Dec 28, 2011

ini cerita dan teriakan ku

Seorang teman lama menghubungi aku melalui jejaring sosial. Seorang yang dengan jelas saja aku tau, selama 2 tahun namanya selalu mengekor di belakang namaku baik di buku absen SMA hingga absen SMPB pun masih mengekor juga. Dia bercerita panjang tentang keberhasilannya setelah lulus dari SMA. Diakuinya sekarang ia berada di Papua untuk menjalankan tugasnya sebagai polisi, dan sepertinya akan menetap lama juga disana, foto yang terpasang diakunnya berpasangan, sepertinya gadis itu akan menjadi pasangan jangka panjangnya.
Lama tak bersua, tentu saja kami bercerita mengalor dan mengidul. Sampai aku katakan, “lo inget kagak dulu lo suka banget nanya jawaban sama gue, haha. maap yah pas SPMB malah kagak gue kasih jawaban ahahhaha.” Dan jawaban cukup bijak dan membuat aku semakin meyakini Allah selalu memiliki rencana indah “untung lo gak kasih gue ram, kalo lo ngasih dan gue lolos SPMB, gue kagak bakal jadi polisi kayak sekarang” #PLAK! Bener.
Aku dulu, tidak tahu mengapa suka bertindak keminter, alias berasa pinter. Sering banget ngasih jawaban yang udah aku bikin ke teman-teman aku, dan anehnya teman-teman aku juga percaya saja, malah suatu kali pernah mendapat predikat “cewek terpintar”, padahal rangking aku waktu itu adalah 17 atau 18, mungkin tampang aku ini menipu.
Suatu kali di kelas 2 SMP, kalau yang ini, peringkat aku sedang baik, tiga besar lah, seorang teman aku yang duduk tepat di depan meja guru, celingak-celinguk mencari jawaban, dan dia menemukan wajah aku yang cenderung nampak seperti anak pintar ini, dengan kode-kode tertentu ala orang kepepet dia meminta jawaban aku untuk nomer sekian dan sekian, dan saat dia melempar kertas, pengawas berdiri dan BOOM bisa dibayangkanlah apa yang terjadi. Namun, karena aku baik hati tetap saja esok-esoknya aku membantunya dengan memberikan jawaban aku. Aku tidak pernah tahu berapa rangking teman aku itu di kelas, tapi terkahir ini aku melihatnya berseragam PEMDA, ahahaha, mungkin sekarang dia menjadi PNS di kantor walikota.
Prestasi akademik aku memang cenderung tidak stabil. Bisa dihitung dengan umur aku yang sekarang, aku terlalu cepat masuk SD, setahun, bahkan 2 tahun. Kata mama, dulu aku agak sedikit mengacau di TK, ketika teman-teman aku di ajari bernyanyi, aku minta di ajari menulis, ketika mereka belajar menulis, aku lancar membaca. Alhasil guru TK aku berusul agar aku di masukkan ke SD saja, yaaah masuklah aku ke SD. Tapi, dasarnya secara mental aku belum mampu untuk berada di SD, prestasi akademik aku turun drastis, dan tentu saja berkelakuan aneh-aneh.
Tidak mau masuk sekolah, kabur dari sekolah, selalu dapat nilai 0, sampai aku ingat betul kata-kata guru aku yang waktu itu memasukkan nilai tugas aku, beliau bertanya di depan kelas “Nuram, berapa nilainya?” aku yang memilih duduk di pojok kelas menjawab “0 pak” dan feed back nya yang selalu membuat aku tersenyum ketika ingat “nanti telurnya di horeng yah di rumah” wkwkkwkwkwk. Sekarang aku bisa tertawa dengan hal ini, tapi dulu ini bagaikan momok dan membuat aku selalu berpikir, aku bukanlah anak pintar.
aku pernah mendapat predikat rangking 1, pernah juga rangking 18. Pernah di katakan bodoh oleh seorang teman, tapi sering juga mendapat kertas berisi minta jawaban ujian. Hidup aku ini tak stabil. Saingan terberat aku di SD, sekarang ada yang jadi dokter, jadi bidan, jadi peneliti, profesi-profesi yang jelas, sedang aku??? Aku nyasar jadi guru. Bukan aku tak mau bersyukur, tapi memang menimbulkan rasa syukur bagi aku saat ini nampaknya menjadi sangat sulit. Apalagi, hari-hari aku sekarang tak lagi berkutat denganilmu yang aku cintai, psikologi.
Mimpi aku seakan terserak, menguap, tergerus arus kesibukan yang membuat aku tersiksa. Rasanya, aku bukanlah diri aku.
Aku tahu Allah tau yang terbaik, yang terbaik. Semoga perjalanan ini juga memberikan pelajaran untuk hidup aku agar nantinya aku semakin baik. Yang aku tahu, aku harus keluar dari putaran yang membuat aku selalu bergumam, mengeluh, menangis. Aku ingin memberontak, mendobrak, berteriak, aku tidak suka ini.
Allah tau yang terbaik, yang terbaik.
Dengan keanehan aku yang dulu, ketidakstabilan prestasi aku, aku masih bisa merasakan nikmatnya bangku kuliah di PTN, apakah sekarang aku tidak bisa kembali meraih mimpi aku, tak apa walaupun banyak yang harus di korbankan, tak apa asal aku bisa merasakan. Jangan berhenti, jangan.
Ayo kita berjuaaaaaaaaaaaaaaang.....
mereka yang pernah berada tak lebih dari dirimu saja mampu meraih mimpinya dan bersyukur dengan tulus atas kondisinya, maka aku pun bisa.

Dec 15, 2011

mimpi tidurku _belum dianalisis *hehe


dalam mimpi semalam, tiba-tiba saja aku berencana pergi ke suatu tempat dengan seorang senior ku di SMA, karena kami berbeda, maka aku dengan motorku, dan dia dengan motornya.
awalnya aku berjalan lebih dahulu ketimbang dia, hingga saat aku bertemu simpangan aku terhenti dan meminggirkan motorku ke seberang jalan, mengapa ke seberang jalan aku tak tahu...
aku bingung, kenapa kakak itu belum sampai juga, padahal kami berangkat bersama, hingga akhirnya aku melihatnya dari seberang jalan, mengambil jalan yang berbeda dengan jalan yang ingin ku pilih sebelumnya.
karena aku merasa dia adalah seniorku dan masul ku di organisasi yang ku urus sekarang, akhirnya aku memilih mengikutinya. ketika melewati sebuah belokan dia sudah jauh mendahuluiku aku ingin mengejarnya dan aku pikir akan terkejar. namun, ditengah jalan aku bertemu kebun berisi kelinci-kelinci, banyak sekali, imut dan lucu, banyak... sampai aku ingat selama perjalanan itu aku membawa hewan kesayanganku, kelinci bernama mamen. tiba-tiba saja aku ingin menitipkan kelinciku di kebun itu, tapi aku tak yakin, karena banyak kelinci yang mirip mamen, aku takut kehilangan dia.
aku merasa terdesak, sedangkan kakak seniorku itu sudah jalan lebih dahulu.
aku melihat kedepan, di berdiri di ujung jalan, menungguku.
aku masih saja bingung, hingga akhirnya aku terbangun....


mimpinya jelas banget,,, pengen bisa deh menganalisis mimpi ini,,,, pake teori Jung.
banyak simbol, dan terlalu jelas untuk sebuah mimpi tanpa arti... hehehhehe

Dec 14, 2011

edisi GALAU


Beberapa pekan ini saya sering sekali bertemu dengan kata “galau”. Entah dari mana kata ini bermula, tapi sedikit saja saya menuliskan curahan hati di akun facebook saya, maka tak sedikit yang berkata “nuram lagi galau neeeh..” tidak hanya adik-adik yang saya cintai, tapi juga kakak-kakak yang saya kagumi. Ada apakah dengan galau?
Galau di halaman 407 Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi IV (2008) berarti kacau (tentang pikiran); “bergalau” berarti (salah satu artinya) kacau tidak keruan (pikiran); dan “kegalauan” berarti sifat (keadaan hal) galau. Jadi seandainya seorang itu merasa galau, maka bisa dikatakan dia sedang mengalami pikiran kusut layaknya benang yang bergumpal, sulit menemukan dimana ujung dan pangkalnya.
Namun, benarkah yang dimaksud orang-orang disana mengenai galau adalah pikiran kusut? Dalam pemaknaan saya, sepertinya galau yang menjadi fenomena itu lebih mendekati makna kegundahan hati ketimbang pikiran kusut. Gundah dan cemas terhadap sesuatu, yah tidak sampai pada anxiety sih, tapi nampaknya perjalanannya menuju definisi stress, semoga tak sampai depresi, hehe...
Sebenarnya bahasa Indonesia menyediakan kata lain yang lebih tepat, “gundah”. Di KBBI, “gundah” berarti sedih, bimbang, gelisah. Dilengkapi menjadi “gundah gulana” berarti keadaan sangat sedih atau sedih dan lesu. Untuk suasana hati yang sering disebut tengah “galau” rasanya lebih pas bila mengatakannya tengah “gundah.” Tapi saya bukan bermaksud mengubah fenomena kata galau menjadi gundah, biarlah, hanya ingin sedikit membahasnya dari sisi psikologis agar nantinya yang sedang mengalami masa-masa galau dapat menstabilkan emosinya yang bergejolak.
Mengapa mereka semua bisa galau?
Bila dalam teori psikoanalisis milik Freud, kita akan megenal kecemasan dan mekanisme pertahanan, kecemasan inilah yang menurut saya mewakili makna “galau” yang fenomenal itu, sedangkan menggalau dengan banyak kata-kata dan curhat colongan di akun jejaring sosial itu adalah manifestasi perilakunya, yang bisa jadi merupakan usaha menstabilkan diri melalui mekanisme pertahanan ego. Apa sajakah itu? Kita bahas nanti, sekarang perhatikanlah terlebih dahulu status-status galau yang sering terpampang di beranda facebook kita (mungkin termasuk juga status saya-hehehehe) kata-katanya akan cocok bila di masukkan dalam macam mekanisme pertahanan ego milik freud.
Misal dengan status ini, saya ambil dari seorang yang tak begitu saya kenal, tapi dua malam ini menghiasi beranda saya dengan kalimat menggalaunya: “mungkn sikap gue akan sedikit berubah,karena lw yg merubahnya.. tapi rasa sayang gue ga akan pernah berubah” (aseeek-red), “Ak rasa sikapmu mulai berubh sama aku.... Qt smkin jauh ajh..” (deketin donk pake lem-red). Dua status ini masuk dalam pembentukan reaksi yaitu menukar suatu impuls atau perasaan yang menimbulkan kecemasan dengan melawannya dalam kesadaran, sedangkan status lainnya (masih dari orang yang sama-hehe) “galau mulai menghantuiku” nah yang ini termasuk dalam rasionalisasi yaitu menciptakan alasan yang “masuk akal” untuk menjelaskan disingkirnya ego yang babak belur. Dan lainnya lah, yang merupakan usaha untuk melakukan sirkulasi emosi.
Namun, satu hal yang saya pikir kurang dari kondisi ini adalah bentuk problem solving yang tidak terbahas, sehingga kegalauan itu akan menetap tetap menjadi galau tanpa kemudian terselesaikan. Ketika bertemu masalah, selayaknya individu dewasa memperhatikan kemampuan dan potensinya untuk memecahkan masalah, bukan “melarikan diri” dengan memilih mekanisme pertahanan ego. Walaupun pada dasarnya kondisi ini tak mengapa dipakai, asal tak terlalu lama. Macam penstabilan emosi melalui mekanisme pertahanan ego seperti
1. Represi: sarana pertahanan yang bisa mengusir pikiran serta perasaan yang menyakitkan dan mengancam keluar dari kesadaran,
2. Memungkiri: cara mengacaukan apa yang dipikirkan, dirasakan, atau dilihat seseorang dalam situasi traumatik,
3. Pembentukan reaksi: menukar suatu impuls atau perasaan yang menimbulkan kecemasan dengan melawannya dalam kesadaran,
4. Proyeksi: memantulkan sesuatu yang sebenarnya terdapat dalam diri kita sendiri ke dunia luar,
5. Penggeseran: suatu cara untuk menangani kecemasan dengan menyalurkan perasaan atau impuls dengan jalan menggeser dari objek yang mengancam ke “sasaran yang lebih aman”,
6. Rasionalisasi: menciptakan alasan yang “masuk akal” untuk menjelaskan disingkirnya ego yang hancur,
7. Sublimasi: cara untuk mengalihkan dorongan yang ada kesaluran lain, yang secara sosial umumnya bisa diterima.
8. Regresi: berbalik kembali kepada prilaku yang dulu pernah mereka alami,
9. Introjeksi:mekanisme untuk mengundang serta “menelaah” sistem nilai atau standar orang lain,
10. Konpensasi: menerima sesuatu sebagai akibat dari apa yang di lakukan atau dirasakan
11. Penghapusan: perilaku berusaha melupakan atau meniadakan masalah atau emosi yang tidak diinginkan.
Tetaplah sesuatu yang masih bisa di toleransi, hanya saja berbatas waktu. Secara sehat saya pikir begitu, hehe.
Seringkali secara tidak disadari mekanisme pertahanan di atas akan langsung terpakai, namun setelahnya, setelah kita menyadarinya bentuk-bentuk penstabilan emosi ini telah terjadi dalam diri kita, bukanlah mandeg dan terkurung dalam kesulitan yang terus saja kita lakukan. Lakukanlah pemetaan kekuatan saat ini dan masa depan, hadirkan kembali impian yang diinginkan, bayangkan orang-orang yang membutuhkan cinta dan perhatian diri kita, sepatutnya menjadi penyemangat untuk bangkit dan segera menyelesaikan masalah kita saat ini, serta tak lupa tersenyum memandang dunia dengan yakin dan optimis.
Yah istilah mudahnya, menggalau menurut saya tak pernah menjadi salah jika dilakukan sesekali, tapi tak mungkin ditoleransi bila terjadi berkali-kali dan seringkali bahkan selalu-kali.
Dan terakhir sesuatu yang saya suka dalam pemahaman atas “galau” menurut salah seorang kakak saya, kegalauan hadir agar manusia mengakui kelemahannya. Agar manusia berpasrah atas usahanya. Dan ujungnya adalah menyadari untuk menjadikan Tuhan-lah satu-satunya titik pemberangkatan dan akhir tujuan.
Fa inna ma’al usri yusroo,
Inna ma’al usri yusroo,
Faidza faroghta fanshob,
Wailaa robbika farghob.
GALAU >>> God Always Listening and Always Understanding

EDISI GALAU

aku dan semua kegalauanku
aku bingung harus ku tulis dimana kegalauan ini. twitter? hah, rasanya terlalu pendek karakter disana untuk kutuliskan kegalauanku yang memanjang dan melebar.
facebook? membuat diri semakin malu saja, terlalu banyak orang disana.

aku hanya ingin menulis, mengapa aku masih terseok-seok disini. kenapa juga harus merasakan seperti ini,,, bodoh-bodoh-bodoh

aneh, ketika aku temukan satu per satu wajah mereka, yang terbayang hanyalah masa2 malu yang harus ku jalani jika aku memutuskan itu.
atau ku lihat wajah itu, yang naik dan teringat adalah rasa marah karena aku tak lebih pintar dan mempesonakan, aku tentu sja bukan siapa2.

tanpa prestasi dan terlalu kanak2, mungkin dulu dia mengejarnya, hatinya bersamanya, bukan bersamaku,

aku berguling, merapat ke tembok, terhenti dan berpikir, mengapa tak ku lepaskan saja,



aku dan galau ku
aku dan segala pertanyaan ku
aku,,, dan doa yang mungkin belum terjawab oleh Tuhanku.

