Dec 30, 2010

Mari Bicara Tentang NARSIS

Dialog

Saya: iya donk, kan anak psikologi, jadi lebih peka sama lingkungan.

Teman saya: Narsis



Cerita

Suatu kali membuka mbah gugel dengan mengetik ABG Narsis dalam kategori gambar, kemudian hasil yang ditampilkan adalah foto-foto individu dalam rentang usia remaja dengan gaya berfoto melihat keatas, tersenyum, disertai menempelkan satu jarinya di mulut atau sembari manyun-manyun tidak jelas atau hasil berucap ”unyu-unyu” (kata-kata yang sampai sekarang tidak saya pahami maknanya).



Benarkah itu makna dari narsis?



Mari kita cari tahu makna narsis dari literatur sejarahnya:

Banyak versi mengenai sejarah Narsissus, satu yang saya pilih adalah kisah tentang Narcissus yang sedang berburu kijang di hutan, saat ia merasa haus kemudian bermaksud mengambil air di sebuah danau, sampai terpantulah bayangan dirinya yang tampan di air danau tersebut, ia tak mau menyentuh air danau tersebut karena takut merusak bayangan yang ada pada permukaan airnya, ia terpesona, ia jatuh cinta dengan bayangan dirinya yang terpantul di air hingga tak sampai hati menyentuh air danau. Narcissus kemudian meninggal dalam keadaan memandangi dan mencintai bayangannya sendiri.



Karena terpesona dan kecintaan narsissus dengan bayangan dirinya itulah, selanjutnya penyimpangan perilaku dengan ciri kecenderungan berbangga lebih terhadap diri sendiri disebut sebagai narsissus disorder.



Dalam kajian psikologi, narsistik adalah konsep diri yang terlalu melambung, dalam buku Alexander Lowen (Denial of The True Self) menyebutkan bahwa secara psikologis seorang individu dikatakan narsis ketika ia telah sangat berjuang untuk membangun citra atas dirinya hingga mengorbankan diri mereka sendiri, seringkali berlaku menipu demi penampilannya di mata orang lain. Tindakan dan perilakunya seringkali tanpa melalui proses pikir, cenderung manipulatif, egosentris, sangat ingin memiliki atau menguasai, seringkali tidak jujur dalam membawa diri, dan cenderung tidak bertangungjawab (Lowen, 1985).



Perilaku narsis disini cenderung dikatakan sebagai penyimpangan (disorder) ketika ia mulai merugikan orang lain. Bayangkan seorang yang berperilaku narsissus disorder seringkali menganggap bahwa dirinyalah yang paling benar, apa yang ia persepsikan dan asumsikan pastilah sesuai dengan kenyataan, ia tidak lagi memperdulikan pendapat lingkungan yang akhirnya berujung pada paham egosentrisme yang memperlakukan dunia dengan tolak ukur dirinya. Ia kemudian merusak ikatan sosial dan mendistorsi sikap terhadap masa depan terkait pada estimasi (memperkirakan dan membaca rencana suksesnya).



Dalam studi psikologi, interaksi sosial mereka yang memiliki kecenderungan perilaku narsistik digambarkan dengan sebuah hubungan yang tidak menyamankan orang lain, mereka cenderung memiliki fantasi akan ketenaran atau malah kekuasaan, seringkali merespon kritik yang sampai ke dirinya dengan amarah dan penjalasan panjang tentang apa yang telah dicapainya atau dicapai orang disekitarnya, kadang malah sampai bersikap merendahkan orang lain yang dianggap mengancam posisi dirinya untuk tetap tampil sempurna (dalam standar dirinya). Mereka yang narsistik juga kurang mampu menjaga komitmen dan memberikan perhatian dalam interaksinya dengan orang lain, secara yang diperhatikan olehnya terbatas pada dirinya.



Bisa ditebak, dalam bahasa awam siapakah mereka yang narsis? Mereka yang narsis adalah mereka yang sombong sampai mengganggu orang lain, tidak memiliki tolak ukur yang masuk akal dan sesuai proporsi dirinya, mereka yang sering menjelekkan dan merendahkan orang lain (bisa jadi secara verbal sampai dengan perilaku) guna melindungi dirinya yang merasa terancam (dalam standar dirinya, padahal mungkin bagi orang lain keadaan itu biasa saja), yang seringkali tak mengindahkan orang lain saat akan mewujudkan pengamanan atas diri, “yang penting saya merasa bahagia, yang lain bodo amat,” mungkin itu penjelasan mudah mengenai cara berpikir para narsistik.



