 tahun lalu. Jadi sedikit banyak memori dalam otak saya mengenai alasan tidak berpacaran telah terhapus, jawaban saya, simpel: ya nyaman aja gak punya tanggungan hidup yang gak jelas statusnya (baca: Cuma pacar). Kecuali saat di curhati satu atau dua orang teman mengenai hubungan dengan pacar mereka, tapi itu juga tidak begitu banyak karena (sepertinya) mereka tahu prinsip saya mengenai masalah ini, jelas sangat mungkin tidak memberikan solusi positif untuk mempertahankan hubungan tersebut, kecuali bagi mereka yang sedang serius bertanya masalah persiapan kenaikan jenjang hubungan pacarannya menjadi hubungan pernikahan.
Namun malam tadi, seorang adik bertanya “kenapa sih mbak, orang-orang mesti pacaran?” saya agak lingliung, karena saya lupa jawabannya, sepertinya jawaban itu saya taruh dalam laci memori tua di otak saya.
Sebenarnya, dalam Islam istilah pacaran tidak diperkenalkan, hubungan laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom hanya legal ketika ijab dan qobul telah dilaksanakan, sebelumnya tentu hubungan itu sebaik-baiknya diperantarai oleh pihak ketiga yang dapat dipercaya. Kenapa? Karena (disamping aktifitas fisik yang memungkinkan terjadinya keratifitas dalam hal zina) secara logika saja sangat mungkin ketika hanya berdua, nantinya hanya terlihat (dan diperlihatkan) sisi baik saja dan menutupi sisi buruk, ya tidak pernah salah sih memperlihatkan sisi baik, tapi lebih jauh maksud adanya pihak ketiga adalah akan ada penilaian yang sifatnya lebih objektif, paling tidak calon pasangan ini akan mengetahui secara berimbang siapa dan seperti apa individu yang akan menjadi pasangan di kehidupannya kelak.
Lalu setelah bercerita panjang lebar tentang ketiadaan aktifitas yang berkategori penting dalam kegiatan berpacaran, adik saya tersebut kembali bertanya: siapa sih mbak yang memperkenalkan pacaran? Dengan sedikit asal saya menjawab: siti nurbaya (hehehe...) tokoh perumus penentang adat perjodohan.
Cerita Siti Nurbaya agaknya sedikit banyak memberikan gambaran bahwa nyaris semua pertemuan yang dikarenakan perjodohan pihak ketiga (terutama orang tua) tidak akan sesuai dengan keinginan, harapan, dan besar mungkinnya hanya mengedepankan harta dan tahta, padahal bisa jadi tidak seperti itu (maaf bila saya memakai contoh ini, silahkan dikritisi kalau ada salahnya). Roman Siti Nurbaya, terlalu penuh intrik. Dalam pemahaman saya, tidak mungkin orang tua yang sehat secara mental tidak menginginkan kebahagian lahir dan batin bagi anak mereka.
Pernah juga adik saya yang lain mengirim sebuah pesan singkat:
Adik: Mbak... aku pengen pacaran.
Aku: hahaha, kenapa?
Adik: aku lagi diajak temen makan, dan mereka sama pacarnya, aku Cuma bisa diem ngeliatin mereka.
Naaah... para aktifis (yang melakukan aktifitas-red) pacaran, liat tuh,,, jadi ngeracunin otak bocah kecil seperti adik saya... gak baik kan.. hehehe...
Saat sedang memikirkan konsep note ini, saya sempat berpikir apa tho keuntungan punya pacar? Tiba-tiba sekelibat kemudian saya diperlihatkan keuntungan punya pacar. Saat saya sedang mengantri dalam antrian panjang mengambil kartu ujian tes CPNS, haus dan lapar. Tiba-tiba saja seorang mbak-mbak disamping saya diantarkan sebotol air dingin dan sebungkus Beng-beng “nih kalau haus,” kata cowoknya, setelah itu mbak-nya menelpon “bi...liatin donk pengumumannya...” lalu cowok itu datang lagi dan memberikan informasi yang diminta. Dalam hati saya bergumam: inikah untungnya punya pacar??? Hahaha. Sedikit menarik, bagi saya disaat seperti itu. Namun, konsekuensi lain setelahnya, tidak terimakasih, lebih banyak hal lain yang membawa diri pada ketidakuntungan.
Dalam note ini saya hanya ingin mengingat kembali, untuk berpikir dua kali sebelum mengambil keputusan untuk berpacaran, terutama diusia sangat muda (kuliah semester awal, SMA, SMP, atau malah SD), masih banyak hal positif yang bisa dikerjakan, dunia yang luas ini menjadi terlalu sempit ketika hanya diisi oleh dirimu dan dirinya.
Pacaran itu menghabiskan uang, uang jajan yang diamanahkan oleh orang tua harus di bagi dua bersama pacar, contoh konkrit: teman saya pernah bercerita tentang temannya yang diberikan 10 tangkai bunga tulip oleh pacarnya saat ulang tahun (waaaah,,, romantis banget, begitukah pikiran kita?) coba di hitung, bunga tulip saat itu satu tangkainya berharga Rp40.000 di kali 10 tangkai, jadi pacar temannya teman saya (hallah..) telah mengeluarkan uang Rp400.000 untuk sekali membahagiakan temannya teman saya (hehe), waah... kalo saya sih minta mentahnya ajah,,, di tabung buat masa depan. Hehehe...
Menghabiskan waktu, kehilangan teman-teman terdekat (gimana gk, dunia seakan milik berdua, yang lain? Ngontrak aja... hehehe), bisa jadi jauh sama orang tua, padahal kan hidup kita masih ditanggung orang tua, kita juga masih punya tanggung jawab terhadap orang tua. Ini nasihat buat adik-adik ya... buat yang sudah seumur saya, apalagi sudah lulus kuliah atau telah bekerja, ya... niatkan berkenalan dengan lawan jenis sebagai tahapan untuk menuju kehidupan yang lebih terencana, bukan untuk main-main, apalagi menjelajah kreatifitas pada fisik lawan jenis, tanggungjawab di hadapan Allah sungguh lebih berat. Jangan hanya memperturutkan dorongan nafsu untuk mencapai kebahagian sesaat (nyaris saya menulis kebahagiaan sesat, kayaknya itu juga ada benarnya).
Nikmatilah masa muda dengan produktifitas amal. Ketika mulai menyukai lawan jenis, bertahanlah dalam benteng terkuat melalui iman. Toh jodoh tak akan pergi kemana (walau sepertinya tetap butuh usaha –usahanya sekilas telah saya singgung di atas). Layaknya Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Muhammad yang menyimpan rapat cinta masa kecil mereka, pastilah Allah membacanya sebagai bentuk perjuangan dalam mempertahankan kesucian hati ditengah himpitan rasa ingin memiliki hingga akhirnya izin itu datang juga.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sebuah catatan yang terinspirasi dari obrolan sepertiga awal malam dengan adik seperjuangan. Senangnya masih dipercaya untuk mendengarkan cerita mu... two thumbs untuk katahanan dirimu mengingatkan dan mendengarkan cerita teman-teman yang berpacaran, semoga menjadi lahan dakwah yang produktif... b^^d

