Feb 10, 2011

MaMa


Kalau sedang tidak main lappy, kerjaan ku di malam hari adalah menemani mama nonton sinetron di televisi. Astaghfirullah jalan ceritanya, penuh dengan intrik yang tidak realistik. Jika mama sangat lelah, kemudian bapak nonton televisi di kamar adikku, maka dengan sangat bahagia aku bisa menikmati televisi di ruang keluarga sendiri, gonta-ganti chanel sesuka hati. Namun, malam ini sepertinya keberuntungan sedang tidak berpihak padaku, adikku belajar dikamar, otomastis televisi di sana mati, dan mama menguasai televisi di ruang keluarga. Alhasil nasibku, pengang mendengar teriakan-teriakan aneh dalam sinetron aneh.
Apakah ibu-ibu dimana-mana sama? Menyenangi sinetron? Heemmm,,, suatu kali aku pernah melihat mata mama yang menggenang melihat sinetron aneh itu, saat aku tanya, kata beliau, hanya sedang membayangkan bila putra-putrinya tertukar... Haduuuuh mama,,, yang selalu aku anggap sebagai wanita modern, yang punya karir cemerlang, selera baju yang bagus, lidah yang sensitif dengan rasa masakan tidak enak, bisa-bisanya menangis Cuma gara-gara sinetron aneh: Putri yang Tertukar. Atau memang setiap ibu itu akan sangat sensitif mengenai masalah putra-putrinya?
Hem...
Mamaku itu cerewet, banyak nuntut, punya standar tinggi. Yup saat ini pun mama sedang memarahi adikku masalah lampu kamarnya yang remang-remang. Selama satu bulan, diawal kepulangan, aku banyak kaget dengan sikap mama. Hidup yang tidak pernah diatur seseorang, sekarang menjadi banyak sekali aturan yang harus dipatuhi. Telinga yang damai karena selama empat tahun tinggal sendiri, sekarang harus siap siaga dan kebal menerima banyak rentetan kata-kata. Yang biasanya menetapkan standar sendiri dalam target-target kecil, sekarang harus di sesuaikan juga dengan standar mama, belum lagi kualitas pekerjaan rumah (beberes). Kalau dulu di semarang mungkin aku adalah akhwat paling berantakan masalah kamar, sekarang jelas tidak bisa, bisa-bisa di aku akan tertembak dengan rentetan peluru kata-kata yang memekakkan telinga.
Hem,,,
Mamaku itu, wanita hebat. Aku memperhatikannya satu bulan terakhir ini, ketika khadimat kami pulang kampung, beliau bangun ketika aku, bapak, (apalagi) pinto belum bangun. Jam setengah empat beliau sholat malam, merebus air untuk bikin teh, sholat subuh, masak untuk sarapan, lalu mandi, kemudian dandan, dan jam 6.30 teeeet,,, pergi ke kantor. Setiap pukul 5 kurang 15 telpon rumah berbunyi, mama minta jemput... hahahay, belum lagi di rumah melayani pasien periksa, yang kadang-kadang dateng gak kira-kira waktunya, coba bayangkan, pernah pasien datang pukul 11, 12 malah ada yang pukul 2 pagi. Sampai satu kali pernah tak seneni,,,bu,,,pak,,,, mama saya juga butuh tidur kali.
Hem,,,
Mamaku itu sebenarnya teramat sangat sayang pada aku dan adikku. Aku tahu, tangisannya melihat sinetron (aneh) putri yang tertukar itu adalah refleksi dari perasaannya terhadap kami, anak-anaknya yang nakal ini. Sampai-sampai sekarang ini, aku yang biasa naik motor ngalor-ngidul, nyaris selalu mendengar, “mending perginya dianter adikmu aja” atau “sudah gak usah nganter sampe kantor, saya ngerriiiiii kalo macet begini, takut kamu ada apa-apa.” Haduh mendung saya menuliskannya.
Hem,,,
Awal aku pulang, stres ku melanda dengan semua aturan mama di rumah, pergi harus jelas akan kemana, piring harus segera di cuci, jemuran yang harus diambil, teriakan harus mandi 2 kali sehari (kejadian ini menimpa adikku, bukan aku..), lipet selimut, daaan lain-lain aturan ala mama...tapi, lama aku sadar, ya memang hidup emang harus begitukan, karena berposisi sebagai anak, ya memang harus mau menerima otoritas dalam keluarga.
Kalau mau tidur, karena mama pasti lebih dulu tidur ketimbang aku, aku sering banget mandangin wajahnya. Kerut-kerutnya (ternyata mama ku sudah tua, ahahhaa), aku juga sering memperhatikan tarikan nafasnya, hanya takut terjadi apa-apa.
Aku yang pernah sangat tidak menerimanya, dengan sangat kurang ajar aku tuliskan kekesalanku itu di sebuah buku, dan dengan teledor aku taruh di lemari buku yang mudah dijangkau, kata adikku mama pernah sekali membacanya, aku malu... tapi aku bingung akan di taruh dimana wajah ku bila tak disini (#menujuk wajah)...
Mama, maafin kakak yah.
Aku mulai mendung mengetik tulisan ini. Aku tahu dan sadar, mamaku memang berbeda dengan mama yang dimiliki kawan-kawanku. Mama seingatku hanya satu kali mengantarku sekolah dasar, mama juga sangat sulit punya waktu untuk mengambil raport ku dulu karena kesibukannya. Karena kesibukannya pula, pada acara kemah pertamaku, aku harus menelpon mamanya temanku untuk menanyakan “tante, apa yang harus di bawa saat kemah?”
Mamaku yang selalu risih saat aku menempel-nempel dan gelendotan. Dengan marahnya ia mengkhwatirkan kesehatanku. Mamaku yang memutuskan cuti satu minggu untuk menemaniku memulai hidup di semarang. Mama yang memintaku pulang dengan tangisannya. Mama...yang sering membuatku sedih, bila ingat aku ini sering berbuat durhaka padanya...
Hem,,,
Mama. Maafin kakak, sekali lagi maafin kakak.
Sekarang, kalau mama mulai teriak-teriak mengingatkan seluruah aturan rumah, aku akan bernyanyi dengan kata-kata yang diteriakkannya, aku tidak mau hatinya tegang karena kenakalan kami, anaknya. Ya walaupun aku tahun suaraku jelek, malah disitu titik humornya, seperti tadi sore saat adikku di suruh mandi, maka aku bernyanyi: “mandi, mandi, biar mama gak marah lagi,,, ahahaha”
--------------------------------------