Karakter seorang yang mengalami narsissus disorder tidak dapat langsung terlihat, banyak indikator perilaku yang harus dicapai, tapi secara kilat bisa kita ukur melalui sikap seorang yang dengan renyah meremehkan dan atau merendahkan orang lain guna meninggikan dirinya dalam percakapannya, tentu saja tidak hanya dalam konteks verbal tapi juga bahasa tubuh dan sikapnya, mereka yang seringkali tidak mau dan tersinggung ketika mendapat nasihat apalagi bila sampai ditegur.



Sayangnya saat ini dalam masyarakat kita, konsep narsistik sedikit banyak telah bergeser maknanya, terkadang secara dangkal dihubungkan dengan gaya berfoto atau sikap kekanak-kanakan para individu yang memang belum memasuki masa dewasa, atau malah dihubungkan dengan lelucon mengenai orang yang memiliki kepercayaan diri, seperti yang saya gambarkan melalui dialog pembuka note ini.



Perlu dipahami, narsistik memiliki beda dengan percaya diri, mungkin secara gampang bisa kita sebut narsistik sebagai percaya diri yang berlebihan (ke–PD-an). Namun, sebenarnya percaya diri adalah sesuatu yang masih sangat dibutuhkan seseorang untuk mejalin interaksi sosial, berbeda dengan narsistik yang akan merusak interaksi sosial. Percaya diri dalam porsi yang tepat adalah memahami kemampuan yang dimiliki oleh diri, meyakini bahwa diri mampu dengan telah mengukur kapasitas, memprediksi kuantitas, dan mengetahui kualitas atas diri dengan baik dan berimbang.



--------------------------------------------------------------

Sedikit pembetulan tentang makna narsis yang seringkali dimaknai dangkal, narsis adalah sebuah penyimpangan perilaku, jangan dengan mudah kita melabelkan diri dengan istilah narsis, karena kata adalah doa. Narsis adalah sebuah kesombongan atau sikap takabur, yang tak pernah diajarkan, yang tak pernah menyamankan.



By the way... bercermin pada diri, adakah ciri narsistik yang pernah atau sering kita lakukan?



Dapus:

http://www.e-psikologi.com/epsi/klinis.asp



Dec 22, 2010

Kenapa Komunis (Marxisme dan Leninisme) ditolak keberadaannya?