Oct 31, 2010

Menikah

Bahasan yang sungguh sangat sensitive bagi usia 20an tahun. Ragu juga mengangkat ini sebagai tema note saya kali ini. Namun, perlulah saya coba untuk melihat seberapa menarik topik ini.

Gelap, dalam pikiran saya seringkali masih gelap ketika mencoba memvisualisasikan kata nikah, tapi jujur ada sedikit desiran ketika mencoba untuk memaknainya. Ayo kita pahami dengan lebih objektif.

Maaf, bila nantinya note ini terhubung dengan beberapa kisah dan anda termasuk di dalamnya, hanya ingin sedikit memuat kilas balik untuk mendapatkan jawaban.
Membuka kembali sebuah SMS yang pernah masuk di ponsel saya, isinya tak lain adalah alasan seorang teman untuk menunda pernikahannya, kita simak bersama:

1.Belum lulus S1
2.Masih suka berpetualang (haha, kita sebut saja dia bolangbocah petualang atau malah bocah ilang???)
3.Pemasukan menurutnya belum cukup dibagi untuk bedua
4.Mau membahagiakan orang tua
5.Masih mau memperbaiki diri agar jadi lebih baik
6.Masih ingin menambah hapalan
7.Belum punya kemampuan untuk meyakinkan orang tua untuk nikah di usia muda.

Jujur saya tertawa saja membaca sms itu, menurut saya semua alasan yang disebutkan bukanlah alasan kuat untuk menunda pernikahannya. Malah, sangat mungkin digoyahkan dengan dialog atau musyawarah yang bisa jadi tidak panjang.

Saya sekarang, hidup bersama beberapa teman yang mungkin bisa dikatakan belum dipertemukan dengan jodohnya, di usia mereka yang mulai menginjak angka 25. Sering saya bertanya “kak, gak coba untuk meminta pada MR (guru ngaji-red) untuk di carikan?” atau “kak, pernah gak sih minta sama orang tua untuk dicarikan atau dikenalkan dengan seorang, kali aja jodoh…” dan jawaban mereka hanyalah sebuah senyuman, dan dilanjutkan dengan diskusi panjang hingga ujungnya adalah sebuah kesimpulan bahwa jodoh mutlak berada di tangan Allah.

Dan semua kakak-kakak saya itu adalah perempuan. Tanpa mereka ketahui, sering saya memandangi wajah mereka satu persatu dan berdoa dalam hati, “Ya Allah, datangkanlah jodohnya, datangkanlah jodohnya, pertemukanlah, berikanlah mereka kesempatan untuk berkeluarga, sungguh mereka akan menjadi ibu-ibu yang hebat bagi keluarganya, dekatkanlah ya Allah, dekatkan…Amin.”