SELAMAT HARI IBU...... :)

Feb 9, 2011

Otak Perempuan dan Polisi

Suatu kali dalam seperempat hari perjalanan bertemu dengan banyak oknum polantas. Polisi, sebuah lembaga atau profesi yang mungkin telah saya masukkan dalam black list. Kalau saja tidak sangat perlu, saya lebih memilih untuk tidak berurusan dengan profesi yang satu ini.



Saya ingat betul sebuah kejadian saat KKN (kuliah Kerja Nyata) yang bertepatan dengan bulan Ramadhan. Jalan ke desa lokasi KKN saya adalah jalan kecil yang biasanya dipakai untuk menyingkat rute semarang-purwodadi agar tidak perlu memutar lewat kota. Jalan yang penerangan di kala malamnya saja tidak ada, jalan yang di samping kanan-kirinya hanyalah hutan karet dan jurang, jalan yang tidak lebih dari 4 meter lebarnya. Namun, memang jalan ini adalah rute alternatif pilihan para supir truk untuk memangkas ongkos transportasi barang. Dan disanalah dua polisi itu memilih tempat berjaga dan melancarkan aksinya.



Ya Allah... saya, teman saya, dan motor saya insyaAllah lengkapkapkap, spion ada, helm ada, intinya tidak ada yang menjadi alasan untuk diberhentikannya kami, tapi kami diminta berhenti. Sebagai warga negara yang baik tentu saja kami berhenti (muter-muter). Saya prediksi ketertarikan itu terdapat pada jaket KKN kami, dan benar saja itulah alasan mereka, saya tangkap bapak-bapak itu mengatakan bahwa yang memakai jaket KKN seringkali pinjam meminjam motor tanpa memerhatikan surat-surat. Di bawah ini adalah dialog kami:

Saya (S); teman saya (TS); polisi 1 (P1); polisi 2 (P2)



P1: minggir dulu dek...STNK dan SIM?

S : ada pak, saya yang punya motor ini, ini STNK dan SIM (kebetulan karena saya sedang sakit, saya dibonceng dan teman saya yang membonceng tidak memiliki SIM)

P2: Lho? Ko gak kamu aja yang nyetir?

S : saya lagi sakit pak, bapak gak lihat saya pucet? (sambil megangin perut)

TS: (speechless)

P1: ya udah, tapi sekarang kamu yang bawa (sambil menunjuk saya).

S : iya pak (sambil turun dan berpikir, tega banget ni polisi kalo gue pingsan dijalan gimana?)

TS: (masih speechless)

Tiba-tiba karena sibuk dengan saya, teman saya, dan motor saya sebuah truk besar yang diberhentikan bersamaan dengan saya mencoba kabur.