Aug 25, 2011

Melacur (melakukan curhat)

Saya masih tetap saja kesal bila tulisan-tulisan saya masih dianggap sebagai curhat. Berarti seperti kata adik saya, ketika saya menulis saya sedang melacur (melakukan curhat) dan saya sedang berprofesi sebagai pelacur (pelaku curhat). Ah ada-ada saja istilah remaja, selalu saja membuat saya terbelalak mendengarnya.



yup, mengenai tulisan-tulisan saya yang terlihat sebagai curhat. Saya agak sulit mengubah gaya ini, kecuali untuk tulisan-tulisan serius untuk essay atau karya ilmiah saat kuliah, karena bagi saya menulis adalah kegiatan menguapkan sumber stres, mencari nikmat, dan mengekspresikan emosi dan rasa. Jadi biarlah saya gunakan diri saya sebagai objek yang kemudian dibicarakan, di tertawai, diberi empati, dan tentu saja diperhatikan, karena pun (menurut saya) didalamnya akan terdapat nilai untuk memandang kehidupan dari kaca mata lain. Pun selama ini saya banyak menterjemahkan masalah-masalah yang saya alami ke dalam bahasa-bahasa dan perhitungan-perhitungan psikologis.



So, paling tidak yang (mau) membaca bisa mengenal dunia dalam kacamata ilmu psikologi yang saya pahami.

Tapi, tidak bohong deh, saya masih harus menarik nafas dan mengatur emosi ketika, tulisan-tulisan saya dikatakan sebagai curhat, hehehe. Walau sisi hati saya yang lain bilang “peduli apa Ram???” tapi tetap saja, si seberang hati yang lain mengatakan “ya pedulilah, bisa gak sih kita cari gaya menulis yang lain?” ah, tapi akhirnya saya bulat berkata peduli apa kata orang, Toh ini adalah ajang saya membahagiakan diri, kalau mau menikmati tulisan saya ya baca saja, tapi kalo mau mengkritik atau komen-komen pedas dengan bilang itu adalah curhatan berkualitas recehan yang berisik ya,,,, terserah deh, asal yang membaca masih menemukan hal baik, saya masih bersyukur. Karena kritik pun akan membuat saya (sadar ataupun tanpa sadar) belajar memperbaiki.



-----------------------------------------------------------------------------------



saya senang membaca, koran juga termasuk yang saya baca (yaiyalah). Nah bila sedang membaca kompas edisi hari minggu (kenapa kompas? Karena bapak saya langganan koran kompas, hehe) di bagian Tren, akan ada satu pojok tulisan, parodi. Gaya menulisnya, mirip dengan gaya tulisan saya yang melacur itu. Tiap minggu yang menulis tetap sama, seorang designer/perancang busana. Tema tulisannya apa saja, tapi memang lebih pada masalah kehidupannya sehari-hari. Membaca tulisan itu membuat saya belajar memandang hidup dengan cara yang lain dan tentu saja tak merasa sedang digurui atau di cekoki masalah materi-materi tentang cara hidup yang benar. Mengalir dan bebas mempersepsi, membuat saya berpikir di luar kotak, menterjemahkan tulisannya untuk di aplikasikan dalam keseharian saya, simpel dan tidak mengangan-angan.



Pojok parodi itu memang hanya sempilan tulisan ditengah banyak berita tentang negeri ini. Bosan rasanya melihat berita negeri ini yang nyaris selalu negatif, misal tentang si Bendum partai besar yang sekarang jadi super bisu setelah awalnya berkicau layaknya burung melihat fajar. Atau tentang para pemudik yang harus tersiksa karena rebutan tiket dan tempat duduk, padahal tiap tahun mudik itu ada, tetap saja pemerintah tak bisa meng-handle agar tak terjadi penyiksaan terhadap masyarakat. Belum lagi masalah pembagian infaq-shadaqoh bahkan (katanya) zakat yang benar-benar miris, terinjak-injak, berdarah-darah, menangis, terjepit, dan yang paling menyedihkan adalah fakir miskin benar-benar makin terlihat hina. Memang dalam dunia komunikasi ada istilah “bad news is a good news”, tapi apakah ia saya akan terus tercekoki dengan berita-berita negatif ala media yang kesannya mencuci otak saya, yang membuat saya seringkali membangun prasangka, ini dilakukan agar masyarakat acuh dan pesimis bahwa bangsa ini bisa menjadi lebih baik...





Di lain hari, dalam sebuah kajian yang saya datangi dengan telat, hehe. Pak ustadz-nya sedang bicara tentang berita-berita baik yang tenggelam. Tentang pak Dirman misalnya, jendal Besar anumerta bintang 5 ini benar-benar membuat saya kagum. Ia wafat di usia muda 34 tahun, tapi insyaAllah akan terus hidup selama bangsa ini hidup. Terus berada di gunung untuk merancang strategi perang dan dengan kekuatan ruhiyah yang ia jaga dengan konsisten sholat subuh di masjid, ia mampu menjalanan tugasnya dalam keadaan juga bertarung dengan penyakit tubercolosisnya yang parah. Atau tentang bu tri mumpuni, ada yang kenal? Saya angkat jempol saya bila ada yang kenal, ia adalah seorang yang berhasil menggerakkan masyarakat untuk keluar dari kegelapan desa terpencil di sudut gunung. Semangatnya yang menggerakkan dan kemampuannya merancang Pembangkit Listrik Tenaga Microhidro membuatnya malah lebih terkenal di Asia bagian Selatan, ketimbang negaranya sendiri, yang lebih suka menenggelamkan berita-berita baik.

saya kagum, saya senang, berkutat dengan inspirasi-inspirasi baru walaupun bagi orang itu berita lama.



----------------------------------------------------------------

Tidakkah menemukan berita baik itu membahagiakan? Membagikan berita baik juga menyenangkan, bahkan bercerita bahwa telah menemukan kebahagiaan setelah terpenjara dalam rasa tak nyaman (bagi saya) itu juga membahagiakan, intinya berbagi cerita itu menyenangkan (wanita sekali pendapat ini). Bila saja eksprsi saya itu tak berbatas pada orang-orang yang menyamankan bagi saya, tentu saya akan memilih berbicara. Namun, nampaknya Allah tak memberi saya kelebihan untuk banyak mengungkap ekspresi pada banyak orang. Ekspresi saya yang seringkali datar dan terkesan cool pada orang yang baru atau berbatas emosi dengan emosi saya, membuat cerita-cerita saya menjadi sangat biasa saja. Kalaupun saya paksakan, bisa sih tapi agaknya gregetnya akan kurang tersampaikan, jadi tetap saja tulisan menjadi pilhan saya mengutarakan ekspresi dengan bebas, baik itu sedih ataupun senang. dan saya membiarkan persepsi orang yang membaca mengalir.



Jadi sepertinya tulisan receh saya ini, tetap akan saya pertahankan. Saya sih berharap semoga ada nilai lain yang bisa diambil, dan semoga itu nilai positif. Dan dalam pengakuan saya, pekerjaan rumah kemudian adalah, belajar tersenyum ketika tulisan saya yang recehan ini dikritik sebagai curhatan atau kritik lainnya seperti mengenai cara saya menyelesaikan masalah atau mengungkapkan rasa.

Aug 1, 2011

misteri dan perubahan, perjalanan dan keikhlasan

Aku benar-benar tidak tahu. Mungkin karena memang kemampuan memahamiku yang terbatas. Aku tak paham mengapa aku di berikan ini dan itu, dipindahkan dari sini ke situ, aku dan segala pertanyaanku pada Tuhan, kenapa aku begini atau begitu.



Setahun yang lalu, ketika aku asik menikmati menjadi penyedia ta’jil di masjid kampus, mengebut dengan kecepatan nyaris 100km/jam untuk membeli berkilo-kilo kurma, karena mepet waktu buka puasa. Aku senang mengingat-ingat itu, warna kuning langit sore yang kemudian menjadi remang, lalu hitam malam. Dalam laci memory yang ku buka, mereka –teman-teman ku, bebas berlalu lalang, mengambil piring-piring kecil berisi 3 butir kurma, dan sebuah gorengan atau snack kecil lainnya, lalu kotak-kotak berisi nasi itu, bertumpuk-tumpuk, heboh kami karena koordinasi yang tak becus, tapi semua terbayar, terbayar rasa ikhlas, atau mungkin hanya bisa di sebut sebagai kesenangan berkumpul yang menyamankan.



Kini aku di sini, rumah ku yang dulu dengan tangisan aku tinggalkan. Namun, masih saja aku bertanya, mengapa Allah ku itu mengembalikanku pada titik ini, setelah Ia jauh mengirimku ke tengah pulau Jawa diarah timur sana...

Atau tentang mutasiku, baru saja 6 bulan aku dipertemukan dengan mereka, tapi dengan mudahnya Allah memprosesnya hingga aku harus dipindah, lagi-lagi dengan yang lebih-lebih tak terbayangkan.



Hamparan sajadah sholat maghribku sore ini membantuku duduk dan berpikir, skenario Allah itu memiliki sisi yang menarik, apalagi kalau bukan sisi misterinya, yang membuatku menebak-nebak apa yang akan Ia berikan, sesuai keninginanku atau tidak, atau paliang tidak, miripkah dengan analisisku mengenai rancangan kehidupan(ku).



Aku pikirkan mengapa Allah memberiku posisi ini. Ditarik dari zona nyamanku di tengah teman yang menyayangiku dan kadang sedikit menyebalkan bagiku, tapi tetap saja menarik, kemudian harus datang dan beradaptasi dengan semua orang yang bagiku baru disini, bahkan dengan keluargaku. Meninggalkan mereka yang mungkin selama 4 tahun, atau baru 3 tahun, atau malah 2 tahun, atau hanya setahun, atau malah baru 10 bulan menemaniku dan menyamankan perasaanku, tapi yang aku tahu aku hanya bisa menjalani ini, sambil terus menerus berucap dalam hati::: kemampuanku lah yang belum sampai untuk memahami mengapa semua ini yang datang (usaha menenangkan diri).



Kalau aku sedang kumat, -tentu saja aku tak lagi bisa menjangkau fisik mereka kecuali satu bulan lalu ketika aku nekat pergi ke sana, entah untuk apa, cari-cari alasan untuk mengambil barang yang ketinggalan, tapi alasan tetap saja berkualitas alasan, tapi (lagi) nyatanya Allah masih membelaku habis-habisan di mata ibu, masih untung barangku memang ada yang tertinggal, dan itu baik untuk jadi bukti konkrit sebuah alasan yang tetap saja berkualitas alasan.

,

Kembali bila aku sedang kumat, seringkali aku meng-SMS mereka dengan isi SMS yang juga mengada-ada, entah itu tentang timpukan batu yang dikembalikan dengan lemparan bunga bersama potnya, atau tentang seseorang secret admirer: anak kedokteran UGM bernama Billa, tentu saja nama panjangnya adalah waBILLAhitaufik walhidayah wassalamualaikum wrwb, atau SMS-SMS: sedang apa? Nonton bola gak? Lagi apa? Aku meridukan kalian, atau bahkan hanya sekedar mengetik namanya. Itu semua hanya representasi dari klausa dalam otak: aku yang rindu. Atau banyak kiriman wall di FB, tentu saja yang lebih-lebih tak jelas, hehe. Baiklah yang jelas, maaf bila itu kesannya mengganggu, sayangnya aku yang sekarang memang lebih tak bisa bersikap asertif terhadap apa yang aku rasakan, lebih banyak merepress dan berujung menjadi SMS-SMS atau kiriman-kiriman wall FB yang tak jelasnya minta ampun.

---------------------------------------------------



Bila aku pikir-pikir, sepertinya setiap kali mendapatkan kedatangan maka aku harus segera mempersiapkan diri untuk menemui kepergian, jika tidak maka siap-siap sajalah bertemu rasa sesak karena harus bertemu kehilangan mendadak.



Kali ini aku merindukan seorang sahabat lama dan semua kenangan Ramadhan bersamanya, aku pikir dia masih akan tersenyum sambil membagikan ta’jil-ta’jil ala mahasiswa di hari pertama Ramadhan tahun ini, tapi nyatanya tidak demikian. Ternyata nasibnya tak jauh beda denganku yang hanya bisa memandang dari jauh, karena ini bukanlah jaman kami. Bisa ku bayangkan perasaannya, mungkin lebih berat menjadi dirinya ketimbang menjadi diriku.