Betapa sedihnya saya, ditengah pengalaman kali ini, saya mendapatkan SMS berisi 7 alasan aneh penundaan pernikahan. Padahal secara logika dan emosi 7 alasan di atas masih bisa dilakukan setelah menikah, malah berdua bersama pasangan dan bisa jadi lebih baik, iya gak sih? Atau saya yang salah??? Pertanyaan itu berputar-putar di kepala. Misalnya masalah pendapatan, setahu saya, papa saya dulu hanyalah pemuda dari keluarga miskin, merantau dari desa Pakem di kaki gunung Merapi ke Ibu Kota, kontrakannya hanyalah rumah berdinding anyaman bambu di Jakarta, tapi beliau menikah dengan ibu saya dan kehidupan kami saat ini Alhamdulillah cukup, dan kata papa rejeki berdua itu pasti lebih banyak ketimbang rizki orang yang sendirian.

Akhirnya saya sempat menggugat, bertanya kembali pada teman yang mengirim SMS itu, “coba di pikirkan lagi, hukum antum menikah itu berada pada titik apa? Haram-kah, mubah-kah, sunah-kah, atau wajib-kah??? Kalau sebagian besar dari syarat berkeluarga itu sudah terpenuhi, dan tidak lagi mampu atau sangat kurang mampu mengontrol diri untuk tidak berpikir tentang pernikahan, jangan-jangan hukumnya sudah berubah menjadi wajib ketimbang sunah.” Namun, akhirnya saya berusaha sedikit lebih humanis menanggapi curhatannya, karena saya pikir beliau sudah cukup umur untuk mengetahui posisinya berada di mana.

Atau cerita lain, kali ini di ceritakan oleh teman saya yang baru saja kesal mendengar komentar seorang temannya mengenai mahar penikahan. Ceritanya saat itu, seorang teman kami menikah dan maharnya berupa emas dengan harga ratusan ribu, seorang (yang menurutku tergolong seorang pembelajar agama dan belum menikah) berkomentar, “haha, murah banget maharnya, itukan harga yang diajukan kepada suami, kenapa tidak mencoba meminta yang lebih tinggi?” gantian temanku yang sebisa mungkin menahan tawanya, seandainya tidak ingat akan norma dan harga diri ikhwan (oops…) tersebut ingin sekali ia mengatakan: “dengan mahar yang tidak tinggi saja, putra-putra (putra??? Hahaha) itu tidak berani maju, apalagi meminta tinggi” hahaha, aku tertawa sampai sakit perut mendengar cerita ini, pasti mati kutu seandainya iya kalimat itu diucapkan, tapi biarlah kita-kita saja yang tahu. Sori-sori gak maksud ngomongin orang, tapi semoga kita bisa mengambil ibrohnya.

Terkadang bingung juga, mengenai rahasia Allah yang satu ini, walaupun rahasia Allah yang lain juga rumit, hanya saja ini lebih menarik bagi individu-individu lajang. Saya tahu, pastilah jawaban dari semua ini adalah karena memang Allah belum mengizinkan, tapi ketika dibenturkan dengan alasan aneh di atas… beeeeuuuuh… bayangkan saja.

Gak tau deh, saya pun bingung menyimpulkan kondisi ini, mungkin lebih karena saya juga belum menikah, tapi yang saya pahami, kakak-kakak saya itu adalah wanita, walaupun telah belajar Islam dan memahami dalam Islam tidak pernah salah menawarkan diri untuk dinikahi pria sholih, tapi budaya timur membentuk kami (kok kami ya,,, yayaya termasuk saya) memiliki pemahaman tak elok rasanya perempuan maju terlebih dahulu, maka dari itu… hahaha lanjutkanlah dalam pikiran kita masing-masing.

Yup mengingat taujih Murobbi saya yang pertama saat silaturahim ke rumahnya beberapa waktu lalu, usia 20an tahun adalah usia rawan, keinginan untuk menikah memang seringkali menjadi sangat tinggi, topic tentang menikah pun menjadi bahasan panas yang menarik, baik diulas bersama teman maupun dipelajari secara otodidak, tapi ketika Allah belum menilai kita mampu, maka belajarlah bersabar, perbaiki diri selagi masih sendiri, berbuatlah seproduktif mungkin, dan biarkan Allah yang menentukan, jangan mendikte Allah yang Maha Tahu itu, dan satu resep lain dari Rasulullah adalah perbanyaklah berpuasa, yang kemudian harus dijadikan catatan penting: jangan sampai bahasan itu membuat kita lalai dan cenderung terbatasi geraknya, karena sebenarnya telah tertulis di lauhul mahfudz.