P1: WOIII!

P2: dek pinjem motornya,,,



Dan dengan bodoh saya serahkan motor itu

P1: adek tunggu aja dulu disana atau mau masuk ke mobil kalo panas...

S : di sana aja pak, udah biasa kena panas.



30 menit berselang

S : (sudah mulai BT, bad mood, perut saya sudah makin sakit, kepala saya makin tidak karu-karuan) mana temennya pak? Polisi beneran bukan sih, ko lama banget. Baik-baik aja gak nih motor saya?! (kegalakan saya mulai muncul)

P1: tunggu aja dek, lagi ngejar orang, tadi lihat kan?

S : lihat, tapi ini udah lama banget.



Dan datanglah polisi 2 itu dengan motor saya, ngebut dan memutarkan motor saya juga dengan ngebut. Saya termasuk seorang observer yang cukup baik, sedikit saja keganjilan terjadi pada barang-barang yang saya punya insyaAllah saya tahu, tinggal keputusan saya saja , apakah saya akan mempersoalkan atau tidak, dan MOTOR saya berubah bentuknya, lecet parah.



S : pak saya gak punya motor lecet kayak gini!!! Pasti jatoh kan tadi?! (sambil menahan tangis dan mencoba membersihkan lecet di body motor saya, kotor, dan sangat jelas masih baru)



P*lisi 2 yang meminjam, kekeuh tidak mau mengaku, hingga tiga kali saya tanya, tidak mau mengaku juga, akhirnya saya rebut motor saya dan mengatakan:

S: cukup ya pak, saya gak pernah punya motor lecet parah kayak gini, anda p*lisi yang katanya melindungi masyarakat, malah merusak milik masyarakat, saya cukup tau aja. Kerja anda gak bener. (nyerocos)

Setelah itu saya tancap gas.



Temen saya: keren lo Ram,,, (sepanjang jalan dia bermaksud menenangkan saya dan saya hanya bisa diam)



Ya kerenlah, saya mengumpulkan keberanian untuk memarahi polisi-polisi itu selama setengah jam, tapi sekeren-kerennya saya, sampai di pos KKN, sambil memandang dan mengelus-ngelus motor saya yang lecet itu, saya menangis sejadi-jadinya (entah karena takut dengan polisi tadi atau karena motor kesayangan saya lecet parah). Dan lunturlah kekerenan saya siang itu.



Satu lagi ingatan saya mengenai polisi:

Pelanggaran lampu lalu lintas. Saya bertanya dulu, lampu kuning itu berarti hati-hati dan lampu merah berarti berhenti? Dan kami diminta berhenti dengan alasan melanggar lampu lalu lintas warna kuning. Mari tertawa. Kami di bawa ke pos mereka, di introgasi dan diceritakan macam-macam terkait akibat menerobos lampu kuning. Saya memutuskan untuk menjadi observer saja, sambil melihat apa yang akan dilakukan polisi aneh ini. Lama berselang, kami diminta masuk ke ruangan di sebelah pos polisi tersebut, yang ditawarkan pada kami adalah jalan damai (bukan nama tempat), 120 tambah 5 ribu, artinya polisi ini menawarkan kami jasa ilegal dengan membayar Rp125.000,00. Beuuh, mari memulai usaha ngeyel. Kami ngotot agar SIM saja yang diambil. Dalam pikiran saya, “bisa banget ni p*lisi, mentang-mentang plat-nya Z bukan H.”

Akhirnya pak polisi menyerah. Rasanya ingin sekali tertawa menang dan bernyanyi “We are the champion my friend....”

------------------------------------------------------------------------

Sampai hari ini saya belum bisa percaya pada polisi. Seringkali masih mencari-cari maaf saya, untuk satu profesi ini. Perilakunya tidak mencerminkan jargon profesi yang diusungnya, dari mulai yang suka menjebak dengan menaruh ganja agar bisa ditangkap dan dipenjara, jadi nantinya bapak polisi mendapat kenaikan pangkat (bagus), kemudian polisi yang mengurus kasus gayus atau teroris, sebuah pertanyaan mengapa urusan terorisme cepat sekali penanganannya dibanding kasus gayus? Jawaban logisnya adalah karena yang tertuduh teroris tidak doyan sogok-menyogok ke pak p*lisi , apalagi polantas, cukuplah, dilihat darimana pun saya lebih memilih untuk tidak melihat.