Dalam dinamika psikologis yang ku rumuskan, emosi yang kusebut rindu itu berkembang menjadi arousal yang terus mendesak untuk bisa bergerak keluar, agar ia bisa berhomeostasis terhadap kestabilan emosi, namun ternyata arousal itu hanya bisa ditekan ke dalam agar tak keluar, karena dunia luar benar-benar telah berubah, maka keluarlah ia menjadi letupan-letupan berupa emosi negatif yang aku sebut sebagai kesepian dan mungkin juga kesedihan. Baiklah, itu sebagian emosi yang menerpa si subjek yang mengalami post power syndrome atas organisasi kampus, atau yang malah terkirim jauh ke kota lain.

----------------------------------------------------------

Menyelami skenario Allah, tentu saja akan terus menemukan misteri. Jika tak lagi menemukan misterinya, maka sebut saja itu sebagai masa lalu, yang secara apatis, pragmatis, praktis, dan juga berunsur pesimistis pernah aku simpulkan gunanya hanya untuk diambil ibroh atau dilupakan. Padahal bila dipahami lebih jauh lagi, masa lalu bisa jadi adalah pondasi mendasar, adukan beton yang akan menguatkan topangan diri untuk kemandirian, kedewasaan, dan kestabilan jiwa saat ini.



Jadi, kesimpulan dalam pemikiranku maghrib tadi adalah posisi saat ini bisa jadi adalah ketentuan Allah untuk melihat seberapa berhasil proses pembelajaran di masa lalu, atau malah sedang diberi lagi proses pembelajaran untuk sesuatu yang lebih besar di masa datang. Kesepian, kesedihan, ketidaknyamanan, keheranan, dan semua perasaan tak mengenakkan yang di jalani saat ini adalah rangkaian skenarioNya untuk topangan lain di masa yang akan datang. Karena roda teruslah berputar, membuat kita suatu saat berada di atas, dan lain waktu dikirim ke bawah.

------------------------------------------------------------

tapi, bukankah memang kita tidak baik selamanya terus berada dalam titik yang sama? karena itulah yang disebut sebagai stagnansi atau ketiadaan perkembangan, maka ketika waktu dan jaman itu terus bergerak, tentu saja diri kita pun harus ikut bergerak, bila tak ingin mengalami jalan ditempat yang melelahkan.



Baiklah, mencari sedikit sisi positif dari semua perubahan yang aku rasakan ini, aku bisa membersamai ibuku, memasangkan kancing bajunya, melihat beliau tertawa dan mengalami kenaikan berat badan semenjak aku ada di rumah, sholat berjamaah dengannya, mendengar ceritanya walaupun kadang juga menemukan tingkah lakunya yang bagiku sangat lucu untuk seorang ibu-ibu. Kalaupun aku disana, menyulam senyum bersama mereka, lalu bagaimanakah nasib ibuku? Yang mungkin menyeka air mata menungguku mencairkan batuan beku keegosentrisan.

----------------------------------------

Setiap kedatangan, logikanya akan diikuti dengan kepergian. Kenyamanan, logikanya akan dibayangi dengan ketidaknyamanan, itulah perubahan dalam rangkaian skenario kehidupan, yang sejatinya diperuntukkan agar seorang menjadi dewasa dan bijak dalam memandang hidup. Menyiapkan segala bentuk ketidaknyamanan, untuk bisa berdiri kokoh ditengah hempasan misteri skenario Allah. Karena bila saja kehidupan itu tak dipenuhi dengan misteri, pastilah kita hanya akan duduk berongkang-ongkang kaki, tak berikhtiar apalagi berdoa, terlebih memanjatkan syukur padaNya.



Fabiayyi alaairobbikuma tukadzibaan

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan (QS. Ar Rahman).

Jun 14, 2011

Pengerdilan Makna Pikir Manusia

Sedikit membandingkan antara pola pikir saya dan adik saya. Jelas kami berasal dari satu rahim yang sama, tapi sekarang ini menjadi sangat berbeda dalam memandang kehidupan. Bukan kemudian ingin menyepelekan sekolah yang dipilih saudara saya tercinta ini, tapi pada akhirnya output yang dihasilkan memang berbeda. Obrolan serius antara saya dan adik saya ini bertema pola pikir mahasiswa, yang belajar di universitas negeri dan menjadi aktivis dengan yang belajar di universitas swasta dan study oriented.
Bisa dikatakan ini adalah perbandingan antara pola pikir saya memandang hidup dan si “Ndut” dalam memandang hidup dengan kacamata kami masing-masing. Bagi saya jelas, mereka yang punya kesempatan menikmati pendidikan hingga perguruan tinggi adalah seorang yang memiliki tanggungjawab moral untuk memperbaiki bangsanya, lingkungannya, tapi bagi dia tidak, katanya “lo harus mikir lah, sekarang tuh dunia butuh apa? Bisnis dan konsumsi produk sama jasa itu meningkat dengan bertambah banyaknya manusia, yang harusnya dihasilkan adalah orang-orang yang bisa memenuhi kebutuhan pasar. Hidup tuh berjalan kak, perlu biaya.” Dan bla-bla-bla lainnya (saya lupa). Inti pikiran anak ini adalah seharusnya perguruan tinggi mencetak mahasiswa yang memenuhi kebutuhan pasar yang kemudian bisa menghasilkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Bila saya boleh menarik kesimpulan yaitu tanpa menyentuh proses perbaikan atau pembetulan aspek moral, tapi cukup untuk memehuni kebutuhan diri sendiri dan keluarga (tunas pikiran individualis).
Yah kami memang begitu, bisa jadi sama-sama cerdas, tapi beda cara pandang.
Kekhawatiran saya terhadap pragmatisme generasi muda, malah benar-benar diperlihatkan dalam sosok adik kandung saya sendiri, di luar rumah saya berusaha membangun paradigma adik-adik SMA untuk kemudian berakhlak baik dan mau bergerak memperbaiki tidak hanya pribadi tapi juga lingkungan. Eeeh tak tahunya adik saya sendiri... -.-a, ini adalah PR besar bagi saya.
Baiklah. Dalam waktu yang besamaan ketika saya mulai menghabiskan waktu mengkonsumsi rangkaian kata milik Hamka dalam bukunya Falsafah Hidup yang diterbitkan tahun 1982. Buku dengan kertas telah menguning, dan beberapa halamannya hilang entah kemana itu saya temukan dalam deretan buku di rak teman saya, punya ayahnya. Pada awalnya saya pikir buku bertema filsafat kehidupan itu akan mengulas panjang dan menjawab ilmu-ilmu filsafat yang kadang banyak mempertanyakan keberadaan Tuhan. Namun, berbeda, bagi saya buku ini simpel, tapi mengena, bicara tentang bagaimana seharusnya hidup, bagaimana mengelola akal, hawa, dan nafsu yang dibenturkan Tuhan dengan realitas dan syariat yang dibuatNya.
Suatu hal yang saya temukan, rupanya filsafat Islam dalam satu abad ini telah dihambat (atau malah dimatikan) perkembangannya. Ingat beberapa tahun lalu ketika saya begitu anti dengan filsafat. Maklum saat itu ilmu masih cetek, walaupun sekarang juga tak pantas dikatakan tinggi. Saat ini juga banyak muslim, bahkan beberapa dari kalangan santri masih membangun benteng antipati untuk membahas filsafat dengan alasan menghindari perdebatan mengenai keyakinan akan ketuhanan. Sayangnya ini terkesan benar, karena dalam waktu yang bersamaan kita disuguhkan dengan produk-produk filsafat lain yang mengacaukan, layaknya komunisme, atheisme, agnostik, dan lainnya. Namun, perlu disadari juga hilangnya filsafat dari bahasan kita juga mengerdilkan pikiran untuk kemudian menelaah dan menemukan konsep ketuhanan yang menenangkan jiwa.
Filsafat berasal dari kata “pilos” yang artinya penggemar dan “sofos” yang artinya hikmat atau ilmu. Jadi bisa dimaknai filsafat adalah kegemaran akan ilmu. Ketika kesukaan akan ilmu ini dihambat, jelas saja akan banyak individu yang tak bergerak untuk mencari ilmu dan makna untuk kehidupannya, dan sangat jelas bahwa virus-virus kebodohan akan merajalela, subur. Dan indonesia sepertinya adalah tempat basah dimana filsafat itu sengaja dihambat (menurut saya) oleh tangan-tangan tak terlihat, maka jadilah bangsa kita terkondisikan dan memang dikondisikan berpikiran pragmatis, sempit-is dan praktis, contoh dalam hal ini adalah output kampus yang berpola pikir sempit, untuk memenuhi kebutuhan pasar, tidak lagi peduli akan perbaikan dan penjagaan segala aspek kehidupan.
Sepertinya ini memang agenda besar untuk mengerdilkan pikiran. Misal lainnya tentang makna mengaji yang sebenarnya berasal dari kata dasar kaji yang artinya mencari makna atas sesuatu, tapi saat ini mengaji dikecilkan maknanya menjadi membaca Al Quran tanpa mencari maknanya, sedangkan sebutan untuk mencari makna atas sesuatu tergantikan dengan kata MENGKAJI. Padahal maksud para ulama dan ustadz terdahulu yang menyebut membaca Al Quran dengan sebutan mengaji adalah memang mencari makna dari ayat-ayat itu sendiri.
Tidakkah di sadari bahwa muslim saat ini disibukkan dengan pemenuhan kebutuhannya pribadi tanpa diiringi pikiran untuk memperbaiki umat. Padahal jelas perkataan Allah “sampaikanlah walau hanya satu ayat.” Atau banyaknya hadits yang bertema habluminannas dan seruan untuk membentuk kebermanfaatan pribadi terhadap sesama. Maka tak mungkinlah seorang muslim hanya memikirkan diri sendiri, dan hidup dengan pola prinsip individualisme, yang katanya mengedepankan tidak terganggunya hak orang lain. Padahal dalam prinsip islam yang mulai dirancukan, kita juga diharuskan menghormati hak-hak orang lain yang sesuai aturan Allah, larangan bersikap zhalim yaitu tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya, mengganggu hak orang lain yang tidak melanggar syariat tidak pernah diperkenankan dalam islam. Namun sayangnya, saat ini hukum Islam diperlihatkan seperti mengekang hak dan memenjarakan kebebasan berekspresi para pengikutnya, padahal ini adalah bentuk penyempitan pola pikir yang membahayakan, yang membuat umat enggan untuk berdisiplin diri dalam beragama.
Atau tentang sibuknya diri kita untuk memenuhi kebutuhan pasar tanpa berpikir bagaimana mencari kepuasan dan ketenangan diri dengan bertuhan dan mencari ilmu serta makna. Padahal agama Islam adalah agama yang mengedepankan akal dan selalu menyerukan penganutnya untuk berpikir dan mengolah fenomena. Lihatlah berapa banyak ayat dalam Al Quran yang menyerukan untuk berpikir atau ditujukan untuk mereka yang mau berpikir.
Terkungkungnya kita dalam kesibukan memenuhi kebutuhan pribadi dan mengenyampingkan perbaikan dalam kehidupan masyarakat membuat bangsa ini jauh tertinggal. Bangsa kita tercetak sibuk, tapi untuk memenuhi kebutuhan perut, miris. Tak pernah lagi berpikir bagaimana memperbaiki akhlak dan moral sumber daya manusianya. Tak lagi berpikir bagaimana ilmu begitu penting untuk dimiliki, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan fisik, tapi juga untuk menghasilkan generasi cerdas yang peduli dan dapat memberbaiki serta mengangkat kembali nama bangsa yang sedang terpuruk.
Kita hidup bukanlah sendiri, kita hidup dengan banyak koloni, tapi memang juga dengan banyak kepentingan. Jangan mau dijadikan sibuk seperti budak pasar yang tak tahu tujuan kecuali menyenangkan tuan yang membayarnya, tanpa punya keinginan untuk merubah keadaaan untuk menjadi semakin baik. Terlalu sayang bila otak yang diciptakan Allah dengan sangat canggih ini hanya terpakai untuk berpikir masalah perut, apalagi jika tak dipakai.
---------------------------------------------------------------------------
Sebuah note yang sebenarnya ditujukan untuk adik saya tercinta,,,
“kapan kita memiliki cara yang sama lagi dalam memandang,,,? aku rindu beriringan bersamamu, semoga Allah segera mengembalikannya untuk membuat kita kembali bersama...”