Saya pelajari kriterianya cukup disamakan saja seperti yang telah disebutkan Nabi, wajah (saya memahami ini bukan sebagai cantik atau tampan, karena kata papa saya masalah wajah hanya akan terkait dengan perasaan KLIK), keturunan, harta, serta agamanya, tapi utamakanlah agamanya. Hehehe.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Baiklah ini pandangan saya, seorang berusia 21 tahun yang memasuki tahap dewasa awal.
Setelah ini jangan Tanya apakah saya sudah siap yah… karena jawaban saya hanyalah: setiap individu lajang yang sehat, insyaAllah mempersiapkan. hehehe

Semoga memberikan pencerahan.

Apalah Arti Sebuah Nama

Jujur saja, sampai saat ini aku masih bingung merespon kejadian kemarin. Marah, kesal, sedih, tapi yang paling menojol adalah kecewa, yaa… walaupun hanya bisa aku ekspresikan dengan tertawa dan sedikit merengek-rengek saat wisuda.

Aku kesaaaaaaaaaaall,,, hahahha… aku punya nama baru Muram Mubina, S.Psi. adoooh nau’udzubillahi min dzalik. Namaku itu Nuram Mubina, S.Psi. bisa berubah sangat buruk seperti itu. Selama wisuda universitas aku berusaha menutupi kekecewaanku dengan berperilaku rusuh, berisik, menganggu mbak-mbak 2005 dan mas 2003 wisudawan disebelah kiri-kananku, memukul-mukul kakinya (tentu yang mas-mas2 gk yoo), mengiba, kemudian tahu-tahu tertawa, mengeluarkan cerita lucu, berkomentar aneh agar orang-orang disekitarku tertawa, hal yang agak jarang aku lakukan pada orang yang baru ku kenal, semua aku lakukan untuk menutupi rasa malu dan cemas menunggu namaku yang SALAH itu disebut.

Aku sempat merasa senang ketika di awal prosesi wisuda, komputer gedung Prof. Sudharto agak error, ia tidak memunculkan nama-nama wisudawan, maka setelahnya aku segera berdoa semoga kesalahan teknis itu berlangsung hingga akhir prosesi. Hahaha. Namun, tampaknya Allah punya ketetapan lain, Ia memintaku belajar bersabar. Beeeuuuuuh… komputer itu menyala lagi dan baik-baik saja hingga akhir acara. Bayangkan perasaanku saat itu, mengharu biru, merah padam, sendu nila ungu hingga gelap gulita. Sudahlah, aku ini siapa meminta komputer tersebut rusak selama acara, sungguh permintaan yang tidak dewasa, tapi lucu juga seandainya Allah mengabulkan permohonan ku. Hahaha.

Aku takutkan perasaan orang tuaku saat melihat nama itu. Karena aku tahu perselisihan mereka saat dulu memutuskan sebuah nama yang akan dikenakan padaku seumur hidup. Aku hanya takut perasaan papaku hancur karena nama yang katanya penuh makna itu berubah susunan huruf serta MAKNAnya. (tapi ternyata mereka hanya tertawa saat aku ceritakan, aaaaaaaaaaarrrgh,,, ternyata aku lebay..)

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku akui, namaku memang aneh binti ajaib. Ketika berkenalan dengan orang baru aku harus mengeja namaku agar orang tak salah mendengar. Maklum selain nama yang aneh ternyata aksen huruf “R” ku pun sedikit berbeda dengan orang pada umumnya, yaa ampun baru aku sadar betapa uniknya diriku.. hehehe.

Jujur saat kecil aku malas menyebut nama, rasanya ingiiiiiiiin sekali mengganti nama menjadi citra misalnya, atau saski, atau cindy, nana, ata, atau budi (lha?), atau nama lain yang mudah disebut dan diingat. Apalagi biasanya setelah aku menyebutkan namaku mereka –orang yang berkenalan denganku- akan bertanya: artinya apa??? Haaaaaaaaahhhhhhh… males banget, ni nama punya arti yang menurutku agak narsis (secara tekstual silahkan lihat QS. AnNisa:174), kalau sekarang sih sering aku siasati dengan: “gini, mubin itu artinya nyata/jelas, nah kalo nur itu cahaya, jadi nurammubina itu cahaya yang nyata, gitu” yup cukup teratasi.

Semakin tinggi tingkat pendidikan yang aku jalani, semakin berpendidikan juga orang-orang menghargai namaku sebagai nama yang unik dan punya makna tersendiri (aku tahu papaku adalah orang yang cukup mempertimbangkan filosofi untuk nama anak-anaknya). Namun dulu saat SD atau SMP… beeeeeuuuuuh… nama adalah hal menyebalkan dan seringkali menakutkan, apalagi jika nama itu di sebut di forum besar dalam rangka perkenalan.