Malam-malam dapet order diskusi, tidak tanggung-tangung bahasannya komunisme. Jujur saat itu pengetahuan saya minim mengenai hal tersebut walaupun siang harinya baru saja membaca sekilas mengenai atheis dan agnostik, paling tidak saya punya rambu sampai mana paham komunisme boleh dimaklumi.
Sebagian besar rakyat Indonesia yang awam pastilah mengira komunisme adalah sebuah paham anti Tuhan, padahal paham ini sebenarnya bermula pada kekecewaan rakyat terhadap perekonomian negara, kecurangan yang diusung oleh konsep kapitalisme yang semakin mengkayakan si kaya dan memiskinkan si miskin. Komunisme lahir sebagai reaksi terhadap kapitalisme di abad ke-19, yang pemerintahannya mementingkan individu pemilik dan mengesampingkan buruh, sedangkan berkembang di indonesia sejak pecah perang kemerdekaan setelah pemerintahan berdiri, mungkin ingat pemberontakan PKI Madiun tahun 1947.
Baiklah, maksud teman diskusi saya kali ini adalah meluruskan konsep mengenai komunis yang bersumber pada ajaran Marxisme dan Leninisme. Pada awalnya saya masih berkutat dengan pemaknaan bahwa komunis pastilah atheis, tapi ternyata ya saya akui ada beberapa tokoh komunis Indonesia yang masih menerima konsep agama dalam kehidupan mereka, sebut saja Tan Malaka dan H. Misbach. Konsep komunis yang diusung lebih menekankan pada konsep perekonomian, jadi komunis merupakan sebuah ideologi yang mengusung kepartaian dalam penyelengaraan negara yang akan mengatur aset-aset urgen untuk mencapai kesejahteraan rakyat, begitulah yang saya tangkap tentang penjelasan mengenai konsep dasar komunisme.
Lalu dengan polos saya bertanya, mengapa kemudian terhubung dengan konsep atheis yang mengakibatkan komunis ditolak mentah-mentah oleh banyak tokoh di Indonesia? Menurut teman saya ini adalah bentuk rekayasa pemerintahan Soeharto sebagai antek kapitalisme untuk menghancurkan konsep komunis yang sebenarnya, penolakan agar aset negara terkelola dengan baik, agar nantinya aset-aset berharga bisa dipegang dan dieksploitasi oleh orang kaya yang menjadi kolega Soeharto. Ya terbukti, lihat saja Freeport yang dikontrak selama 90 tahun, hehehe.
Apakah iya hanya itu? Padahal banyak ulama pun menolak ajaran komunis berkembang di Indonesia. Saya berulang kali bertanya, tapi tidak mendapat jawaban memuaskan sampai akhirnya tersebut sebuah dasar filsafat yang mendasari ajaran Marxisme dan Leninisme yaitu filsafat Materi.
Secara sederhana, filsafat materi adalah sebuah konsep pikir yang berujung pada ukuran materi dan mengenyampingkan metafisika, saya jadi teringat mengenai atheis dan agnostik yang baru saja saya baca. Inilah yang ditakutkan para tokoh Islam mengenai perkembangan ajaran Marxisme dan Leninisme di Indonesia.
Sangat mungkin banyak yang tidak mau paham dengan apa yang dikirkan teman saya ini mengenai konsep Merxisisme dan Leninisme sehingga pastilah saat ia mengungkap bahwa ia sedikit menerima konsep komunis dalam perekonomian Indonesia, terjadi banyak penolakan. Sebenarnya keinginan sederhananya adalah karena ia baru saja menemukan sebuah sisi positif mengenai komunis yang ingin mensejahterakan rakyat sehingga konsep itu setidaknya tidak langsung di tolak keberadaannya.
Dalam diskusi tersebut banyak ungkapan mengenai kejadian 30 S PKI tahun 1960 yang ia sebut sebagai rekayasa berlebihan, mengenai pembantaian PKI terhadap jendral dan masyarakat awam, ia sebutkan kondisi tersebut tak lebih dari cara Soeharto Untuk memunculkan diri sebagai pembawa panji kebenaran agar bisa masuk dalam pemerintahan sebagai antek terselubung kapitalisme. Tuntutan teman saya adalah pengembalian nama baik atas korban dan keluarga yang tertuduh sebagai anggota PKI yang terenggut hak asasinya sebagai warga negara.
Saya teringat dengan sepupu ibu saya yang ayahnya dituduh menjadi tokoh PKI, yang sampai hari tuanya sekarang pun tidak pernah merasakan nikmatnya bangku pendidikan. Miris memang. Untuk kasus-kasus seperti itu bisa saya terima secara pikir dan hati, tapi ketika ia mulai menyebut bahwa TAP MPR yang melarang masuknya ajaran Marxisme dan Leninisme itu perlu diubah, ooowh saya mulai panas menanggapinya. Bagaimana mungkin kita bisa menerima ajaran itu masuk kembali ditengah arus pikir dunia barat yang menjujung liberalisme dan pragmatisme telah merasuk dalam pikiran pemuda. Apakah tidak akan menambah panjang daftar PR pembenahan negara yang sudah morat-marit moralnya?
Penerimaaan atas sebuah konsep oleh pemuda bukanlah sebuah proses pendek yang kemudian akan mudah melahirkan positivisme bagi perkembangan bangsa. Individu yang mendapatkan konsep baru mengenai ideologi biasanya berasal dari kelompok usia remaja akhir atau dewasa awal dan secara kognitif idealime pribadi yang dimiliki masih sangat tinggi sehingga sangat mungkin ketika menemukan konsep ideologi atau idealisme baru, individu pada rentang usia tersebut akan berusaha optimal dalam mengimplikasikan konsep tersebut dalam kehidupannya.
Lalu apa yang terjadi jika ajaran Marxisme dan Leninisme dibiarkan masuk kembali ke Indonesia, ditengah pendidikan agama mengenai konsep ketuhanan terkerdilkan menjadi hanya bentuk-bentuk ritual? Pemuda kita yang sedari kecil seringkali tidak dengan baik mengenal Tuhannya harus bertemu dengan konsep filsafat materi yang mempertanyakan metafisika dengan ujung pertanyaan terhadap keberadaan tuhan yang masuk dalam metafisika, karena memang materi manusia tidak bisa menjangkau materi Tuhan. Haaaaaah...
Baiklah, mungkin kawan saya ini ingin mengambil sisi positif dari sebuah konsep (sekali lagi saya sebutkan itu), tapi perlu pemikiran dan pertimbangan panjang mengenai dampak yang akan timbul. Dalam pembenahan ekonomi tersebutlah ekonomi syariah, mengapa harus mengembangkan teori ekonomi komunis bila kita bisa mengembangkan ekonomi syariah. Toh dalam perjalanannya ideologi komunis hancur bukan karena serangan orang luar, melainkan orang dalam. Para tokohnya menjadi korup, aset-aset negara yang begitu menggiurkan berada di tangannya hingga akhirnya kapitalisme masuk kembali ke dalam pikirannya. Lalu dimana kebaikan komunisme itu...(wah panas ini... maaf saudaraku, aku tak lagi diam mendengar pahammu mengenai marxisisme dan leninisme). Okelah, mungkin ada sisi positif yang ditawarkan agar kaum buruh dan orang miskin diperhatikan, tapi selanjutnya sungguh materi begitu sangat menggiurkan dan tanpa dekat dengan Tuhan rayuan syaitan begitu mudah menghanyutkan.
--------------------------------------------------------------
Maka yang perlu dibenahi jangka panjang adalah kelurusan akidah setiap pemuda muslim, bisa gak sih pemantapan mengani konsep Ketuhanan di masukkan dalam kurikulum sekolah, jadi gak hanya melulu masalah ritual keagamaan, ya walaupun ritual juga dibutuhkan.
Kayaknya mentoring guna nih, semoga para pementornya lulus salimul akidah dan cerdas ya, jadi kalo ada bibit mahasiswa yang tertarik dengan filsafat bisa ditanggulangi hee...
-------------------------------------------------------------
Namun, diantara kekagetan saya dengan pemikiran baru teman saya, saya sangat menghargai proses belajarnya, jelas bukan orang dengan kecerdasan dibawah rata-rata yang mau membahas konsep seperti ini, bukan juga mereka yang punya karateristik tidak peduli dengan lingkungan, hanya saja sedikit belum panjang memperhitungkan dampak... ok kita semua belajar. Diskusi dengan dirimu pun membuatku belajar.
No limit to learn and move (jargonnya Kelompok Studi Pengembangan Psikologi Islami)