Jun 2, 2011

bukanlah jamaah malaikat

Aku tulis ini, ketika malam mulai makin kelam. Sendiri membuat ku lebih bisa merenung, berpikir, dan mencari celah hikmah diantara banyak peristiwa hidup.
Aku merasa hidupku dibesarkan Allah dalam naungan cinta ala tarbiyah, yah walaupun aku bukanlah seorang yang lahir dari rahim ibu yang tertarbiyah, tapi aku rasa aku besar dan terbentuk menjadi seseorang, dalam lingkup ruang tarbiyah. Teringat ketika tujuh atau delapan tahun lalu ketika aku memperhatikan mereka yang berjilbab sangat lebar untuk tataran ku yang berasal dari keluarga dengan kualitas keislaman yang biasa saja. Aneh, pasti sumuk banget tuh—pikiran ala Nuram di jaman jahiliyahnya.
Melihat mereka bergerombol, hanya satu hal yang aku pikirkan::: EKSKLUSIF! Bahkan ketika aku alami satu moment yang membuatku saat ini sangat berusaha menyapa orang-orang diluar lingkup para jilbaber dengan lebih hangat dan ramah adalah ketika aku yang duduk berdua merasa tak dianggap karena si oknum jilbaber itu hanya menyapa teman ngobrolku yang notabene anak rohis, sedangkan aku terabaikan.
Tapi suatu ketika, aku (dengan sangat aneh) ingin masuk dalam komunitas mereka (para jilbaber generasi awal dimataku), ada apa ini??? Aku kesambet atau terhembus angin apa sampai mendaftarkan diri dalam lingkup rohis. Yah hanya ingin memperbaiki diri, kali aja jadi lebih bener. Pendek kata::: ISENG, tapi rada seriusnya juga, rasanya saat itu aku butuh menjadi seseorang yang lebih baik.
Mulailah aku bertemu dengan si kakak jilbaber1, hem, aku lupa bagaimana aku bisa membangun cinta untuk orang ini, awalnya seingatku hanya segaris rasa kasihan. Namun, lama kelamaan sabarnya beliau menunggui aku yang acuh tak acuh datang liqo ceria (sebut: mentoring) membuat hatiku luluh, kata-katanya masuk dalam logikaku, dan emosinya satu frekuensi dengan perasaanku, maka jadilah aku rajin datang mentoring ceria itu. Disamping aku juga butuh figur orang dewasa yang bisa mendengarkan celotehan remaja tanggung sepertiku saat itu.
Baiklah, mungkin itu sedikit cerita awal aku berkenalan dengan tarbiyah. Kembali lagi pada hal yang beririsan dengan tarbiyah, pembentuk hidupku. Ketika aku mulai memasuki tarbiyah lebih jauh, dalam bayangan masa muda yang penuh dengan idealisme dan gambaran kesempurnaan, maka aku mulai mematok bahwa siapapun yang berada dalam barisan tarbiyah, orang-orang yang liqo, orang-orang yang ikut mentoring, berapapun usianya maka ia pastilah manusia baik, yang pintar, ramah, murah senyum, tidak sombong, pengertian, lembut, dll perilaku baik lainnya, intinya, tak mungkinlah ada cacat. Dan pemaknaan eksklusifku tentang para jilbaber mulai runtuh berganti kesempurnaan dan kemuliaan akhlak.
Namun, memasuki dunia kampus, saat bertemu dengan kakak-kakak atau senior kampus yang setahuku tertarbiyah, seakan melunturkan anggapan mengenai kemuliaan akhlak. Meluntur dengan kikisan, agak sakit, tapi masih tertahan. Seringkali aku marah ketika ada seorang ikhwah tak mau bergerak dalam jalan dakwah, padahal jelas itu adalah tanggungjawabnya, atau protes besar pertamaku ketika ada seorang kakak yang mengundurkan diri dan diri ku terancam menjadi penggantinya secara mendadak, ko bisa “dia” seperti itu sikapnya? Padahal “dia” tertarbiyah. Baiklah, sampai akhirnya ku temukan istilah pendek, namun tak mudah untuk dipahami, dimengerti apalagi diimplikasikan olehku dan karakterku::: “bukan jamaah malaikat.”
Memasuki hitungan tahun kedelapan mengenal tarbiyah, membuatku mengulas ulang berbagai macam pengalaman yang mendewasakan dan menguatkan. Mulai dari rasa nyaman yang membuat aman, hingga sakit perih yang membuatku berusaha lebih bijak dalam memandang. Semua aku alami dan aku rasakan karena hidupku beririsan dengan tarbiyah.
Dimulai dengan ketidaksiapanku melihat mereka yang tumbuh bersamaku atau malah lebih dahulu dari aku dalam mengenal tarbiyah mulai berguguran, satu demi satu. Kabar bahwa mereka tak lagi sejalan, bahkan tak lagi satu pikiran membuat ku menarik nafas lebih panjang. Fuh,,, memang istiqomah adalah sebuah kedahsyatan, layaknya berdiri di gempuran ombak (mulai lebay...) perlu upaya dan kesabaran untuk bisa berteman dengannya. Tapi yang harus aku pahami, berbeda jalan bukanlah membuat mereka kemudian lebih buruk ketimbang aku, karena jalan untuk untuk menjadi baik, telah Allah janjikan terbentang selama perjalanan 70 tahun, maka tarbiyah hanyalah salah satu diantaranya, bukanlah satu-satunya.
Namun (lagi), nyata-nyata menerima kabar dan kenyataan yang ada cukup membuat aku berhenti sejenak untuk berpikir, apakah ada dari manhaj ini yang salah, ataukah ini adalah konsekuensi dari istilah “bukanlah jamaah malaikat”? sehingga sepak terjang pelaku tarbiyah walaupun sumbernya satu, tapi karena bertemu dengan otak, cara pikir, karakter, daya nalar, atau budaya yang berbeda, maka ia menjadi berbeda? Allah...
Tak pantas rasanya aku menggugat mereka, karena “siapakah aku?” yang belum tentu lebih baik. Namun, mungkin ada yang sedikit aku tanyakan: “kemanakah semangat kita dahulu kawan? Semangat kita untuk menjadikan diri dan sekitar kita lebih baik...” entahlah, siapalah aku yang (kembali) entah pantas atau tidak mempertanyakan itu.
Satu hal yang kembali aku pelajari, ini benar-benar bukanlah jamaah malaikat, maka tentulah didalamnya kita akan terus saja menemui ketidaksempurnaan dan cacat, tapi bukankah kita juga telah belajar dalam materi-materi hidup, bahwasanya hanya Allah lah yang sempurna, maka tak perlulah sering-sering kita risaukan dan masalahkan ketidaksempurnakan itu, titik tekankan pada:: kelebihan yang bisa berlipat lagi kita lebihkan, postif yang bisa kita dua kali lipatkan, bahkan pun si negatif akan kita temukan sebagai positif bila kita tahu caranya, yaitu kuadratkan.
Sekarang, di tahun ke tujuh atau delapan aku terdekap dalam ukhuwah tarbiyah, aku masih belajar untuk menjadikan diri lebih baik, dan berusaha menularkan kebaikan.
-----------------------------------------------------------------------------
Menularkan semangat... hehe. Bukanlah jamaah malaikat. Kesalahan dalam proses belajar (menjadi baik adalah hal biasa, yang luar biasa adalah ketika kita terus saja tahan (istiqomah) dalam himpitan kemerdekaan yang telah dilamar.

May 27, 2011

Menimbang Ukhuwah

Menimbang Ukhuwah



Beberapa kali aku ingin menulis tentang ukhuwah, tapi berkali gagal mungkin karena sedikit banyak aku sedang menyiakan ukhuwah yang diamanahkan. Seberapa manisnyakah ukhuwah? Aku tuliskan sedikit cerita tentang ukhuwah yang menopang kehidupanku hingga aku bisa berdiri tegak di sebuah kota asing selama empat tahun belakangan.



Aku menemukan mereka ketika menjadi sebatangkara di sebuah kota asing. Mungkin dalam ukhuwah ini, sering kali aku menjadi tokoh antagonis yang membuat mereka tidak nyaman, kadang menjadi sangat keras dan banyak menuntut pada mereka yang aku anggap mampu memberikan sesuatu yang lebih baik dari apa yang mereka berikan. Esensi ini tidak pernah aku buka, biarlah seakan aku yang paling aneh, asal ujungnya adalah kebaikan bagi semua, tak menjadi masalah.



Memuncak ketika typus meyerang tubuhku yang memang sering sakit, aku pahami ukhuwah itu benar manis. Semenjak kuliah dan jauh dari rumah, sedikitnya tiga penyakit kronis ala mahasiswa menempel di tubuhku, seringkali pulang dengan keadaan dekil dan kulit menghitam yang kadang menjadi pertanyaan ibu padaku, “hehe hasil hidup jauh dari perawatan ma...” celetukku. Seketika aku merasakan betapa hebat ukhuwah itu, selalu ada yang mau mengantarku ke dokter, menunggui di rumah sakit, membawakan kasur dan karpet untuk alas tidur bapakku, menjadi pelawak di kamar rawat inap, menjadi supir ojek dadakan untuk bapak yang harus bolak-balik mengurus ASKES dan biaya rumah sakit, sampai jadi agen tiket kereta.



Aku mulai menimbang ukhuwah ini.



Ketika rasa kecewa, sedih, marah mulai memasuki hati yang kosong, aku mencari-cari maafku untuk kesalahan kecil yang mereka lakukan.



Padahal dibanding rasa itu, berapa banyak kebahagiaan yang terhadirkan saat bersama mereka.



Teringat ketika aku mulai mengenal organisasi di tingkat universitas yang ternyata lebih dingin dari apa yang aku bayangkan sebelumnya, hipotermia akan kehangatan organisasi menyerang hati dan otakku. Tahun pertama aku di organisasi itu, saat lokakarya, aku kirim SMS kepada satu persatu teman seperjuangan di fakultas, aku memilih bolak balik ke tempat wudhu untuk menghapus air mata yang jatuh tanpa kompromi dulu dengan otak. Di hari kedua, aku memperjuangkan kebersamaan bersama mereka, ngawul dan berteriak bersama, berpeluh dan tertawa, meninggalkan dua jam lokakarya, hanya untuk bersama mereka. Atau tentang seorang yang menawarkan bantuan agar rasa dingin itu berkurang, terimakasih aku tersanjung sungguh (mungkin orangnya sudah lupa hehe). Atau tentang dua hari bersama seorang yang sakit giginya, yang berbahagia karena kembali menjadi bayi dan menikmati belaian uminya. Atau tentang hari-hari bersama fans berat einstein dan doraemon yang kesal di hari wisudaku karena telponnya tidak aku angkat.



ingat juga dengan sebuah perjanjian bersama mereka, di depan pintu syurga. Kami akan saling menunggu agar bisa masuk bersama-sama karena ukhuwah kami, akan menjadi pembela ketika ibu bendahara kami tertahan akibat utang-piutang yang belum terselesaikan. Indah dan membahagiakan.

--------------------------------------------------------

Di ujung keberadaan ku di kota yang nanti mungkin akan kembali menjadi asing bagiku, saat aku akan kembali ke rumah di kota tempat aku dibesarkan, yang sekarang terasa asing dan terlalu besar. Aku mulai merasa sendiri dan tertinggal. Aku mulai menyalahkan mereka yang tak kunjung menghubungi aku saat mengambil keputusan-keputusan penting, mulai merasa tak nyaman karena ketidaktahuan yang aku rasakan, asing.



Aku mulai berbohong pada diriku sendiri dengan bersikap seperti anak kecil, aku kembali menjadi mudah marah dan egosentris, aku kembali memaksakan diri untuk tidak peduli, padahal aku peduli, hanya saja aku mulai bingung dengan bagaimana cara untuk menyalurkan kepedulian itu.



Menjauh dari mereka adalah sebuah perjuangan ternyata. Menjadi sulit karena dekapan ukhuwah ini sebuah zona nyaman yang berat untuk ditinggalkan. Satu-satu mereka ibarat puzzle yang memiliki bentuk dan tempatnya masing-masing, akan tetap berada di sana dan akan tetap aku pertahankan di sana.

Semuanya, tidak hanya mereka yang tumbuh besar bersama ku di fakultas, tapi juga yang aku temui di luar fakultas.



Aku mencari maafku dan aku harap juga ada maaf untukku.

-----------------------------------------------------------------------

Ukhuwah ini adalah hadiah yang Allah beri, sebuah bentuk kasih sayang yang terkadang tidak aku temukan dalam hari-hariku di rumah. Bukan berarti keluargaku tidak memberikan kasih sayang, hanya saja, rasanya berbeda, manis dan pahitnya berbeda.

-----------------------------------------------------------------------

Aku kembali menimbang ukhuwah ini, sembari membaca buku “dalam dekapan ukhuwah.” Kutemuka sebuah puisi, tepat saat aku mulai membukanya, mungkin Allah sedang membantuku berjuang untuk menjauh dari mereka dengan lapang dada.



Bata demi Bata, Menara Cahaya



Kau mengatakan,

“dalam tiap takdir kesalahanmu padaku,

Aku senantiasa berharap takdir kemaafanku mengiringinya”

Ku Jawab lirih, “Dalam tiap takdir kejatuhanmu,

Semoga takdir pula uluran tanganku.”

Maka kita pun bersenandung,

“Dalam takdir ukhuwah kita,

Semoga terbangun kokoh menara cahaya,

Tempat kita bercengkrama

Kelak di syurga.”

-------------------------------------------------------------- Salim A. Fillah



Untuk semua kenangan indah yang pernah aku dapatkan, berharap Allah selalu melindungi mereka.

Amin allahuma amin.

---------------------------------------------------------------

Di tengah rasa yang tidak terdefinisikan...

di ujung hari-hari bersama mereka...

terima kasih banyak, jazakumullah khoiron katsir.


Belajar bersyukur dengan setiap apa yang Allah beri, seperti apapun itu, pastilah memiliki makna, entah untuk saat ini atau hari esok, entah untuk di dunia ini atau di akhirat nanti.

(selamat menempuh amanah baru, barakallah ^^b)

May 25, 2011

Cerita Cinta Masa Kecil

Akhir-akhir ini saya sering disibukkan dengan proses pembelaan diri dari ejekan anak-anak. Tahu tentang apa??? Heffffttt,,, tentang hubungan lawan jenis, yup mereka berusaha memasang-masangkan saya dengan seseorang, yang sebenarnya lebih muda dari saya usianya. Baiklah, sebenarnya itu tidak begitu menjadi masalah bagi saya karena tidak terjadi proses kimiawi (baca: Chemistry) apapun dalam hati dan otak saya. Hanya saja menjadi sedikit tergelitik ketika tiba-tiba saja salah seorang dari mereka yang sering menggoda saya ini dua kali berkata pada saya: “duh ibu cantik banget sih...”

Ooh apakah iya saya cantik? ahaha, saya yang tahu sejauh mana kualitas penampilan saya merasa, ungkapan ini agak berlebihan, terlebih karena memakai kata “banget”. Dan apa yang saya ketahui kemudian, tak dinyana anak ini “suka” dengan orang yang sedang dipasang-pasangkan dengan saya. Hoho... inilah jawabnnya, mengapa saya dipuji “cantik”. Luluh sudah GR yang menggelayut di hati saya. Sepertinya ia menganggap benar-benar terjadi sesuatu antara saya dan bapak itu... astaghfirullah, saya menjaga hati saya atas kejadian ini.

Cinta masa kecil, saya bisa jamin beberapa tahun mendatang seandainya anak ini datang kembali kepada saya, ia akan tersipu malu bila saya ceritakan moment-moment seperti ini. Sudahlah... kita buktikan nanti 

Ada satu cerita lagi tentang cinta masa kecil, kali ini menyangkut hati saya. Ehm, saya harap bukan ejekan yang akan saya dapat, tapi sebuah pelajaran berharga yang bisa diambil secara objektif untuk kehidupan yang lebih baik.

