May 9, 2010

belajar mendengarkan...

Terkisah, sebut saja namanya “Bunga” (hehehe pasaran banget), dalam pikirannya bergumpal-gumpal sebuah keluh kesah:

Akhir-akhir ini,,, emosiku mudah naik dan turun sepertinya…

Banyak hal yang dipikirkan, banyak hal yang harus segera di selesaikan. Dalam pikiranku ini, aku menilai semua masalah yang ada membutuhkan kerja cepat, tapi sepertinya teman-temanku tak berpikir seperti itu. Sepertinya diriku mulai merasa semuanya bisa ku tangani sendiri, tanpa bantuan orang lain.


Dalam hitungan hari saja, bisa dihitung ada 2 orang yang aku tegur. Payahnya… (maksudku aku yang payah)


Belum lagi, teguran yang datang pada ku. Dari teman, bahkan adik kelas. Sekali lagi aku kenapa ya???
Kumat mungkin…

Namun yang menjadi masalah adalah jika aku memutuskan untuk bercerita, maka mereka akan berkata, “sabar,,,bla,,bla,,bla, manusia itu… bla,,bla,,bla. Harus begini, harus bisa begitu,,,, bla,,bla,, bla”.
Mau tahu apa respon ku,,,


Aku cuma mau bilang, itu klise,,, -maaf- tidak solutif. Meberikan nasihat panjang, dengan harus begini dan begitu, terus apa?! Aku datang bukan untuk di ceramahi, tapi di dengarkan. Nasihatmu,,, bisa aku dapatkan dibuku. Aku tahu.

Dan esoknya, aku tidak akan lagi memilih orang itu untuk bercerita.

……………………………………………………………………………………………………………………………………
Pernah merasa dalam kondisi di atas???

Perlu kita sadari bahwa terkadang yang diperlukan saat seseorang datang bercerita bukanlah kata-kata kita. Tapi penerimaan dan kehadiran diri kita sepenuhnya. Kata-kata yang hanya di ucapkan, tapi tidak disertai dengan perasaan yang tulus akan terasa. Terasa, sangat terasa. Ketika hanya dilihat sebelah mata, didengar dengan satu telinga, dirasakan setengah hati, dan dihadirkan separuh diri.
Lalu apa yang diinginkan???


Hanya didengarkan, sesekali diberi keyakinan bahwa kita benar-benar mendengarkan. Karena seringkali yang dibutuhkan bukanlah nasihat panjang. Cukup kehadiran diri kita sepenuhnya, tapi itulah hal yang sangat sulit.


Menghadirkan diri sepenuhnya untuk orang-orang yang mengamanahkan sebagian curahan hatinya pada kita….

Kadang kita terlalu berusaha untuk mencoba paham, tanpa mau mendengarkan dulu apa yang ingin dibicarakan saudara kita yang sebenarnya, terlalu cepat menebak dan menyimpulkan apa yang sedang mereka alami, dan secepat kilat pula memberikan respon, padahal sangat mungkin respon itu tidak tepat dan tidak berarti apa-apa, selain kesan mengesalkan.


Belajarlah untuk menghargai cerita orang lain, belajarlah untuk memahami bahwa luapan emosi orang lain adalah daya juang mereka untuk bertahan terhadap masalah yang dihadapi, belajarlah mendengarkan dan menghadirkan diri untuk mereka yang mempercayakan sebagian curahan hatinya kepada kita. Belajarlah.


Seperti saat kita ingin di dengarkan saat berbicara, begitu juga mereka….
………………………………………………………………………………………………………………………..
Di tulis, karena malam ini terasa begitu sesak….

persepsi ayam

Tahu binatang apa yang paling sering ke-GR-an???

Menurutku binatang itu adalah ayam. Kenapa?

Beberapa kali saat akan keluar gang dari wismaku, selalu saja aku bertemu ayam-ayam dengan rasa GR yang tinggi. Saat motorku melaju, ia berlari seakan aku akan mengejarnya, padahal siapa juga yang mau mengejar ayam dengan motor. Belum lagi jika aku berjalan kaki dan bertemu dengan kawanan ayam . Mereka akan langsung menyingkir, sepertinya mereka berpikir bahwa aku akan menangkapnya. Yah… dasar ayam… kenapa juga mesti berlari menjauh. Intinya menurutku, kawanan ayam dekat wismaku itu sangat GR bila aku lewat di dekat mereka, gedhe rumongso-ne kalau aku mau menangkap mereka.