Dec 4, 2010

Menimbang Ukhuwah

Menimbang Ukhuwah



Beberapa kali aku ingin menulis tentang ukhuwah, tapi berkali gagal mungkin karena sedikit banyak aku sedang menyiakan ukhuwah yang diamanahkan. Seberapa manisnyakah ukhuwah? Aku tuliskan sedikit cerita tentang ukhuwah yang menopang kehidupanku hingga aku bisa berdiri tegak di sebuah kota asing selama empat tahun belakangan.



Aku menemukan mereka ketika menjadi sebatangkara di sebuah kota asing. Mungkin dalam ukhuwah ini, sering kali aku menjadi tokoh antagonis yang membuat mereka tidak nyaman, kadang menjadi sangat keras dan banyak menuntut pada mereka yang aku anggap mampu memberikan sesuatu yang lebih baik dari apa yang mereka berikan. Esensi ini tidak pernah aku buka, biarlah seakan aku yang paling aneh, asal ujungnya adalah kebaikan bagi semua, tak menjadi masalah.



Memuncak ketika typus meyerang tubuhku yang memang sering sakit, aku pahami ukhuwah itu benar manis. Semenjak kuliah dan jauh dari rumah, sedikitnya tiga penyakit kronis ala mahasiswa menempel di tubuhku, seringkali pulang dengan keadaan dekil dan kulit menghitam yang kadang menjadi pertanyaan ibu padaku, “hehe hasil hidup jauh dari perawatan ma...” celetukku. Seketika aku merasakan betapa hebat ukhuwah itu, selalu ada yang mau mengantarku ke dokter, menunggui di rumah sakit, membawakan kasur dan karpet untuk alas tidur bapakku, menjadi pelawak di kamar rawat inap, menjadi supir ojek dadakan untuk bapak yang harus bolak-balik mengurus ASKES dan biaya rumah sakit, sampai jadi agen tiket kereta.