Satu kali saya temukan bahwa orang yang dulu pernah berada dalam hati saya, saat saya kecil, kini telah (atau sedang) menemukan tambatan hati. Saat melihat fotonya, pada akhirnya saya meraba-raba hati, ingin mencari sadar tentang apa yang terjadi pada hati saya. Saya geser rabaan saya ke sebelah kanan, kiri, depan, belakang, hingga saya bolak balik hati itu, mencari apakah masih akan ada perasaan aneh yang muncul. Ternyata yup! ADA! Tapi... bukanlah sebuah perasaan marah karena sesuatu yang menjadi hak diambil oleh orang lain, melainkan seperti perasaan kalah, kalah karena seorang yang pernah menjadi sesuatu dalam hati saya dulu, kini (mungkin) telah menemukan tambatan hatinya, sedang saya, saya masih berusaha meminta pada Allah untuk dapat menjemput rizki serta mencoba memperbaiki diri agar tak mengecewakan.

Baiklah kita kembali pada bahasan cinta masa kecil. Tujuh atau delapan tahun adalah waktu panjang untuk saya dapat berbenah hati. Dari hati yang benar-benar berbunga menikmati cinta ala masa remaja, menjadi hati yang hitam kelam penuh badai karena harus merasakan sakitnya berpisah (lebay banget ni..), hingga mulai kembali cerah berawan, hingga benar-benar cerah layaknya langit biru saat mulai menemukan makna hidup bertuhan dan komitmen menjadi seorang yang tertarbiyah.

Waktu tujuh atau delapan tahun bukanlah waktu pendek untuk dapat merupah mindset atau konsep pikir tentang bagaimana pasangan ideal. Belajar dari banyak pengalaman mereka yang telah lebih dahulu menyempurnakan separuh dien, belajar bagaimana menjadi layak untuk dipinang dan mendampingi seseorang berpuluh-puluh tahun mendatang.

Cinta masa masa kecil memang memberi banyak pelajaran, bukan hanya untuk diri saya tapi juga untuk orang disekitar saya, untuk bisa menjadi lebih baik, untuk lebih bisa hati-hati menjaga hati. Saya jadi teringat betapa saya dulu pernah memandangi cermin sambil berpikir, melihat mata yang sembab karena terlalu banyak mengeluarkan air mata, meratap karena harus berpisah dengan seorang yang saya “sukai”. Namun sekarang rasanya agak berbeda,,, malah mungkin banyak berbeda, menjalani teknis dari konsep hidup bertuhan dan tertarbiyah membuat saya bisa mengatur hati dan otak saya ketika bertemu dengan:: cinta. Tidak lagi terburu-buru dan memburu untuk berdekatan dan memiliki, atau sekedar menguhubngi dan menjalin percakapan, semua dapat saya atur dengan otak yang terpagar syariat (insyaAllah).

Hem,,, dalam ilmu yang saya tekuni, psikologi, cinta masa remaja masuk dalam jenis cinta romantis. Cinta jenis ini secara teori hanya bertahan 3-5 tahun, yup sesuai dengan keadaan saya selama ini. Makanya, dalam membangun sebuah keluarga yang memiliki jangkan waktu panjang dalam kehidupan bersama yang lebih dibutuhkan adalah cinta karib yang lebih dipenuhi oleh komitmen dan perasaan sayang. Walaupun demikian, cinta romantis juga dibutuhkan untuk memeberikan kesan berbeda dan tidak monoton (dinamis) dalam kehidupan berpasangan, untuk menghadirkan kembali gairah dan semangat menjalani kehidupan.

Maka dengan pemahaman seperti itu, sedikit banyak membuat konsep saya mengenai pasangan hidup bergesar dari orang yang nyaman dilihat secara fisik dan membuat kita merasa tergebu-gebu untuk memiliki, menjadi nyaman secara psikis dan dapat menjadi ayah bagi anak-aak saya nantinya, dalam artian konkrit dia adalah orang yang memiliki satu visi dan misi dengan saya dalam membangun sebuah keluarga.

Fuuuuh,,, bicara sampai mana ini??? Baiklah...

Intinya, saya hanya sedang flash back mengenai perkembangan hati saya menanggapi masalah cinta. Dan saya dapat menarik kesimpulan bahwa,,, cinta masa kecil, sangat mungkin dianugerahkanAllah kepada mita untuk membuat kita dewasa, pembelajaran dengan rasa ‘nano-nano’ yang akan membuat diri kita bijak memandang hidup yang tak bisa dikatakan stabil. Mengapa??? Karena dinamisasi diri dan labilitas iman membuat kita harus berusaha untuk istiqomah berdiri pada jalan menuju kebaikan yang sesuai syariat...
Hehe,,, panjang... baiklah.

Thanks to anak-anak kelas 6 yang memberikan saya insight tentang cinta masa kecil, dan untuk cinta masa kecil saya,,, hahaha... tentu dirimu tahu mana yang terbaik untukmu, semoga Allah ridho dengan apa yang kau putuskan 
Hehe... sebuah hasil pikir selama perjalan pulang. Semoga memberi inspirasi.

May 15, 2011

Sejarah Yahudi

Pada tanggal 15 mei 2011 kemarin sejumlah orang yang mengaku masih berwarga negara indonesia merayakan HUT Israil di kawasan Puncak. "Perayaan sudah dilakukan tadi di sebuah hotel di Puncak. Sebelumnya kita menyanyikan lagu Indonesia Raya, lalu menyanyikan Hatikva dan membaca do'a Halil semacam do'a untuk orang Israel," kata Direktur Eksekutif Indonesia-Israel Public Affair Committe (IIPAC), Benjamin Ketang kepada detikcom melalui telepon. Sebelumnya malah akan dilaksanakan pada tanggal 14 Mei 2011 di Jakarta, tapi karena acara itu tidak mengantongi ijin dari Mabes Polri maka tentu saja batal diselenggarakan. Namun, menurut ketua panitia acara di Jakarta, Unggun Dahana, dia tak tahu menahu masalah terselenggaranya acara serupa di Puncak. Lalu yang jadi pertanyaan saya dengan siapakah Pak Kentang (maaf) Ketang berkolaborasi sehingga acara perayaan HUT tersebut berhasil terlaksana, walaupun pesertanya hanya 28 orang?
Lalu pertanyaan saya selanjutnya, ada gerangan apakah hingga 28 orang WNI ini mau tergerak hati dan fisiknya untuk ikut merayakan sebuah ulang tahun negara yang sebenarnya tak pernah merdeka. Jelas saja tak pernah merdeka, keberadaan mereka pun bukanlah karena proses penjajahan, dan tindakan mereka yang menjajah itulah yang semakin menguatkan untuk tidak menyebut tanggal 15 Mei sebagai hari kemerdekaan. Saya berkhuznuzhon keduapuluhdelapan orang yang mengaku masih WNI belum membaca literatur sejarah secara benar, atau mungkin selama ini sibuk sehingga tak pernah mendengar kekejaman bangsa Yahudi saat menindas umat Muslim di Palestina, atau seperti berita simpang siur yang saya dengar dari teman, mereka adalah korban tak tahu menahu yang diminta mengisi biodata di internet dan kemudian pagi hari ditanggal 15 Mei tersebut harus sudah siap karena akan dijemput dan dibawa ke “suatu” tempat untuk merayakan yang juga “sesuatu” (baca: tidak jalas).
Baiklah, mungkin kita bisa lihat sejarahnya, saya ambil dari buku Yahudi Menggenggam Dunia karya William G. Car seorang mantan anggota dinas rahasia Inggris yang tahu betul seluk beluk gerakan yahudi dan zionisme internasional.
Sejarah tentang bangsa yahudi sampai saat ini masih berada dalam perdebatan panjang, banyak data yang tidak valid untuk bisa mendukung secara jelas asal nenek moyang mereka. Pertama, kaum yahudi membagi diri menjadi dua kelompok yaitu Yahudi semintik dan Yahudi Eskinaz. Dalam logika saya, yang bisa saya terima adalah penjelasan mengenai kelompok Yahudi Semintik. Dalam buku tersebut dituliskan Yahudia Semintik merupakan keturunan Nabi Ibrahim As. Keturunan Nabi Ibrahim adalah Yakub As, ayah Yusuf As yang diberi gelar Israil sehingga keturunannya di sebut sebagai Bani Israil. Pada zamannya, mereka menempati wilayah mesir, hingga Nabi Yusuf menjadi pengusa disana setelah sebelumnya menjadi mentri pertanian Mesir. Kelompok ini berkembang terus hingga zaman Nabi Musa As yang bertarung dengan Fir’aun, dan memaksa mereka keluar dari masir dengan jalan membelah laut merah menuju daerah syam (termasuk palestina didalamnya).
Sampai Nabi Musa As meninggal dunia, bani Israil belum mampu memasuki wilayah palestina, baru pada Masa Daud As-lah mereka berhasil memasuki wilayah palestina melalui gurun Sinai serta berhasil menguasai kota Yerusalem. Oleh Sulaiman Putra Daud kota Yerusalem kemudian di pecah menjadi kota dan desa-desa kecil sebagai tempat bermukim serta dibangunlah kuil sulaiman untuk tempat peribadatan kaum yahudi, kondisi inilah yang kemudian menjadi alasan yang digadang-gadang gerakan zionis internasional untuk kembali menguasai kota Yerusalem dan wilayah negara Palestina.
Pada tahun 576 SM, oleh Raja Nebuchadnessar II, kota Yerusalem di serang dan kuil Sulaiman di hancurkan, serta kaum yahudi di yerusalem digirng paksa memasuki Babilonia. Dibawah tekanan pemerintah Babilonia inilah, para kaum yahudi berusaha melarikan diri ke sluruh penjuru dunia dan para pemukanya menciptakan konsep Bangsa Pilihan tuhan dan bangsa lain diciptakan untuk kepentingan kaum Yahudi, serta pula menciptakan konsep Bumi yang dijanjikan yaitu kota Yerusalem sebagai asal mula gerakan zionisme internasional.
Kemudian pada tahun 160 M, wilayah syam termasuk Palestine dikuasai oleh Rumawi dan rajanya Heroid Agung membebaskan tawanan yahudi serta membetulkan Kuil Sulaiman. Namun, ditengah kebaikan hati Heroid Agung, kaum Yahudi membuat ulah berupa pemberontakan dan kekacauan yang membuat kota Yerusalem hancur, sehingga mereka dilarang untuk memasuki Yerusalem dan berziarah ke kuil Sulaiman, hingga Rumawi dikalahkan kaum Muslim di zaman Kekhalifahan Umat ibn Khattab, dan wilayah syam termasuk palestina di masuki bangsa arab, dengan sejarah seperti ini sacara konsitusi Umat muslim Legal dan memiliki hak penuh atas wilayah palestina, di tambah dengan kiblat pertama yang tetapkan Allah berada di masjdil Aqsa, Palestina, membuat lebih banyak alasan kuat mengapa umat muslim di seluruh dunia wajib membela tanah Palestina dan warganya yang berjuang membela haknya yang hanya dengan batu, yang melawan tank-tank, rudal-rudal, dan senapan-senapan canggih israil.
Tanah (kota Yerusalem) yang telah mereka kacaukan dan porakporandakan sendiri, kini diaku-aku sebagai tanah yang dijanjikan. Ibarat tamu yang datang meminta perlindungan, Yahudi datang ke tanah palestina karena sebenarnya mereka tak punya wilayah teritorial pasti, lalu bergerak sedikit demi sedikit, menggerogot dari dalam, menyusun konspirasi besar penguasaan, penjajahan, dan perbutan lokasi paling strategis di bumi untuk mengendalikan dunia, tentunya untuk mengusai yang lebih besar, huh! Melalui tangan-tangan tak terlihat merekayasa kehancuran bangsa lain, karena dalam ideologi mereka: “bangsa lain diciptakan untuk kepentingan bangsa Yahudi, karena kami adalah bangsa pilihan Tuhan.”
Lalu siapakah yang harus dibela? Siapakah yang menindas dan siapakah yang tertindas? Masih pantaskah manusia yang bernurani membela israil laknatullah? Atau ikut merayakan HUT kemerdekaannya? Merdeka dari siapa?
Semoga bisa memberikan gambaran. Walallahualam bishawab.