Ketika berkali-kali aku mengalami kejadian yang sama, ingin sekali aku katakan pada ayam-ayam itu: “Tenang ayam. Aku memang suka ayam, tapi satu-satunya ayam hidup yang ku suka sudah mati 8 tahun lalu, dan sekarang aku lebih menyukai ayam mati… maksudnya ayam yang bisa langsung ku makan untuk lauk, dan bukan kalian.”


Rasa GR ayam itu mungkin menyangkut persepsi ayam-ayam tentang diriku. Bisa jadi mereka mempersepsi bahwa diriku akan menangkap atau melindas mereka dengan motorku, bisa jadi juga diriku dipersepsi sangat menakutkan oleh ayam-ayam sehingga mereka berlarian ketika aku datang.

Persepsi adalah pandangan dan penilaian kita yang bersifat positif atau negatif terhadap sesuatu. Persepsi sesungguhnya sangat subjektif sehingga amat bergantung dari bagaimana kita mengolah stimulus yang datang dan kemudian memaknainya.

Kita seringkali menilai dan memaknai segala sesuatu hanya dari satu sisi, yaitu sisi sudut pandang diri kita sehingga tak jarang apa yang kita persepsikan berbeda dengan apa yang ada sebenarnya.


Seperti ayam diatas, sering kita mengira bahwa seseorang bersikap terlalu baik atau sedang bersikap tidak baik terhadap diri kita, padahal mungkin maksud orang tersebut bukan seperti itu. Maka itu, rasa GR kita terhadap sesuatu pun terkait dengan persepsi yang kita lakukan.

Misal, ketika ada seseorang yang sering menghubungi kita, menanyakan hal-hal yang dalam pandangan kita tidak perlu ditanyakan, kadang rasa GR itu naik ke permukaan dan membuat kita memaknai bahwa mungkin orang tersebut “menyukai” kita, padahal mungkin orang tersebut memang terbiasa bersikap seperti itu juga pada yang lainnya. Hahaha… teringat jaman masih muda. Ketika remaja, seseorang cenderung ingin diperhatikan oleh lawan jenisnya, sebagai kelanjutan dari perubahan hormon di dalam tubuh.

Atau tentang seorang yang sering melontarkan celetukan saat berbicara dengan kita, terkadang kita merasa sedang di-ece, padahal mungkin maksud orang tersebut hanya bercanda sebagai bumbu pemanis dalam pembicaraan yang sedang dilakukan.

Atau (lagi) tentang seorang yang berusaha membantu pekerjaan kita, tapi kemudian dipersepsi sebagai perilaku negatif yang melangkahi wewenang.


Kembali berbicara masalah GR, aku jadi teringat dengan pernyataan seorang teman, katanya “lebih baik GR sebagai bentuk waspada terhadap sesuatu daripada diam dan baru mengetahui belakangan bahwa itu adalah sebuah kesalahan” (saat itu kami sedang berdiskusi tentang bentuk perhatian yang terkesan berlebihan dari lawan jenis-dalam dunia ikhwan-akhwat). Monggo setiap kita memaknai pernyataan diatas, tepat ataukah tidak. Namun aku cenderung memilih bersikap biasa saja (tidak GR), karena bisa jadi bukan waspada yang datang, tapi emosi-emosi lain yang mengganggu kekhusyukan.

Itulah persepsi yang akhirnya berkaitan dengan emosi (menurutku GR termasuk dalam salah satu emosi manusia). Maka sebaiknya kita bisa memandang dan menilai sesuatu tidak hanya dari sisi sudut pandang kita, tapi juga belajar untuk memandang dan menilai sesuatu dari berbagai sisi sudut pandang sebagai bentuk antisipasi dalam pengelolaan emosi (perasaan).

.......................................................................................

Direnungkan setelah berkali-kali dijauhi kawanan ayam……………….