Jika orang-orang berkata apalah arti sebuah nama, maka sebenarnya bagiku nama adalah sebuah doa, harapan, impian orang yang memberikannya, bukan hanya sebuah sebutan atau panggilan tanpa makna. Aku tahu papaku memikirkan nama ku dengan sungguh-sungguh. Bagaimana tidak, putri yang ditunggunya selama tujuh tahun, pastilah nama untukku itu sudah beliau pikirkan masak-masak, hanya saja bisa jadi beliau sedikit tidak terpikir dampak psikologis bagi anak yang memiliki nama tidak biasa atau lebih halusnya aku sebut sebagai UNIK.

Sampai sekarang terkadang aku masih merasa kurang bangga dengan namaku, ayo berikan semangat agar aku merubah persepsi tersebut. Apalagi dengan kejadian di acara wisudaku kemarin, aku sempat mengambil sebuah pelajaran: bahwasanya, janganlah memberikan nama yang terlalu sulit untuk anak, kalaupun menginginkan nama yang unik jangan sampai padanan hurufnya berdekatan dengan kata-kata berkonotasi negatif (azzamku). Haaaaahh.. aku masih sedih, siapa yang sebenarnya bisa aku mintai pertanggungjawaban atas kesalahan namaku itu, di tiga ribu lebih buku wisudawan lulusan UNDIP bulan Oktober 2010. Hahaha, aku tertawa sajalah, walaupun masih sedikit tidak terima.

Mungkin jawabannya hanya: ikhlas…

hihihi susahnya, tapi ya sudah… lupakan-lupakan. Aku sering membahagiakan diriku dengan: yang penting papaku tidak melihat nama yang salah itu di layar dan beliau pun hanya tertawa, pun nama ku di ijazah benar, dan semua itu sudah berakhir, tak usahlah dikenang lagi, tak usahlah buku wisudawan itu aku buka-buka atau kupandangi. Ya sudahlah.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Bisa jadi kejadian ini adalah teguran untukku yang biasa memainkan nama teman-temanku. Hehehe…

Aku beberapa kali merubah nama orang, misal Nastiti menjadi Nanas, Amy menjadi Gome, Tya menjadi Tiyul, Ganda menjadi Gandul, Faisal menjadi Ical, atau….. Amin menjadi Mince atau malah Mincret, Imam Agung Wicaksono menjadi Imam Agung Wica-kesono-kesini, Nush menjadi NushRoot de-el-el . Hihihhi…mungkin salah satu dari mereka ada yang tidak ikhlas… maafkan aku kawand, aku melakukannya agar kita lebih dekat secara emosional. Ya maaf, benar-benar aku meminta maaf.

Walaupun begitu, sebenarnya namaku juga sering diubah menjadi aneh-aneh oleh teman-teman kesayanganku itu, misalnya: NUYAM, URAM, dan yang paling aneh adalah dari Ganda: NUy-nuy. iiigh aneh… hahaha, aku aja geli nyebutnya… yaaah… tak apalah, sebutan itu lebih aku terima ketimbang nama ku yang salah di wisuda kemarin hihihii…
Ayolah kalian tertawai aku. Agar aku bisa menerimanya. Oia aku mendengar ada wisudawan yang berkomentar saat nama yang salah itu disebut, “aku tahu itu aneh tapi asal tahu saja itu SALAH,” ingin rasanya aku berbalik dan berbicara seperti itu. Cukup! Cukup bodoh rasanya membahas masalah ini, tapi semoga teman-teman dapat mengambil sebuah pelajaran. Hehehhee…

Note ini sebanarnya aku buat sebagai salah satu bentuk terapi bagi diriku sendiri untuk menyeimbangkan perasaanku yang kacaubalau karena kesalahan nama ku itu. Silahkan ditertawai, atau berikanlah empati,,, biarkan aku memproses diriku menjadi tenang melalui tanggapan kalian… okelah ini akan baik-baik saja.
-----------------------------------------------------------------------
Nama adalah doa, namaku serta maknanya merupakan keinginanan orang tua atas aku atau malah mungkin perasaan mereka saat mendapatkan aku, berat, tapi nama itu telah disematkan, tertempel pada ku, hingga nanti aku dipanggil di yaumil akhir, maka (nuram) belajarlah menumbuhkan rasa bangga pada namamu, seunik apapun nama itu. (sugesti positif bagi diriku sendiri).

Semoga bisa memberikan pencerahan.
----------------------------------------------------------------------------
Oia terimakasih bagi teman-teman yang telah memberiku ucapan selamat, jujur itu membuat ku berbahagia ditengah kekecauan perasaanku saat wisuda,,,

Oct 30, 2010

kederisasi

Kaderisasi,pengkaderan.

Istilah ini kayaknya sangat sensitive untuk bulan-bulan oktober-november-desember di kampus diponegoro khususnya bagi para aktivis. Mungkin kalau saja bisa menghindar, beberapa orang mungkin akan memilih menghindar. Kalo kata mama saya dan roommate saya sekarang: Tinggalin aja sih, apa pedulinya?