Aku mulai menimbang ukhuwah ini.



Ketika rasa kecewa, sedih, marah mulai memasuki hati yang kosong, aku mencari-cari maafku untuk kesalahan kecil yang mereka lakukan.



Padahal dibanding rasa itu, berapa banyak kebahagiaan yang terhadirkan saat bersama mereka.



Teringat ketika aku mulai mengenal organisasi di tingkat universitas yang ternyata lebih dingin dari apa yang aku bayangkan sebelumnya, hipotermia akan kehangatan organisasi menyerang hati dan otakku. Tahun pertama aku di organisasi itu, saat lokakarya, aku kirim SMS kepada satu persatu teman seperjuangan di fakultas, aku memilih bolak balik ke tempat wudhu untuk menghapus air mata yang jatuh tanpa kompromi dulu dengan otak. Di hari kedua, aku memperjuangkan kebersamaan bersama mereka, ngawul dan berteriak bersama, berpeluh dan tertawa, meninggalkan dua jam lokakarya, hanya untuk bersama mereka. Atau tentang seorang yang menawarkan bantuan agar rasa dingin itu berkurang, terimakasih aku tersanjung sungguh (mungkin orangnya sudah lupa hehe). Atau tentang dua hari bersama seorang yang sakit giginya, yang berbahagia karena kembali menjadi bayi dan menikmati belaian uminya. Atau tentang hari-hari bersama fans berat einstein dan doraemon yang kesal di hari wisudaku karena telponnya tidak aku angkat.



ingat juga dengan sebuah perjanjian bersama mereka, di depan pintu syurga. Kami akan saling menunggu agar bisa masuk bersama-sama karena ukhuwah kami, akan menjadi pembela ketika ibu bendahara kami tertahan akibat utang-piutang yang belum terselesaikan. Indah dan membahagiakan.

--------------------------------------------------------

Di ujung keberadaan ku di kota yang nanti mungkin akan kembali menjadi asing bagiku, saat aku akan kembali ke rumah di kota tempat aku dibesarkan, yang sekarang terasa asing dan terlalu besar. Aku mulai merasa sendiri dan tertinggal. Aku mulai menyalahkan mereka yang tak kunjung menghubungi aku saat mengambil keputusan-keputusan penting, mulai merasa tak nyaman karena ketidaktahuan yang aku rasakan, asing.



Aku mulai berbohong pada diriku sendiri dengan bersikap seperti anak kecil, aku kembali menjadi mudah marah dan egosentris, aku kembali memaksakan diri untuk tidak peduli, padahal aku peduli, hanya saja aku mulai bingung dengan bagaimana cara untuk menyalurkan kepedulian itu.



Menjauh dari mereka adalah sebuah perjuangan ternyata. Menjadi sulit karena dekapan ukhuwah ini sebuah zona nyaman yang berat untuk ditinggalkan. Satu-satu mereka ibarat puzzle yang memiliki bentuk dan tempatnya masing-masing, akan tetap berada di sana dan akan tetap aku pertahankan di sana.

Semuanya, tidak hanya mereka yang tumbuh besar bersama ku di fakultas, tapi juga yang aku temui di luar fakultas.



Aku mencari maafku dan aku harap juga ada maaf untukku.

-----------------------------------------------------------------------

Ukhuwah ini adalah hadiah yang Allah beri, sebuah bentuk kasih sayang yang terkadang tidak aku temukan dalam hari-hariku di rumah. Bukan berarti keluargaku tidak memberikan kasih sayang, hanya saja, rasanya berbeda, manis dan pahitnya berbeda.

-----------------------------------------------------------------------

Aku kembali menimbang ukhuwah ini, sembari membaca buku “dalam dekapan ukhuwah.” Kutemuka sebuah puisi, tepat saat aku mulai membukanya, mungkin Allah sedang membantuku berjuang untuk menjauh dari mereka dengan lapang dada.



Bata demi Bata, Menara Cahaya



Kau mengatakan,

“dalam tiap takdir kesalahanmu padaku,

Aku senantiasa berharap takdir kemaafanku mengiringinya”

Ku Jawab lirih, “Dalam tiap takdir kejatuhanmu,

Semoga takdir pula uluran tanganku.”