May 12, 2011

Sepi Dunianya_ cerita tentang Penyandang Spektrum Autisme

Pertama kali melihatnya, hanya berkesan ada sesutu yang tak biasa padanya. Seorang anak tak banyak bicara bahkan tak banyak suara. Kedua kali bertemu dengannya, aku ikut tertawa bersama mereka yang meminjamkan anak ini sebuah sepeda tanpa rem, ia terjerembab, hasil memaksakan sang sepeda berheti, disore hari sembari menunggu anak-anak pulang. Ternyata aku kejam juga.
Kali itu aku bertemu dengannya di koridor, berisik teman-temannya sambil menutup pintu sebuah ruang kelas, lagi-lagi dia tanpa suara memilih berada dalam kelas saja, mungkin dari pada harus berdebat panjang dengan teriakan yang akan membuat semakin ricuh- aku membatin. Lalu ku buka pintunya dan memberikan tanda padanya untuk keluar, tanpa ada kontak mata, ia berjalan keluar, lagi-lagi tanpa suara, aku pilih hanya melihatnya berjalan menjauh.
Atau saat aku mulai merasa ketidakbiasaan itu semakin perlu untuk ditelaah lebih jauh, saat aku mulai mendaftar dan menulis deretan indikator perilaku sebuah spektrum dan memberikan daftar itu pada wali kelasnya, kini kembali aku melihat ia sibuk berjongkok memandangi standar sepeda yang patah. “kenapa kak?” kini aku mulai buka suara padanya, tapi lagi-lagi tak ada suara, hening saja. “ini bu, sepeda saya patah standarnya sama Naufal” teriak sang pemilik sepeda padaku yang masih memandang beragantian antara Naufal dan sang sepeda yang patah standarnya. Tiba-tiba ia menjauh, menempelkan tangan pada sebuah pegangan besi dan menunduk, kembali aku buka suaraku “kakak menyesal?” Ia mengangguk perlahan. “coba kakak ke sini, minta maaf pada rahmat” kataku padanya, tapi kembali tak kutemukan kontak mata. “kakak Rahmat maafin Naufal kan???, ini bisa dibetulin ko kak, tinggal di bawa ke bengkel paling perlu skrup baru aja” kataku berganti pada si pemilik sepeda, rahmat mengangguk yakin.
“Rahmat maafin aku ya” katanya kaku sambil menulurkan tangan, kemudian mematung.
Aku kaget, dia mematung seakan berhenti bernafas, bahkan seperti waktu berhenti untuknya.
“hey kak, gak apa-apa, ibu gak marah... come on...”
masih mematung, ku sentuh pundaknya
“kak,,, ayo lah mamen, biasa ajah...”
tetap mematung, panik juga.
Tiba-tiba Rahmat berkata “udah, kamu gak usah begitu terus aku gak apa-apa..” baru kemudian dia bergerak, seakan nyawanya kembali setelah berjalan-jalan, dan tentu saja setelah itu, tanpa suara ia pergi meninggalkan ku yang masih takjub. Sepertinya aku belum masuk dalam daftar manusia di dunianya.
Setelah daftar indikator perilaku itu terisi, aku masih tak yakin terhadap apa yang tertera di sana, tapi daftar checklist itu terlalu nyaris sempurna untuk tidak dikatakan YA. Dia penderita spektrum autisme, individu yang terkunci dalam dunianya, yang kurang mampu berinteraksi dengan dunia sosial di luar dirinya. Individu yang akan selalu terlihat sendiri, ketika bahagia ia sendiri, begitu pun ketika sedih, kecewa, sakit, sepi, dan untuk membayangkannya saja sudah membuat ku bergidik, ya Allah ia terpenjara dalam dunianya. Tak pandai berkomunikasi, tak pandai bercerita apa yang ia rasakan, ia inginkan, bahkan mungkin apa yang ia butuhkan. Walaupun kita masih bisa melihat respon emosinya, terlebih untuk emosi-emosi negatif seperti marah, sedih, dan takut. Dan diagnosisi itu semakin tertegakkan dengan pernyataan wali kelasnya bahwa orang tua Naufal telah menyatakan bahwa Naufal adalah penderita Spektrum autisme.
Sedikit kita akan bicara tentang spektrum autisme yang kini banyak dibicarakan media. Suatu kali aku berpikir, apakah autisme memang baru saja ada belakangan ini akibat banyaknya radiasi, pencemaran lingkungan, efek rumah kaca, bahan makanan beracun dan sebagainya? atau memang telah ada sejak dulu, namun baru menemukan istilahnya akhir-akhir ini saja? atau seperti pada umumnya informasi yang berkembang di negara kita tercinta, spektrum ini baru disadari masyakarat kita setelah berkembang lama di negara-nagara maju sana alias telat info???
Dalam referensi psikologi autisme adalah sebuah gangguan yang akan disandang penderita seumur hidupnya. Hidupnya akan bersama-sama dengan defisit bahasa, perilaku motorik yang aneh, perilaku repetitif, dan tentu saja kesendirian yang sangat.

Menyebab autisme belum diketahui secara pasti, tetapi diduga akibat abnormalitas otak. kekurangmampuan seorang penderita autisme untuk melakukan kontal sosial membuat mereka kesulitan untuk memiliki hubungan dekat dengan teman sebaya, guru, saudara (kakak atau adik), bahkan orang tua mereka sendiri.

Menurut Psikolog O.Ivar Lovaas (1979) anak-anak penderita autisme memiliki defisit perseptual sehingga mereka hanya dapat memproses satu stimulus saja pada waktu tertentu, cara berpikirnya fokus dan tidak bisa terpecah pada dua atau lebih masalah sekaligus dalam satu waktu. Pada waktu-waktu tertentu mereka akan terlihat sangat sensitif terhadap rangsangan apapun, dan di waktu lain mereka menjadi sangat tidak sensitif sehingga orang-orang disekitarnya akan bertanya-tanya "apakah mereka tuli?"
kekurangmampuan mereka dalam menerjemahkan kondisi lingkungan sosial menyebabkan penderita autisme gagal atau kurang mampu memahami dan menerapkan aturan-aturan sosial.

Maka ketika suatu kali Naufal terlhat berguling-guling dibawah tangga sekolah kami, hanya sebuah kata: "miris" saat ada yang merespon perilaku Naufal dengan memiringkan jari telunjuknya di depan kening, tanda beliau menuduh Naufal "gila", mungkin itu cara terkasarku untuk menceritakan kejadian tersebut. Naufal memang seringkali tak menengok ketika dipanggil, bukan karena ia tuli, tapi memang otaknya yang meminta ia harus fokus pada satu hal saja serta ketidakmampuannya merespon lingkuan sosial membuat ia terus saja berjalan tanpa mempedulikan orang baru yang memanggil membuat Naufal seperti itu.
Namun satu hal yang seringkali menjadi kemampuan luar bisa seorang penderita autis, para psikolog dan sarjana psikologi biasa menyebutnya sebagai Savant Syndrome yaitu kemampuan luar biasa yang tidak akan di miliki oleh orang normal pada umumnya,misalnya saja kemampuan untuk mengetahui hari disebuah tanggal pada berpuluh-puluh tahun yang akan datang, atau yang terjadi pada Naufal adalah kemampuannya untuk mengingat dan menuliskan sama persis apa yang telah ia baca disebuah buku, bahkan tanpa menggeser titik maupun komanya, seperti proses scanning atau foto kopi, benar-benar persis. tulisannya yang rapi, detail dalam mencatat dan mengerjakan soal, dan benar-benar cerdas dalam menyelesaikan soal matematika, itulah keunggulannya ditengah ketidakmampuannya berinteraksi sosial.

Namun lagi, bukan hanya tujuan untuk mengembangkan kecerdasan intelektual seseorang saja dalam pembelajaran sekolah, tapi sebuah sekolah harus pula memiliki tujuan untuk mengembangkan kecerdasan spiritual dan emosional yang mencakup kontak sosial dengan lingkungan yang akan membantu anak didik bertahan (survive) dalam kehidupannya dunia dan sukses kehidupan akhiratnya. maka keadaan Naufal tetap harus dibantu, paling tidak untuk memperkenalkan norma-norma yang dipegang masyarakat untuk dapat bertahan dalam interaksi masyarakat yang terkadang menyudutkan penderita autisme.

pada akhirnya, sudah cukuplah kita yang berdiri sebagai pendidik berlaku layaknya orang awam yang tak paham perbedaan individu khususnya anak-anak. Hentikanlah tawa-tawa tak berguna yang tercipta akibat kita menemukan perilaku aneh putra-putri didik kita. Hentikan itu semua dan ganti dengan sebuah kepahaman tentang Kemahabesaran Allah yang menciptakan manusia dengan berbagai karakter dan keistimewaan, yang bisa membuat kita belajar untuk lebih mensyukuri hidup. wallahualam bis shawab.

Apr 13, 2011

seorang sahabat dalam bingkai perpisahan

“Mbak bisa nginep dimisykah gak malam ini?”

Karena aku tidak bisa maka dia yang akhirnya memutuskan untuk menginap di kontrakanku, malam sebelum aku kembali ke rumah. Malam penuh perasaan yang tak bisa aku terjemahkan dengan baik,pun sampai saat ini bila aku mengingatnya. Hanyalah rasa sesak yang bisa aku sebutkan dalam deskripsi malam terakhir itu...

Aku tidur jam satu atau setengah dua pagi malam itu, bukan lagi dikamar yang biasa aku tempati, tapi di depan televisi, di ruang tengah kontrakan yang selama 3 bulan terakhir menjadi tempat ku berlindung dari gelapnya malam. Disebelahku ada dia, adik aneh dari planet lain (sebutan hiperbolisku untuknya), yang menahan tangisnya, yang berpura-pura kuat, walaupun di wajahnya tergambar jelas perjuangannya menerima keputusanku untuk pulang.
Asal tahu saja, aku juga sebenarnya ingin sekali menangis, tapi sekuat jiwa dan raga aku tahan air mata itu agar tak menganak sungai, agar tak menambah rasa berat dan sesak yang membuatku ingin menghentikan waktu. Sampai akhirnya tak bisa lagi ku bendung saat dia mengajakku ke masjid kampus untuk melihat matahari terbit untuk terakhir kali di tembalang, di desa setengah kota yang saat itu akan aku tinggalkan.

Aku bingung malam itu, aku menolak ajakan diriku untuk mendiamkannya, aku tolak dorongan hatiku untuk memeluk dan menenangkannya, bila di tanya mengapa? Aku hanya bisa menjawab jujur karena sebenarnya diriku pun tak tenang, bagaimana mungkin seorang yang tidak tenang mampu untuk menenangkan, aku takut tangisan pecah dan menggagalkan kebulatan tekadku untuk membenahi apa yang perlu ku benahi di rumah...

Seperti biasanya aku hanya bisa sedikit memaksakan tawa, tidak mau banyak bicara, dan mencari obrolan lain agar bisa sedikit menahan rasa pedih, pedih karena aku tahu aku sedang menyiksa seorang yang berjuang terlepas dari kedekatan fisik dan psikis dengan ku.
Dan matahari hari itu pun meninggi, aku siapkan tas yang akan menemaniku pulang ke rumah, aku siapkan diri untuk melepas desa setengah kota itu, melepas ikhlas seluruh kenangan tentang semua orang-orang yang membuatku belajar menjadi manusia yang bisa dibilang lebih dewasa. Satu jam sebelum taksi yang akan mengantarku ke statsiun datang, aku mengiyakan ajakan dia untuk pergi ke Maskam, kami duduk memandangi arah timur tempat dimana matahari muncul malu-malu tapi pasti keluar untuk menggenapkan hari. Aku tahu pipinya basah, aku semakin tak tega, aku tahu dia sesak, aku tahu, aku tahu, akhirnya lelehan air mata itupun jatuh mengalahkan benteng yang ku bangun untuk terlihat tetap tenang, “sebentar, aku mau ke kamar mandi” kataku padanya. Aku berlari ke tempat wudhu mengusap air mata, membasuh muka, tak pedulilah dia mengetahui atau tidak, aku hanya tak ingin membuatnya semakin gusar.

Kedekatan kami sebenarnya tak terhitung lama, mungkin hanya satu tahun, entah mengapa tumben rasanya aku bisa menerima seseorang secepat itu, yang aku tahu, aku dan dia adalah dua diantara segelintir orang yang terkadang punya banyak pikiran dan pertanyaan aneh mengenai alasan dasar mengapa kita harus bertindak seperti ini atau seperti itu. Filsafat, itulah persimpangan yang mempertemukan pikiran kami.

Dia, cenceremen aneh yang meng-sms-ku malam-malam hanya untuk mengatakan “mbak aku pengen pacaran” bodoh saja bocah ini, tapi asik saja menanggapinya, anggap celotehan bocah kecil yang iri dengan mainan baru temannya. Bocah yang belajar memberanikan diri turun gunung (haha kayak pendekar aja) dari tembalang ke pleburan dengan motornya untuk menjagai aku yang terbaring sakit di rumah sakit, bocah yang membawakan alas tidur untuk bapakku, bocah yang aku temukan sebuah kirimannya di wall FB adik kandungku; yang menuliskan “pin, kakaknya buat aku aja ya” (terbang juga rasanya membaca itu), atau yang dengan aneh bertanya kepada seorang dihari wisudaku “mas ***, mbak Nuram mana?” duh gubrak, ngapain juga tanya-tanya ke orang yang jauh, dan dengan pengakuannya itu membuat mukaku memerah padam. Bocah dengan banyak potret hingga aku bingung memilih satu potret di dirinya yang paling ku suka untuk aku deskripsikan.

Bocah yang sebenarnya seringkali tebakan dan analisisnya tepat mengenai apa yang sedang aku rasakan, tapi agar terlihat dewasa ku cari jalan untuk menghindar dari pengakuan. Yah banyak sudah rahasiaku yang dipegang olehnya, mati saja bila itu bocor ke publik.

Nyaman menyebutkan bocah karena dia memang bocah. Ahahhaha...

Sebenarnya sempat terpikir juga untuk menjodohkannya dengan adik kandungku kelak, tapi setelah ku pikir-pikir, nampaknya ia lebih pantas mendapatkan yang lebih baik, yang bisa membawanya ke Jerman dan mendukungnya menjadi peneliti seperti impiannya selama ini. Salutlah untukmu...

---------------------------------------------------------------------------------------------------

Sekarang, aku yang tersibukkan dengan pekerjaanku, dan dia yang juga mulai tersibukkan dengan aktivitas kampusnya, membuat kami jarang bicara. Baru saja dia mengingatkanku akan sebuah janji menuliskan sebuah note tentangnya, “aku penuhi janji itu neng...” maaf bila ku putuskan untuk mengambil potret di hari terakhir kita bersama secara fisik, itu begitu berkesan hingga air mataku pun masih meleleh ketika mengingatnya. Selamat berjuang menapaki medan dakwah kampus, aku berharap suatu saat menerima kabar kau menjadi seorang mujahidah di dakwah akademik kampus kita tercinta, kampus yang mempertemukan keanehan kita, kampus yang membuat kita menangis dan tertawa bersama.

Mar 21, 2011

Bicara tentang cinta

kamu tukang tambal ban ya / emangnya kenapa ? / karna kamu telah menambal luka hatiku :">



Dicari: masalah. Biar aku mikirin masalah, gak mikirin kamu terus..



Kamu suka matematika ya? Kalo ketemu kamu kurasakan cinta yg rumit bagaikan invers matriks berordo 5x5



Ada yg punya anti virus yg ampuh ga?

Soalnya otak ku udh di penuhin virus cinta dr kamu nih...



Bila kita ingin bicara tentang cinta di usia pubertas memang tak akan pernah habis terbahas, tidak hanya akan menghasilkan luas dari panjang yang dikalikan lebar, tapi mungkin juga volume yang dihasilkan dari panjang dikali lebar dikali tinggi, karena cinta juga ingin diketahui kedalamannya.