Tapi… ya kalo saya akhirnya memilih untuk tidak meninggalkan sampai jangka waktu tertentu, sedikit banyak karena saya gak mau apa yang saya perjuangkan selama ini, menjadi berhenti apalagi mati, ketika saya tinggalkan, selebihnya semoga karena ini adalah pengabdian diri saya kepada Zat yang telah memberikan saya kesempatan mengenal dakwah kampus.

Tapi ditengah keputusan untuk tidak meninggalkan sampai beberapa waktu ke depan, saat ini jujur saya sedang memikirkan proses kaderisasi, yang bagi sebagian orang menjadi pertanyaan.

Teringat obrolan saya dengan seorang adik kesayangan saya di salah satu fakultas, ketika saya Tanya apakah dia sudah mulai memikirkan siapa penggantinya di tahun depan dan sedikit melakukan persuasive untuk mau melanjutkan amanah organisasi, jawabannya hanyalah : Moh ah…

Aduuh,,, kaget juga. Saya berkhuznuzhon adik saya ini paham, hanya mungkin cara saya yang kurang tepat…

Atau pertanyaan adik saya yang lain: Kenapa tho mbak, aktivis sampe sebegitunya mikirin kaderisasi?

Yang bisa saya jawab adalah: kadang saya gak mau menjadi stagnant, terus berada di kampus tanpa beranjak ke tantangan lainnya, karena bisa jadi saya punya kesempatan lebih besar untuk berkembang di luar dunia kampus. Bukan menyepelekan mereka-mereka yang mengabdikan diri pada kampus, hanya saja terkadang kita perlu keluar dari laboratorium yang terlalu sempurna ini, dan mencoba hal baru.

Mengasyikan mendapat pertanyaan-pertanyaan dari adik-adik saya tercinta mengenai pentingnya kaderisasi, membuat saya membuka kembali laci-laci memori dalam otak, mengulas kembali alasan saya dari dulu hingga sekarang banyak tertarik dengan proses kaderisasi.

Flash back ke dua tahun yang lalu saat saya pertama kali mempraktekkan konsep kaderisasi dalam pikiran saya (bila saya mengingatnya, sungguh saya memahami bahwa kampus memang laboratorium kehidupan). Air mata menganak sungai, urat syaraf menegang, emosi yang turun naik, sampai darah yang tertumpah, soalnya waktu itu saya kesal sampai memukul tembok. Pelajaran yang saya dapatkan, dakwah dengan mengdepankan nafsu hanya akan menghadirkan kesengsaraan, hehehe.

Tahun berikutnya, konsep kaderisasi saya terapkan dengan lebih banyak berdiskusi, tapi di penguhujung proses itu, saya kembali membuat ulah karena terpancing emosi. Yang kadang (saya ketahui) saya seringkali hanya memahami ketika melakukan kaderisasi, sayasangat ingin memberikan yang terbaik bagi sesuatu yang saya cintai (ex: SKRIPSI) tapi (terlalu) mengedepankan cara saya, apalagi ketika terjepit, tanpa mendengarkan pendapat orang sekitar,,, paragh… karena saya bertipe kerja cepat jadi inginnya juga selesai cepat. Hehehe. Akhirnya malah mengahadirkan lagi kekacauan.

Pelajaran yang saya dapatkan: emosi tidak perlu ditanggapi ketika bertemu saat-saat seperti itu. Biarkanlah mengalir, karena Allah telah menuliskannya di langit. Toh akhirnya Ia menguraikan benang kusut itu, walau dengan tetap menghadirkan konsekuensi sebagai pelajaran yang baik untuk menjadi dewasa dan menerima kuasa Allah.

Tahun ini… entah apa yang akan saya lakukan, semoga ulah saya tidak mengahancurkan proses kaderisasi. Waaah saya harus berdoa nih.hehhehe.

Kaderisasi penting, itu adalah kosep utama yang harus dipegang teguh. Kenapa? Karena tongkat estafet itu butuh dilanjutkan, agar ia bisa menyentuh garis finish. Mungkin bukanlah kita yang membawa tongkat tersebut hingga finish, bisa jadi teman kita, adik kita, atau anak kita (???? Ko anak ya jauh banget, biarin deh). Namun, seharusnya kita telah memiliki karya nyata yang bisa menyemangati kita melakukan proses kaderisasi untuk memberikan yang terbaik, karena kita gak maukan apa yang sudah kita perjuangkan selama ini harus mati di tengah jalan…

Pertanyaan lain adik saya: kenapa mesti ambisius banget sih mbak??? Serem tauk, aku jadi pengennya ditengah-tengah aja, kan aku objektif.