Maka kita pun bersenandung,

“Dalam takdir ukhuwah kita,

Semoga terbangun kokoh menara cahaya,

Tempat kita bercengkrama

Kelak di syurga.”

-------------------------------------------------------------- Salim A. Fillah



Untuk semua kenangan indah yang pernah aku dapatkan, berharap Allah selalu melindungi mereka.

Amin allahuma amin.

---------------------------------------------------------------

Di tengah rasa yang tidak terdefinisikan...

di ujung hari-hari bersama mereka...



terima kasih banyak, jazakumullah khoiron katsir.



Belajar bersyukur dengan setiap apa yang Allah beri, seperti apapun itu, pastilah memiliki makna, entah untuk saat ini atau hari esok, entah untuk di dunia ini atau di akhirat nanti.



(selamat menempuh amanah baru, barakallah ^^b)

sudah kah kita dewasa?

Nama panjangnya Muhammad Pintoko Daruadi. Ada yang kenal…?

Jika secara fisik mempunyai kedekatan denganku, paling tidak pernah mendengar nama itu. Dia Pinto, adikku satu-satunya.

Usia kami tidak jauh berbeda, ia lebih muda 2 tahun 3 bulan. Makanya dulu aku sempat khawatir suatu saat disatu sisi dia akan melampaui aku, entah fisik atau psikis.

Dan ternyata sekarang, itu benar2 terjadi. Secara fisik, jelas aku sangat tertinggal, besar badanku mungkin hanya 60% dari besar badannya, tapi sebenarnya itu tak begitu menjadi masalah bagiku sekarang. Yang lebih bermasalah menurutku adalah ketika akhir-akhir ini aku merasa, dia jauh lebih dewasa dibanding aku.

Dalam menghadapi masalah misalnya, terkadang aku kelewat berlebihan dalam merespon, mudah menangis dan melakukan self-blame, tapi dia tidak seperti itu. Keadaan ini mulai aku sadari saat aku mendapat masalah, pertama kali ditilang oleh polisi. Aku menangis sejadi-jadinya saat menelpon pinto yang saat itu masih duduk di kelas 2 SMA, dia mendengarkan semua keluh kesahku, sambil sesekali membela atau bertanya, “kenapa lo gak gini” “kenapa lo gak gitu”. Terasa agak disalahkan, tapi paling tidak aku merasa didengarkan dan diberikan perhatian. Kondisi yang sering sekali terjadi, apalagi kalau aku menangis. Pernah sekali waktu, ketika aku sangat jengkel padanya, aku mencakar pergelangan tangannya hingga berdarah (sadis banget ya?), sampai saat ini pun bekas luka itu masih ada, dan hanya kata maaf yang bisa kukatakan sembari tertawa kecil, entah dia pahami atau tidak, diriku sangat menyesali kejadian itu. Dan dia hanya diam, paling hanya mengatakan “ya ini gara-gara lo” sambil menarik kembali tanggannya. Ya… Diam, dingin, tak terlalu banyak bicara dan tertawa, tetapi ada. Itu pinto, bagiku sekarang.

Akhir-akhir ini aku lebih merasakan kedewasaan itu benar-benar melekat pada dirinya. Sesekali aku membaca secara detail wall FB miliknya, komentar-komentar yang ia berikan kepada teman-temannya, sanggahan atau argumentasi atas sesuatu yang ia yakini sebagai kebenaran, semua ia sampaikan dengan baik, cerdas. Malah terkadang aku menemukan wall berisi ucapan terimakasih atau mohon doa karena si pengirim wall mau UN, teman-temannya yang minta diajari tugas kuliah, atau hal lain yang terkadang membuat aku bertanya “apa iya dia seperti itu?”

Allah benar-benar Maha baik, saat ini bagiku Pinto tidak hanya menjadi seorang adik laki-laki, tapi juga bisa menjadi kakak laki-laki, teman bicara, dan seringkali jika orang yang mengenalku sebagai manusia “biasa” bertemu dengan ku dan pinto yang jalan berdua, maka mereka akan berpikir pinto adalah pacarku… -hahahaha…-


Yah,,, ternyata sekarang dia mampu bersikap dewasa dan bisa menjalankan peran sebagai kakak untuk banyak orang , dan salah satu diantara orang itu adalah AKU.