Dalam satu kali pertemuan bundar dengan adik-adik saya di SMA, kadang tergelitik dengan arah pembicaraan kami, di awal sudah saya kondisikan dengan materi mengenai taubat, inginnya bahasan ini akan bertahan hingga akhir, tapi ternyata di akhir pertemuan itu kembali bahasan cinta terhadirkan dan memang harus dibahas untuk diluruskan. Begitupun dengan anak-anak di kelas 6, ada saja pernyataan yang saya temukan yang menggelitik otak dan hati saya. Seperti beberapa pernyataan yang saya tuliskan di awal, ada tukang tambal ban, ada anti virus, ada yang mencari masalah, bahkan invers matematikan pun dibawanya (padahal belumlah sampai kelas 6 itu belajar invers), untuk apa? Untuk menjelaskan rayuan gombal ala dia yang sedang haus akan penjelasan cinta.



Sadar,,, bahwa cinta di masa puber begitu nikmat untuk dibicarakan, baiklah mungkin bisa sedikit saya turunkan ilmu saya mengenai pengelolaan cinta (hehehe).



Mari kita berjalan-jalan ke masa Rasulullah dan khalifah umar bin khattab. Seorang umar yang gagah dan berani itu berkata begini pada Rasulullah saw “ya Rasulullah, aku mencintaimu seperti aku mencintai diriku sendiri” namun apa jawaban Rasulullah saat itu? “Tidak wahai Umar, kau harus mencintaiku melebihi apapun didunia ini bahkan melebihi dirimu sendiri” “baik ya Rasulullah, aku akan mencintaimu melebihi cintaku kepada diriku sendiri.” Jawab umar pasti.

Begitu mudah bagi umar mengganti objek cinta yang paling ia cinta, dari dirinya sendiri menjadi Rasullah, mengapa hal itu bisa terjadi? Karena cinta bagi Umar adalah kata kerja, kata kerja adalah sesuatu yang bisa kita rubah dan bisa kita gerakkan. Maka cinta bisa kita gerakkan, sesuai dengan apa yang kita inginkan, sesuai apa yang kita pahami, menurut ilmu yang telah kita pelajari, ilmu tentang bagaimana mengelola cinta agar ia tertempatkan pada posisi yang tepat.



Sebuah pernyataan menarik dalam cerita bersambung karya seorang teman terbaik saya, ia sebutkan “cintaku adalah sumbu asimtot beku.” Penterjemahan menurut saya baiknya memang cinta masa kecil terbentuk bagai sumbu asimtot yang beku. Kau tau apa itu sumbu asimtot? Ia adalah sumbu yang tak pernah menyentuh kurva, ia berdiri saja membatu di wilayah pembagian sumbu x dan y dalam matematika, ia tak pernah bergerak, hanya terpaku menikmati kurva yang meliuk membentuk hitungan-hitungan hasil. Maka seperti halnya sumbu asimtot, cinta masa kecil atau cinta sebelum tersebutnya ijab dan qobul dibiarkan menikmati objek cinta dari jarak jauh saja, tak perlu menyentuh, tak perlu juga bersatu atau bersilangan.



Cinta dalam sebuah teori fisioneurologi adalah hasil dari tertangkapnya feromon (aroma tanpa bau) yang dikeluarkan oleh lawan jenis, yang kemudian menghasilkan dopamin dalam otak. Dopamin bekerja layaknya candu yang membuat pikiran kita melayang dan merasakan nikmat. Bertemu dengan objek cinta semakin membuat dopamin memasuki otak manusia yang jatuh cinta, kenikmatan berdekatan dengan objek cinta (biasanya lawan jenis) membuatnya bagai pemakai candu yang menagih bila tak terdapatkan. Di satu sisi hadirnya dopamin dalam otak bisa memberikan energi baru untuk kita senantiasa bergerak dan bersemangat. Namun di sisi lain tentulah berbeda ceritanya, ketika kondisi yang hadir dalam otak berkuantitas layaknya kebanjiran (baca:kebanyakan), ia akan memperkeruh akal sehat, mengaburkan pikiran, menyulitkan pengambilan keputusan, dan berujung pada terkikisnya iman. Sungguh yang berlebihan tak pernah baik, tak pernah di sukai Allah.



Pun ketika kehilangan objek cinta. Stok dopamin yang berkurang dalam otak akan membuat ketidakseimbangan yang mengagetkan, kenikmatan akan berkurang tiba-tiba berganti dengan rasa sakit luar biasa. Orang yang membiarkan dirinya jatuh cinta dan akhirnya kehilangan objek cintanya akan mencari ke sana kemari, layaknya pecandu yang sakaw, sakaw akibat cinta yang hilang, akibat dopamin yang berkurang.



Maka perlulah kita belajar mencintai seperti Umar bin Khattab yang menjadikan cinta sebagai kata kerja, yang dapat dengan mudah menyetir cintanya, bukan disetir oleh cinta. Toh jodoh tak akan lari kemana. Jangan membiarkan otak tercandui oleh dopamin pembentuk cinta akibat ketertarikan dengan lawan jenis, bila kemampuan untuk bertanggungjawab belum hadir.



inspirasi: jalan cinta para pejuang, female brain, dan status anak kelas 6

Mar 2, 2011

kasih dan sayang. umi, abah, dan aku

Akhir ini pekerjaan menuntut saya bertemu dengan mereka, anak yang tak terbagi kasih sayang orang tua. Bukan bermaksud berprasangka bahwa orang tua mereka tak sayang, hanya saja (saya memilih untuk mengatakan) terkadang pemaknaan kasih sayang ternyata berbeda pada tiap-tiap orang.
Ingatkan ketika dulu saat kecil, apa yang dilakukan ayah atau ibu kita untuk menunjukkan kasih sayang mereka? Ada yang sangat beruntung bisa merasakan kasih sayang berupa peluk, cium, belaian, dan perhatian. Namun, seringkali kasih sayang diartikan dengan pemenuhan bentuk materi bagi anak. Dengan uang, barang, makanan, tetapi bukan kebersamaan. Salahkah?
Ada masanya materi memang diperlukan, misalnya saja untuk sebuah sekolah favorit di bilangan Jabodetabek yang mematok SPP sebesar Rp450.000,00 perbulannya, pendidikan memanglah butuh dana. Bisa kita bayangkan, untuk sebuah pendidikan sekolah dasar yang lengkap dan terpercaya, orang tua harus mampu menyisihkan dana sesebar itu untuk satu orang anaknya, maka realistis memang ketika untuk kebahagian anak orang tua berjuang menjadikan kaki di kepala dan kepala di kaki, tapi sekali lagi bukan selamanya. Tidak mungkin materi bisa menggantikan kasih sayang orang tua, kasih sayang mama dan papa.
Ketika memasuki pekerjaan ini, saya mulai dihadapkan pada anak-anak yang dalam tanda kutip “bermasalah”. Kurangnya sopan santun dan perilaku tidak pantas menjadi laporan utama, atau malah kebingungan atas sikap anak yang cenderung memilih diam dan –sepertinya- sulit untuk mengekspresikan emosinya. Telusur punya telusur, perilaku ini muncul akibat hilangnya sesuatu yang menjadi faktor penentu sehatnya pribadi anak, yaitu kasih sayang dan perhatian orang tua.
Satu kali saya kaget mendengar solusi yang di tawarkan oleh satu dari dua anak yang bertangkar di kantor saya, saya bertanya: “Adam...apa yang bisa kamu berikan agar maafmu diterima Kiko?” Adam menjawab : “besok aku akan kasih kiko uang saku bu...biar kiko gak marah lagi ke Adam...” Bisa kita bayangkan, betapa sebuah pertemanan dinilai dengan uang oleh anak. Saat itu saya begitu kaget, dalam pikir, seperti inikah pemahaman anak? Bahwa teman yang baik dapat dibeli melalui uang sakunya? Respon saya terhadap adam saat itu adalah: “ Adam tahu,,, sebuah persahabatan tidak akan pernah terbeli oleh uang, sahabat memerlukan kasih dan sayang, bukan uang. Hati kiko tidak akan pernah bisa adam beli dengan uang.”
Satu lagi anak yang mendapatkan absen dari kasih sayang orang tuanya. Kali ini yang hilang adalah peran ayah dalam rumah. Sebut saja namanya ahmat . Anak ini pernah menyembunyikan tempat pensil saya karena ingin saya perhatikan, pernah juga menarik-narik tangan saya, meminta doa agar pertandingan sepakbolanya menang, sering sekali meminta saya makan siang bersamanya di kelas, ujungnya adalah kebutuhan ahmat akan perhatian dan kasih sayang. Ahmat adalah anak dengan keluarga broken home, ayahnya tidak lagi tinggal bersama ia, ibu, dan kakaknya. Satu kali saya mengobrol dengannya, ia mengatakan bahwa pendapatan ayahnya ratusan juta rupiah, tapi sekali lagi, wujud ayah sama sekali tak ia miliki dengan sempurna.
Pernahkah kita terpikir betapa anak adalah anugrah dan amanah, sebagai manusia yang dibekali hati dan akal apa iya tidak pernah terbersit untuk menimbang-nimbang: sebegitu praktisnya-kah, bahwa pembekalan uang dan materi, bisa membuat mereka bahagia????
------------------------------------------------------

Satu kali dalam obrolan saya dengan seorang umahat tentang anaknya yang memaknai hadits menghormati ibu 3 kali lebih utama dibanding ayah, membuat si anak lebih mempercayai perkataan ibunya daripada ayahnya sehingga semua pertanyaan sampai pada masalah perkalian di soal PR-nya harus mendapat penegasan dari umi bukan dari abi, atau tentang konsep surga ditapak kaki ibu; pemaknaan anak lebih pada bahwa membersihkan telapak kaki ibu akan sama dengan membersihkan surga, maka ia mencuci kaki uminya setiap malam agar ia bisa masuk syurga.
Sebegitu konkritnya anak memaknai perkataan ibu, pun begitu patuhnya ia dengan apa yang dikatakan ibu, maka tak bisakah kita mengambil kesimpulan bahwa apa yang menjadi perkataan kita akan masuk dalam otak anak dan terinternalisasi dalam perilakunya, walaupun mungkin belum dalam pemaknaan terdalamnya, lalu bagaimana bila perkataan yang keluar adalah cemooh, label negatif, tuduhan, amarah, dan banyak keburukan lainnya, tidakkah menjadi sangat mungkin mereka akan terbentuk menjadi apa yang kita ucapkan???
------------------------------------------------------------------------------------------
Sebuah keluarga dipimpin oleh ayah dengan koordinator lapangan adalah ibu, setiap keputusan berada dalam tangan ayah sehingga tak bisa dengan mudah seorang ayah absen dalam perjalanan kehidupan keluarganya...
------------------------------------------------------------------------------------------
Share pengalaman... semoga bisa diambil manfaat. Pelajaran menjadi orang tua^^
(maaf tulisan ini agak melompat-lompat)

Feb 10, 2011

MaMa


Kalau sedang tidak main lappy, kerjaan ku di malam hari adalah menemani mama nonton sinetron di televisi. Astaghfirullah jalan ceritanya, penuh dengan intrik yang tidak realistik. Jika mama sangat lelah, kemudian bapak nonton televisi di kamar adikku, maka dengan sangat bahagia aku bisa menikmati televisi di ruang keluarga sendiri, gonta-ganti chanel sesuka hati. Namun, malam ini sepertinya keberuntungan sedang tidak berpihak padaku, adikku belajar dikamar, otomastis televisi di sana mati, dan mama menguasai televisi di ruang keluarga. Alhasil nasibku, pengang mendengar teriakan-teriakan aneh dalam sinetron aneh.
Apakah ibu-ibu dimana-mana sama? Menyenangi sinetron? Heemmm,,, suatu kali aku pernah melihat mata mama yang menggenang melihat sinetron aneh itu, saat aku tanya, kata beliau, hanya sedang membayangkan bila putra-putrinya tertukar... Haduuuuh mama,,, yang selalu aku anggap sebagai wanita modern, yang punya karir cemerlang, selera baju yang bagus, lidah yang sensitif dengan rasa masakan tidak enak, bisa-bisanya menangis Cuma gara-gara sinetron aneh: Putri yang Tertukar. Atau memang setiap ibu itu akan sangat sensitif mengenai masalah putra-putrinya?
Hem...
Mamaku itu cerewet, banyak nuntut, punya standar tinggi. Yup saat ini pun mama sedang memarahi adikku masalah lampu kamarnya yang remang-remang. Selama satu bulan, diawal kepulangan, aku banyak kaget dengan sikap mama. Hidup yang tidak pernah diatur seseorang, sekarang menjadi banyak sekali aturan yang harus dipatuhi. Telinga yang damai karena selama empat tahun tinggal sendiri, sekarang harus siap siaga dan kebal menerima banyak rentetan kata-kata. Yang biasanya menetapkan standar sendiri dalam target-target kecil, sekarang harus di sesuaikan juga dengan standar mama, belum lagi kualitas pekerjaan rumah (beberes). Kalau dulu di semarang mungkin aku adalah akhwat paling berantakan masalah kamar, sekarang jelas tidak bisa, bisa-bisa di aku akan tertembak dengan rentetan peluru kata-kata yang memekakkan telinga.
Hem,,,
Mamaku itu, wanita hebat. Aku memperhatikannya satu bulan terakhir ini, ketika khadimat kami pulang kampung, beliau bangun ketika aku, bapak, (apalagi) pinto belum bangun. Jam setengah empat beliau sholat malam, merebus air untuk bikin teh, sholat subuh, masak untuk sarapan, lalu mandi, kemudian dandan, dan jam 6.30 teeeet,,, pergi ke kantor. Setiap pukul 5 kurang 15 telpon rumah berbunyi, mama minta jemput... hahahay, belum lagi di rumah melayani pasien periksa, yang kadang-kadang dateng gak kira-kira waktunya, coba bayangkan, pernah pasien datang pukul 11, 12 malah ada yang pukul 2 pagi. Sampai satu kali pernah tak seneni,,,bu,,,pak,,,, mama saya juga butuh tidur kali.
Hem,,,
Mamaku itu sebenarnya teramat sangat sayang pada aku dan adikku. Aku tahu, tangisannya melihat sinetron (aneh) putri yang tertukar itu adalah refleksi dari perasaannya terhadap kami, anak-anaknya yang nakal ini. Sampai-sampai sekarang ini, aku yang biasa naik motor ngalor-ngidul, nyaris selalu mendengar, “mending perginya dianter adikmu aja” atau “sudah gak usah nganter sampe kantor, saya ngerriiiiii kalo macet begini, takut kamu ada apa-apa.” Haduh mendung saya menuliskannya.
Hem,,,
Awal aku pulang, stres ku melanda dengan semua aturan mama di rumah, pergi harus jelas akan kemana, piring harus segera di cuci, jemuran yang harus diambil, teriakan harus mandi 2 kali sehari (kejadian ini menimpa adikku, bukan aku..), lipet selimut, daaan lain-lain aturan ala mama...tapi, lama aku sadar, ya memang hidup emang harus begitukan, karena berposisi sebagai anak, ya memang harus mau menerima otoritas dalam keluarga.
Kalau mau tidur, karena mama pasti lebih dulu tidur ketimbang aku, aku sering banget mandangin wajahnya. Kerut-kerutnya (ternyata mama ku sudah tua, ahahhaa), aku juga sering memperhatikan tarikan nafasnya, hanya takut terjadi apa-apa.
Aku yang pernah sangat tidak menerimanya, dengan sangat kurang ajar aku tuliskan kekesalanku itu di sebuah buku, dan dengan teledor aku taruh di lemari buku yang mudah dijangkau, kata adikku mama pernah sekali membacanya, aku malu... tapi aku bingung akan di taruh dimana wajah ku bila tak disini (#menujuk wajah)...
Mama, maafin kakak yah.
Aku mulai mendung mengetik tulisan ini. Aku tahu dan sadar, mamaku memang berbeda dengan mama yang dimiliki kawan-kawanku. Mama seingatku hanya satu kali mengantarku sekolah dasar, mama juga sangat sulit punya waktu untuk mengambil raport ku dulu karena kesibukannya. Karena kesibukannya pula, pada acara kemah pertamaku, aku harus menelpon mamanya temanku untuk menanyakan “tante, apa yang harus di bawa saat kemah?”
Mamaku yang selalu risih saat aku menempel-nempel dan gelendotan. Dengan marahnya ia mengkhwatirkan kesehatanku. Mamaku yang memutuskan cuti satu minggu untuk menemaniku memulai hidup di semarang. Mama yang memintaku pulang dengan tangisannya. Mama...yang sering membuatku sedih, bila ingat aku ini sering berbuat durhaka padanya...
Hem,,,
Mama. Maafin kakak, sekali lagi maafin kakak.
Sekarang, kalau mama mulai teriak-teriak mengingatkan seluruah aturan rumah, aku akan bernyanyi dengan kata-kata yang diteriakkannya, aku tidak mau hatinya tegang karena kenakalan kami, anaknya. Ya walaupun aku tahun suaraku jelek, malah disitu titik humornya, seperti tadi sore saat adikku di suruh mandi, maka aku bernyanyi: “mandi, mandi, biar mama gak marah lagi,,, ahahaha”
--------------------------------------