-------------------------------------------------------------------------

Melihat polisi bergerombol dijalan selalu saja membuat hipokampus dalam otak saya bekerja lebih. Terbuka kembali ingatan-ingatan lama mengenai kejadian yang tidak menyenangkan terkait dengan polisi, keluar bersama dengan emosi yang saya rasakan saat itu, sangat jelas dan saya pun dapat bercerita detail, bisa jadi karena kejadian tersebut adalah kondisi yang menyakitkan bagi mental saya.



Inilah otak perempuan, tercipta untuk hal-hal detail yang banyak menguras emosi. Setiap kejadian yang menyakitkan akan sangat mudah teringat dan dapat di recall beserta emosi yang menyertainya. Jadi , jangan heran ketika ibu memarahi kita, kesalahan-kesalahan yang pernah kita lakukan sebelumnya akan juga dibahas sampai telinga kita terasa panas.



Sebagian dari penyebab ingatan perempuan lebih baik untuk detail-detail yang berhubungan dengan emosi adalah bahwa amigdala (pusat otak untuk rasa takut, kemarahan dan agresi) seorang perempuan lebih mudah di aktifkan oleh nuansa emosi. Sebagian yang lain disebabkan oleh kapasistas hipokampus (bagian otak yang berkaitan dengan memori) yang relatif lebih besar sehingga ingatan perempuan lebih baik untuk setiap detail pengalaman emosi, baik yang menyebalkan maupun menyenangkan, misalnya kapan terjadinya, siapa yang ada disana, seperti apa cuacanya, atau bagaimana bau tempat tersebut, secara terperinci disimpan dalam satu jepretan indra yang terperinci bahkan tiga dimensi.

-----------------------------------

Ingat dengan pernyataan teman saya? Yang menyebut tindakan saya memarahi polisi adalah sesuatu yang keren? Jujur saja saya tidak berani pada awalnya, makanya di awal saya memilih untuk menyerahkan motor saya ketimbang harus adu argumen dengan polisi. Namun pada akhirnya saya tidak mampu membendung agresi saya pada polisi yang membuat lecet motor saya. Tumpukan rasa tidak jelas, fisik yang tidak nyaman karena sedang sakit dan tersengat matahari, belum lagi perasaan terancam kehilangan barang berharga seperti motor membuat saya meluapkan agresi walaupun hanya secara verbal. Mungkin bagi laki-laki, perilaku tersebut merupakan hal biasa saja, terbukti ketika saya bercerita mengenai masalah ini kepada adik saya, responnya hanya berupa: Kenapa gak lo laporin ke pak Lurahnya, biar tuh polisi di tindak, kenapa lo gak gini gak gitu, dan bla-bla-bla, banyak hal teknis dan sangat fisik yang saya pikir itu merupakan tindakan yang terlalu jauh.



Secara fisik, otak perempuan memang di desain untuk sangat menghindari konflik, karena takut akan membuat orang lain marah dan menghilangkan hubungan, makanya teman saya begitu terpesona ketika saya berani memarahi orang, terlebih dengan profesi polisi. Hehe. Namun, ketika kesabaran seorang perempuan sudah habis, biasanya ia akan melawan objek kekesalannya dengan meledakkan agresifitas verbal bukan fisik seperti halnya laki-laki. Sirkuit verbal pada otak perempuan lebih cepat bekerja sehingga membuat perempuan mampu melepaskan rentetan kata-kata amarah yang tidak mungkin di tandingi laki-laki (dalam kondisi normal saja perbandingan kata-kata perempuan dan laki-laki dalam sehari adalah 20.000:7000, bagaimana bila sedang marah, pastinya lebih mantap). Maka dari itu juga pak polisi 2 jadi diam dan tidak bisa menjawab selain kata “tidak” saat saya berkali-kali protes dan bertanya “kenapa motor saya bisa lecet parah???”

----------------------------

Jangan heran ketika menemukan perempuan banyak bicara, karena otaknya memang telah dirancang untuk seperti itu. Hehe.

Dan ternyata otak saya perempuan sekali. Begitu hebatnya Allah menciptakan makhluknya, bahkan mempersiapkannya untuk membela diri.



Dapus:

Brizendine, Louann. 2010. Female Brain. Jakarta: Ufuk Press.

Papa

Aku sayang Papa



14 April adalah tanggal lahir papaku. Usia yang diamanahkan kepadanya saat ini sudah menginjak angka 58 tahun.

Papaku memang nyaris menginjak usia 60 tahun. Dahulu ketika menikah usianya sekitar 30 tahun, tapi baru 7 tahun setelahnya papaku diamanahi seorang anak yaitu aku dan adikku dua tahun kemudian.