Satu hal yang sering aku renungkan dari keadaan ini, adalah tentang kedewasaan. Benar kata orang, ketika menjadi tua itu adalah pasti, tapi menjadi dewasa adalah pilihan. Dan seringkali umur kita tak juga menjamin kedewasaan kita. Tidak jarang kita melihat, orang dengan usia yang tak lagi muda tapi enggan bersikap dewasa,memiliki egosentrisme yang besar, banyak menuntut lingkungan untuk berubah mengikuti dirinya, tidak mau bertanggungjawab atas apa yang dilakukan, tidak bisa mengelola emosi (perasaan)-nya, atau hal lain yang bila dilihat sangat kekanak-kanakan.


Ketika kita memiliki kedewasaan, paling tidak seharusnya kita lebih bisa mengelola diri sendiri, bersikap bijak, lebih tenang ketika menghadapi masalah, tahu mana yang harus dilakukan dan mana yang sebaiknya tidak dilakukan, dan bisa membawa diri ketika berada ditengah-tengah orang lain sehingga orang lain merasa nyaman bersama kita.

Maka itulah kedewasaan dikatakan sebagai sebuah pilihan, bukan kepastian. Karena memang kita yang harus memilih untuk bersikap dewasa atau tidak bersikap dewasa.

Aku pun seharusnya seperti itu. Saharusnya aku lebih bisa menyadari bahwa usia yang diberikan Allah kini telah menginjak kepala dua dan masa baligh telah dipertemukan padaku bertahun-tahun sehingga tuntutan menjadi manusia yang dewasa pun telah disandangkan padaku. Namun, terkadang khilaf dan alpa membuat itu tertutupi dan terlupakan.

Sesuatu yang mungkin bisa kita renungkan, sebuah pertanyaan tentang: sudah bersikap dewasakah kita?
……………………………………………………………………………………………………………………………………………….

Sebuah artikel yang terinspirasi dari pernyataan seorang teman yang menunggu di”tag” dalam note ku. Serta Pinto, adikku yang sekarang telah dewasa.

(Pin, ka bangga sama lo… dan kakak belajar banyak hal dari pengalaman bersama lo akhir-akhir ini, may Allah bless you brotha…amin)

Dec 2, 2010


Note ini saya buat, lima menit setelah melihat berita mengenai Kate Middleton dengan Pangeran William, tentu saja di televisi.



Ini tentang masa menunggu, hehehe. Belakangan seringkali mendapat pertanyaan, doa, atau malah sindirian, entahlah. Terkadang terasa tidak nyaman, tapi lebih sering biasa saja dan berusaha mencoba menanggapinya dengan kepala dingin. Respon tanggapan itu telah saya coba pelajari dua tahun belakangan, semenjak usia memasuki kepala dua.



Beberapa kali membaca status teman mengenai, tulang rusuk yang belum menemukan siapa pemiliknya atau tentang menunggu si pengeran berkuda putih. Pernah dulu setelah melihat film Pretty woman, ingin juga rasanya di jemput pangeran berkuda putih, tapi tidaklah cukup ber_Alphard putih, celetuk saya saat itu (ngawir.com)



Masa menunggu, ternyata saya sudah memasuki masa itu ya? Rasanya masih ingin mengelak saja, masih enggan untuk menyadari masa itu telah tiba. Malu, itu intinya. Masih sangat grogi ketika berbicara masalah pernikahan, inginnya menutupi bahwa saya kalang kabut ketika ditanya seperti itu, tapi seringkali malah terlihat bodoh dengan jawaban-jawaban tidak cerdas, salah tingkah, dan mungkin senyuman yang terlalu lebar,bingung.



Obrolan bersama bulek ketika saya menghadiri pernikahan adik sepupu saya yang secara usia lebih tua:

Bulek: Nanti kak Nuram ambil Melati yang ada di roncean pengantinnya ya.

Saya: hah? (dengan muka bodoh)

Bulek: eeeh jangan tersingung,

Saya: (buru-buru saya potong) iya bulek nuram tahu maksudnya.

Atau obrolan dengan kakak sepupu saya:

Mbak: Kapan kak Nuram?

Saya: apanya?

Mbak: ntar bilang mama, EO nya pake dari mbak,,,

Saya: hehehe (dengan senyum terlalu lebar), di discount ya mbak, 50% persen?