Waaah,,, ini PR, ternyata proses kaderisasi yang dilakukan oleh kita para penggerak organisasi mengesankan ambisiusitas yang menakutkan di mata mereka, adik-adik. Mungkin saya salah satu yang menakutkan juga, hanya adik saya ini aja yang belum tau kayaknya, hehehhe. Gak ko…

Yang saya pahami, kenapa akhirnya terkesan ngotot atau ambisius adalah karena kemi (para tetua, aduh akhirnya mengakui kalo sekarang udah tua) ingin yang terbaik, hanya mungkin caranya yang ternyata belum tepat. Sebuah evaluasi yang baik.
Tapi jangan kemudian enggan menyentuh daerah-daerah dimana proses kaderisasi dilakukan, sungguh konsep utama pengkaderan yang dilakukan adalah alasan yang telah saya sebutkan diatas. Selebihnya semoga hanyalah untuk Allah, sebagai bentuk penghambaan untuk menyebarkan nilai Islami melalui sebuah system dakwah kampus.

Bukan sebuah yang harus di takuti, monggo dipikirkan untuk dakwah yang tak akan pernah berhenti hingga Islam tertegak dan nilai-nilainya mengalir dalam tubuh umatnya. Karena bisa jadi kita tercatat sebagai pelaku sejarah, dan satu pintu syurga terbuka untuk kita.
Menanggapi beberapa SMS yang masuk di ponsel saya pagi ini, dan obrolan saya dengan beberapa adik fakultas.

Berikan yang terbaik, semampu kita.
Maka apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yng lain)
QS. Al Insyirah:7

May 9, 2010

belajar mendengarkan...

Terkisah, sebut saja namanya “Bunga” (hehehe pasaran banget), dalam pikirannya bergumpal-gumpal sebuah keluh kesah:

Akhir-akhir ini,,, emosiku mudah naik dan turun sepertinya…

Banyak hal yang dipikirkan, banyak hal yang harus segera di selesaikan. Dalam pikiranku ini, aku menilai semua masalah yang ada membutuhkan kerja cepat, tapi sepertinya teman-temanku tak berpikir seperti itu. Sepertinya diriku mulai merasa semuanya bisa ku tangani sendiri, tanpa bantuan orang lain.


Dalam hitungan hari saja, bisa dihitung ada 2 orang yang aku tegur. Payahnya… (maksudku aku yang payah)


Belum lagi, teguran yang datang pada ku. Dari teman, bahkan adik kelas. Sekali lagi aku kenapa ya???
Kumat mungkin…

Namun yang menjadi masalah adalah jika aku memutuskan untuk bercerita, maka mereka akan berkata, “sabar,,,bla,,bla,,bla, manusia itu… bla,,bla,,bla. Harus begini, harus bisa begitu,,,, bla,,bla,, bla”.
Mau tahu apa respon ku,,,


Aku cuma mau bilang, itu klise,,, -maaf- tidak solutif. Meberikan nasihat panjang, dengan harus begini dan begitu, terus apa?! Aku datang bukan untuk di ceramahi, tapi di dengarkan. Nasihatmu,,, bisa aku dapatkan dibuku. Aku tahu.

Dan esoknya, aku tidak akan lagi memilih orang itu untuk bercerita.

……………………………………………………………………………………………………………………………………
Pernah merasa dalam kondisi di atas???

Perlu kita sadari bahwa terkadang yang diperlukan saat seseorang datang bercerita bukanlah kata-kata kita. Tapi penerimaan dan kehadiran diri kita sepenuhnya. Kata-kata yang hanya di ucapkan, tapi tidak disertai dengan perasaan yang tulus akan terasa. Terasa, sangat terasa. Ketika hanya dilihat sebelah mata, didengar dengan satu telinga, dirasakan setengah hati, dan dihadirkan separuh diri.
Lalu apa yang diinginkan???


Hanya didengarkan, sesekali diberi keyakinan bahwa kita benar-benar mendengarkan. Karena seringkali yang dibutuhkan bukanlah nasihat panjang. Cukup kehadiran diri kita sepenuhnya, tapi itulah hal yang sangat sulit.


Menghadirkan diri sepenuhnya untuk orang-orang yang mengamanahkan sebagian curahan hatinya pada kita….

Kadang kita terlalu berusaha untuk mencoba paham, tanpa mau mendengarkan dulu apa yang ingin dibicarakan saudara kita yang sebenarnya, terlalu cepat menebak dan menyimpulkan apa yang sedang mereka alami, dan secepat kilat pula memberikan respon, padahal sangat mungkin respon itu tidak tepat dan tidak berarti apa-apa, selain kesan mengesalkan.


Belajarlah untuk menghargai cerita orang lain, belajarlah untuk memahami bahwa luapan emosi orang lain adalah daya juang mereka untuk bertahan terhadap masalah yang dihadapi, belajarlah mendengarkan dan menghadirkan diri untuk mereka yang mempercayakan sebagian curahan hatinya kepada kita. Belajarlah.