SELAMAT HARI IBU...... :)

Feb 9, 2011

Otak Perempuan dan Polisi

Suatu kali dalam seperempat hari perjalanan bertemu dengan banyak oknum polantas. Polisi, sebuah lembaga atau profesi yang mungkin telah saya masukkan dalam black list. Kalau saja tidak sangat perlu, saya lebih memilih untuk tidak berurusan dengan profesi yang satu ini.



Saya ingat betul sebuah kejadian saat KKN (kuliah Kerja Nyata) yang bertepatan dengan bulan Ramadhan. Jalan ke desa lokasi KKN saya adalah jalan kecil yang biasanya dipakai untuk menyingkat rute semarang-purwodadi agar tidak perlu memutar lewat kota. Jalan yang penerangan di kala malamnya saja tidak ada, jalan yang di samping kanan-kirinya hanyalah hutan karet dan jurang, jalan yang tidak lebih dari 4 meter lebarnya. Namun, memang jalan ini adalah rute alternatif pilihan para supir truk untuk memangkas ongkos transportasi barang. Dan disanalah dua polisi itu memilih tempat berjaga dan melancarkan aksinya.



Ya Allah... saya, teman saya, dan motor saya insyaAllah lengkapkapkap, spion ada, helm ada, intinya tidak ada yang menjadi alasan untuk diberhentikannya kami, tapi kami diminta berhenti. Sebagai warga negara yang baik tentu saja kami berhenti (muter-muter). Saya prediksi ketertarikan itu terdapat pada jaket KKN kami, dan benar saja itulah alasan mereka, saya tangkap bapak-bapak itu mengatakan bahwa yang memakai jaket KKN seringkali pinjam meminjam motor tanpa memerhatikan surat-surat. Di bawah ini adalah dialog kami:

Saya (S); teman saya (TS); polisi 1 (P1); polisi 2 (P2)



P1: minggir dulu dek...STNK dan SIM?

S : ada pak, saya yang punya motor ini, ini STNK dan SIM (kebetulan karena saya sedang sakit, saya dibonceng dan teman saya yang membonceng tidak memiliki SIM)

P2: Lho? Ko gak kamu aja yang nyetir?

S : saya lagi sakit pak, bapak gak lihat saya pucet? (sambil megangin perut)

TS: (speechless)

P1: ya udah, tapi sekarang kamu yang bawa (sambil menunjuk saya).

S : iya pak (sambil turun dan berpikir, tega banget ni polisi kalo gue pingsan dijalan gimana?)

TS: (masih speechless)

Tiba-tiba karena sibuk dengan saya, teman saya, dan motor saya sebuah truk besar yang diberhentikan bersamaan dengan saya mencoba kabur.

P1: WOIII!

P2: dek pinjem motornya,,,



Dan dengan bodoh saya serahkan motor itu

P1: adek tunggu aja dulu disana atau mau masuk ke mobil kalo panas...

S : di sana aja pak, udah biasa kena panas.



30 menit berselang

S : (sudah mulai BT, bad mood, perut saya sudah makin sakit, kepala saya makin tidak karu-karuan) mana temennya pak? Polisi beneran bukan sih, ko lama banget. Baik-baik aja gak nih motor saya?! (kegalakan saya mulai muncul)

P1: tunggu aja dek, lagi ngejar orang, tadi lihat kan?

S : lihat, tapi ini udah lama banget.



Dan datanglah polisi 2 itu dengan motor saya, ngebut dan memutarkan motor saya juga dengan ngebut. Saya termasuk seorang observer yang cukup baik, sedikit saja keganjilan terjadi pada barang-barang yang saya punya insyaAllah saya tahu, tinggal keputusan saya saja , apakah saya akan mempersoalkan atau tidak, dan MOTOR saya berubah bentuknya, lecet parah.



S : pak saya gak punya motor lecet kayak gini!!! Pasti jatoh kan tadi?! (sambil menahan tangis dan mencoba membersihkan lecet di body motor saya, kotor, dan sangat jelas masih baru)



P*lisi 2 yang meminjam, kekeuh tidak mau mengaku, hingga tiga kali saya tanya, tidak mau mengaku juga, akhirnya saya rebut motor saya dan mengatakan:

S: cukup ya pak, saya gak pernah punya motor lecet parah kayak gini, anda p*lisi yang katanya melindungi masyarakat, malah merusak milik masyarakat, saya cukup tau aja. Kerja anda gak bener. (nyerocos)

Setelah itu saya tancap gas.



Temen saya: keren lo Ram,,, (sepanjang jalan dia bermaksud menenangkan saya dan saya hanya bisa diam)



Ya kerenlah, saya mengumpulkan keberanian untuk memarahi polisi-polisi itu selama setengah jam, tapi sekeren-kerennya saya, sampai di pos KKN, sambil memandang dan mengelus-ngelus motor saya yang lecet itu, saya menangis sejadi-jadinya (entah karena takut dengan polisi tadi atau karena motor kesayangan saya lecet parah). Dan lunturlah kekerenan saya siang itu.



Satu lagi ingatan saya mengenai polisi:

Pelanggaran lampu lalu lintas. Saya bertanya dulu, lampu kuning itu berarti hati-hati dan lampu merah berarti berhenti? Dan kami diminta berhenti dengan alasan melanggar lampu lalu lintas warna kuning. Mari tertawa. Kami di bawa ke pos mereka, di introgasi dan diceritakan macam-macam terkait akibat menerobos lampu kuning. Saya memutuskan untuk menjadi observer saja, sambil melihat apa yang akan dilakukan polisi aneh ini. Lama berselang, kami diminta masuk ke ruangan di sebelah pos polisi tersebut, yang ditawarkan pada kami adalah jalan damai (bukan nama tempat), 120 tambah 5 ribu, artinya polisi ini menawarkan kami jasa ilegal dengan membayar Rp125.000,00. Beuuh, mari memulai usaha ngeyel. Kami ngotot agar SIM saja yang diambil. Dalam pikiran saya, “bisa banget ni p*lisi, mentang-mentang plat-nya Z bukan H.”

Akhirnya pak polisi menyerah. Rasanya ingin sekali tertawa menang dan bernyanyi “We are the champion my friend....”

------------------------------------------------------------------------

Sampai hari ini saya belum bisa percaya pada polisi. Seringkali masih mencari-cari maaf saya, untuk satu profesi ini. Perilakunya tidak mencerminkan jargon profesi yang diusungnya, dari mulai yang suka menjebak dengan menaruh ganja agar bisa ditangkap dan dipenjara, jadi nantinya bapak polisi mendapat kenaikan pangkat (bagus), kemudian polisi yang mengurus kasus gayus atau teroris, sebuah pertanyaan mengapa urusan terorisme cepat sekali penanganannya dibanding kasus gayus? Jawaban logisnya adalah karena yang tertuduh teroris tidak doyan sogok-menyogok ke pak p*lisi , apalagi polantas, cukuplah, dilihat darimana pun saya lebih memilih untuk tidak melihat.

-------------------------------------------------------------------------

Melihat polisi bergerombol dijalan selalu saja membuat hipokampus dalam otak saya bekerja lebih. Terbuka kembali ingatan-ingatan lama mengenai kejadian yang tidak menyenangkan terkait dengan polisi, keluar bersama dengan emosi yang saya rasakan saat itu, sangat jelas dan saya pun dapat bercerita detail, bisa jadi karena kejadian tersebut adalah kondisi yang menyakitkan bagi mental saya.



Inilah otak perempuan, tercipta untuk hal-hal detail yang banyak menguras emosi. Setiap kejadian yang menyakitkan akan sangat mudah teringat dan dapat di recall beserta emosi yang menyertainya. Jadi , jangan heran ketika ibu memarahi kita, kesalahan-kesalahan yang pernah kita lakukan sebelumnya akan juga dibahas sampai telinga kita terasa panas.



Sebagian dari penyebab ingatan perempuan lebih baik untuk detail-detail yang berhubungan dengan emosi adalah bahwa amigdala (pusat otak untuk rasa takut, kemarahan dan agresi) seorang perempuan lebih mudah di aktifkan oleh nuansa emosi. Sebagian yang lain disebabkan oleh kapasistas hipokampus (bagian otak yang berkaitan dengan memori) yang relatif lebih besar sehingga ingatan perempuan lebih baik untuk setiap detail pengalaman emosi, baik yang menyebalkan maupun menyenangkan, misalnya kapan terjadinya, siapa yang ada disana, seperti apa cuacanya, atau bagaimana bau tempat tersebut, secara terperinci disimpan dalam satu jepretan indra yang terperinci bahkan tiga dimensi.

-----------------------------------

Ingat dengan pernyataan teman saya? Yang menyebut tindakan saya memarahi polisi adalah sesuatu yang keren? Jujur saja saya tidak berani pada awalnya, makanya di awal saya memilih untuk menyerahkan motor saya ketimbang harus adu argumen dengan polisi. Namun pada akhirnya saya tidak mampu membendung agresi saya pada polisi yang membuat lecet motor saya. Tumpukan rasa tidak jelas, fisik yang tidak nyaman karena sedang sakit dan tersengat matahari, belum lagi perasaan terancam kehilangan barang berharga seperti motor membuat saya meluapkan agresi walaupun hanya secara verbal. Mungkin bagi laki-laki, perilaku tersebut merupakan hal biasa saja, terbukti ketika saya bercerita mengenai masalah ini kepada adik saya, responnya hanya berupa: Kenapa gak lo laporin ke pak Lurahnya, biar tuh polisi di tindak, kenapa lo gak gini gak gitu, dan bla-bla-bla, banyak hal teknis dan sangat fisik yang saya pikir itu merupakan tindakan yang terlalu jauh.



Secara fisik, otak perempuan memang di desain untuk sangat menghindari konflik, karena takut akan membuat orang lain marah dan menghilangkan hubungan, makanya teman saya begitu terpesona ketika saya berani memarahi orang, terlebih dengan profesi polisi. Hehe. Namun, ketika kesabaran seorang perempuan sudah habis, biasanya ia akan melawan objek kekesalannya dengan meledakkan agresifitas verbal bukan fisik seperti halnya laki-laki. Sirkuit verbal pada otak perempuan lebih cepat bekerja sehingga membuat perempuan mampu melepaskan rentetan kata-kata amarah yang tidak mungkin di tandingi laki-laki (dalam kondisi normal saja perbandingan kata-kata perempuan dan laki-laki dalam sehari adalah 20.000:7000, bagaimana bila sedang marah, pastinya lebih mantap). Maka dari itu juga pak polisi 2 jadi diam dan tidak bisa menjawab selain kata “tidak” saat saya berkali-kali protes dan bertanya “kenapa motor saya bisa lecet parah???”

----------------------------

Jangan heran ketika menemukan perempuan banyak bicara, karena otaknya memang telah dirancang untuk seperti itu. Hehe.

Dan ternyata otak saya perempuan sekali. Begitu hebatnya Allah menciptakan makhluknya, bahkan mempersiapkannya untuk membela diri.



Dapus:

Brizendine, Louann. 2010. Female Brain. Jakarta: Ufuk Press.