Mbak: lha,,,profesional donk... hehehe

Kakak saya itu, pengusaha Wedding Organizer, belum-belum udah bisnis aja, sepertinya beliau memasukkan nama saya dalam daftar calon kliennya.



berbeda dengan orang tua saya yang tidak pernah membahas ini. Mungkin dalam mata mereka saya masih anaknya yang kecil.

Hemm,,, seperti kata MR saya yang pertama usia 20-an adalah usia rawan dengan pikiran-pikiran mengenai menikah. Jujur, karena sering digoda itulah malah jadi terpikirkan, dalam pikiran saya: ini kenapa jadi kepikiran? Padahal dulu saya telah merancang apa-apa yang akan saya lakukan untuk mengamankan hidup saya dari pikiran aneh mengenai pernikahan. Toh jodoh tak akan kemana. Namun sepertinya Allah mendidik saya dengan cara yang berbeda dengan apa yang saya inginkan.



Mulai dari kata-kata: syindrome orang tua, doa semoga Nuram segera menyusul, di tanya itu siapa/ini siapa?, sampai di jodoh-jodohkan. Saya mencoba memahami bahwa ini adalah bentuk perhatian mereka kepada diri saya, hanya saja seringkali ini malah mengganggu dan agak merusak konsentrasi. Maklum, saya termasuk orang yang tidak berani membuat daftar kriteria orang seperti apa yang akan menjadi pendamping saya nanti, jadi jangankan nama, kriterianya saja saya belum jelas koridornya. Yang saya tahu, saya menyenangi orang kurus dan tinggi serta cerdas (titik) (tidak bermaksud iklan).



Menyikapi gejala ini, sering saya takjub dengan mereka yang dengan santai menuliskan status mengenai jodoh, sampai pernah saya memberikan komentar: saya mau cari imunitas agar tidak tertular... setelahnya saya malah di SMASH balik. Repooot euy....



Note saya tentang pernikahan beberapa waktu lalu pun malah meninggalkan jejak dipikiran beberapa orang bahwa saya siap untuk menikah, padahal sampai saat ini saya masih dalam proses mempersiapkan diri. Itu hanyalah akumulasi protes saya terhadap oknum ikhwan yang maju mundur mengutarakan maksudnya.



Saya lebih memilih untuk benar-benar menyiapkan diri, mulai dari fisik (apa ya persiapan fisik, sudahlah masing-masing kita –perempuan- tahu apa itu, hihihi) dan terlebih mental. Inginnya sih tidak terlihat, walaupun dua kali ini note saya membahas masalah pernikahan, ini lebih kepada mengingatkan bahwa biarkan ini berjalan mulus tanpa terlihat guncangannya, tak perlulah diperlihatkan di forum publik bila sedang menanti, meskipun saya yakin publik pun paham bahwasanya penantian itu adalah realita.



Manusiawi memang, tidak salah juga, pada akhirnya saya sadar itu, apalagi bagi perempuan yang fisiknya terhalang usia pasti kekhawatirannya lebih ketimbang laki-laki. Namun, jika Allah berkata BELUM, apakah kita mau secara agresif mencari pangeran berkuda putih itu? (bila pemahaman saya salah mohon diluruskan). Hehehe. Walaupun Khadijah pun melamar Muhammad ibn Abdullah, dan tak pernah salah mengajukan diri terlebih dahulu, tapi itu terjadi bila mental benar-benar telah siap dan kesholihan telah membungkus rapat kekurangan.



Entahlah, saya pun masih bingung dengan konsep ini. Intinya posisi saya sekarang, lebih memilih meminta pada Allah azza wa jala.

Namun,,, jika ada teman-teman akhwat berani mencontoh sikap khadijah, maka saya mendukung. InsyaAllah. jangan hanya terhenti pada invasi dunia maya bahwa kebutuhan berpasangan itu telah muncul. hehehe.



"Rabbana hablana min azwaajina, wa dzurriyyatina qurrata a'yuniw, waj'alna lil muttaqiena imaamaa."



"Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami jodoh kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang2 yang bertakwa." (QS 25:74)



Sebuah note, untuk mengingatkan diri saya pribadi... hehehe.. gak berani buat ngingetin orang. Kagak enak.



------------------------------

karena gak dapet gambar pangeran berkuda putih, pangerannya pake sepeda ajah...