Seperti saat kita ingin di dengarkan saat berbicara, begitu juga mereka….
………………………………………………………………………………………………………………………..
Di tulis, karena malam ini terasa begitu sesak….

persepsi ayam

Tahu binatang apa yang paling sering ke-GR-an???

Menurutku binatang itu adalah ayam. Kenapa?

Beberapa kali saat akan keluar gang dari wismaku, selalu saja aku bertemu ayam-ayam dengan rasa GR yang tinggi. Saat motorku melaju, ia berlari seakan aku akan mengejarnya, padahal siapa juga yang mau mengejar ayam dengan motor. Belum lagi jika aku berjalan kaki dan bertemu dengan kawanan ayam . Mereka akan langsung menyingkir, sepertinya mereka berpikir bahwa aku akan menangkapnya. Yah… dasar ayam… kenapa juga mesti berlari menjauh. Intinya menurutku, kawanan ayam dekat wismaku itu sangat GR bila aku lewat di dekat mereka, gedhe rumongso-ne kalau aku mau menangkap mereka.

Ketika berkali-kali aku mengalami kejadian yang sama, ingin sekali aku katakan pada ayam-ayam itu: “Tenang ayam. Aku memang suka ayam, tapi satu-satunya ayam hidup yang ku suka sudah mati 8 tahun lalu, dan sekarang aku lebih menyukai ayam mati… maksudnya ayam yang bisa langsung ku makan untuk lauk, dan bukan kalian.”


Rasa GR ayam itu mungkin menyangkut persepsi ayam-ayam tentang diriku. Bisa jadi mereka mempersepsi bahwa diriku akan menangkap atau melindas mereka dengan motorku, bisa jadi juga diriku dipersepsi sangat menakutkan oleh ayam-ayam sehingga mereka berlarian ketika aku datang.

Persepsi adalah pandangan dan penilaian kita yang bersifat positif atau negatif terhadap sesuatu. Persepsi sesungguhnya sangat subjektif sehingga amat bergantung dari bagaimana kita mengolah stimulus yang datang dan kemudian memaknainya.

Kita seringkali menilai dan memaknai segala sesuatu hanya dari satu sisi, yaitu sisi sudut pandang diri kita sehingga tak jarang apa yang kita persepsikan berbeda dengan apa yang ada sebenarnya.


Seperti ayam diatas, sering kita mengira bahwa seseorang bersikap terlalu baik atau sedang bersikap tidak baik terhadap diri kita, padahal mungkin maksud orang tersebut bukan seperti itu. Maka itu, rasa GR kita terhadap sesuatu pun terkait dengan persepsi yang kita lakukan.

Misal, ketika ada seseorang yang sering menghubungi kita, menanyakan hal-hal yang dalam pandangan kita tidak perlu ditanyakan, kadang rasa GR itu naik ke permukaan dan membuat kita memaknai bahwa mungkin orang tersebut “menyukai” kita, padahal mungkin orang tersebut memang terbiasa bersikap seperti itu juga pada yang lainnya. Hahaha… teringat jaman masih muda. Ketika remaja, seseorang cenderung ingin diperhatikan oleh lawan jenisnya, sebagai kelanjutan dari perubahan hormon di dalam tubuh.

Atau tentang seorang yang sering melontarkan celetukan saat berbicara dengan kita, terkadang kita merasa sedang di-ece, padahal mungkin maksud orang tersebut hanya bercanda sebagai bumbu pemanis dalam pembicaraan yang sedang dilakukan.

Atau (lagi) tentang seorang yang berusaha membantu pekerjaan kita, tapi kemudian dipersepsi sebagai perilaku negatif yang melangkahi wewenang.


Kembali berbicara masalah GR, aku jadi teringat dengan pernyataan seorang teman, katanya “lebih baik GR sebagai bentuk waspada terhadap sesuatu daripada diam dan baru mengetahui belakangan bahwa itu adalah sebuah kesalahan” (saat itu kami sedang berdiskusi tentang bentuk perhatian yang terkesan berlebihan dari lawan jenis-dalam dunia ikhwan-akhwat). Monggo setiap kita memaknai pernyataan diatas, tepat ataukah tidak. Namun aku cenderung memilih bersikap biasa saja (tidak GR), karena bisa jadi bukan waspada yang datang, tapi emosi-emosi lain yang mengganggu kekhusyukan.

Itulah persepsi yang akhirnya berkaitan dengan emosi (menurutku GR termasuk dalam salah satu emosi manusia). Maka sebaiknya kita bisa memandang dan menilai sesuatu tidak hanya dari sisi sudut pandang kita, tapi juga belajar untuk memandang dan menilai sesuatu dari berbagai sisi sudut pandang sebagai bentuk antisipasi dalam pengelolaan emosi (perasaan).

.......................................................................................

Direnungkan setelah berkali-kali dijauhi kawanan ayam……………….