Karakter papaku tak banyak bicara, lebih suka diam, cuek, sering berpikir dan merenung, serta asyik dengan dunia tanaman hiasnya atau koran, papaku senang membaca. Sedikit bertolak belakang denganku yang lebih ekspresif dan banyak bicara. Mungkin dalam sikap diam papa mirip adikku, Pinto. Dua pria di rumahku itu memang orang-orang yang tak banyak bicara—cool kalau bahasa kerennya, jadi dulu aku memang agak heran ketika melihat pria yang terlalu banyak bicara (hehehe piss dulu). Mungkin karena tidak banyak bicara itulah, beliau sering memendam masalah hanya untuk dirinya sendiri dan berujung pada penyakit kolesterol dan jantung yang membuatnya nyaris bertemu dengan ujung kehidupan.



Kajadian itu masih terekam jelas dalam ingatanku, bulan juli 2006. Telepon rumah berdering. Karena aku sudah lulus SMA dan tinggal menunggu pengumuman ujian SPMB, maka telepon itu aku yang mengangkat. Suara di seberang sana memperkenalkan diri sebagai suster di rumah sakit M*tra Keluarga jat*negara Jakarta Timur dan memintaku untuk tetap tenang, kemudian melanjutkan: “dek, papanya sedang di rumah sakit, baik-baik saja. Sekarang kalau bisa ada yang bisa datang ke rumah sakit.” Mitra keluarga? Itukan rumah sakit yang ada antara kantor papaku di Sudirman dengan rumahku di Bekasi, jaraknya sekitar 50 km dari rumah, kalau pakai bis dan gak macet memerlukan waktu 1jam untuk sampai di sana. Pikirku, papa kenapa ya?

Baiklah aku pergi ke sana sendiri. Ok ok, kata suster tak ada yang perlu dikhawatirkan jadi ya aku berusaha santai. Sebelumnya aku juga sudah telpon mama, agar beliau juga menyusul setelah jam kantornya selesai. Kedua orang tuaku bekerja di luar rumah.

Sampai di sana papa sudah ada dikamar rawat inap, bukan lagi di IGD. Aku yang bisa dikatakan belum benar-benar dewasa saat itu, mendapat penjelasan bahwa papaku sempat terkena serang jantung saat menyetir. Oh…papaku sakit jantung, aku hanya berpikir itu.

Singkat cerita setelah berkonsultasi dengan dokter, kami memutuskan untuk memakai jalan pemasangan ring pada pembuluh darah jantung papa, tapi ini hanya bisa dilakukan bila kondisi pembuluh darah tidak tertutup lemak kolesterol lebih dari 60%. Okay, kita tunggu hari itu.

Hari itu tiba, dan setelah diadakan pengecekan, ternyata sumbatan lemak pada pembuluh darah dijantung papaku adalah 60%, 70%, 80% dan 90%. Dunia seakan runtuh. Dokter yang merawatnya menawarkan operasi by pass, bedah jantung.



Itu papaku dan penyakit jantungnya. Alhamdulillah operasi itu berhasil, tapi dengan konsekuensi: kawat terus menerus menempel di tulang rusuknya sebagai penyambung tulang rusuk yang digergaji untuk membedah jantungnya, juga konsumsi obat setiap hari seumur hidup sebagai pengencer darah. Belum lagi keloid yang terjadi pada bekas luka sayatan operasinya. Sungguh tak nyaman untuk dilihat, sepertinya papa juga tersiksa karena itu. Semoga semua ketidaknyamanan itu mengahapuskan seluruh kesalahannya di mata Allah.



Papaku yang pendiam, selalu mejadi tempat aku bercerita. Baik semua masalah ku, bahkan beberapa masalah temanku. Papa yang mengajarkanku menjadi pendengar dan problem solver yang baik.

Dulu waktu kecil, papaku sering meminta maaf padaku ketika aku marah padanya. Papa yang mengajarkanku berlaku ksatria dengan mengakui kesalahan dan berusaha untuk meminta maaf serta memperbaikinya.



Papa yang tak pernah memaksa aku dan adikku untuk berbuat sesuatu yang diyakininya, papa lebih suka memberikan keyakinan pada kami bahwa beliau mendukung apapun yang kami yakini kebenarannya.

Papa yang selalu membuat ku meneteskan air mata, karena teringat belum bisa memberikan apa-apa padanya, padahal usiaku telah menginjak kepala dua.

Papa yang sering menepuk-nepuk kepala ku, kami tertawa bersama ketika menonton pertunjukan lawak di TV, kami bertukar argumentasi ketika melihat debat politik, kami berdiskusi masalah ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama.

Papa yang selalu memanggilku kakak atau mbak.

Papaku yang pendiam, tapi aku yakin dalam diamnya ia belajar untuk menjadi papa yang terbaik di dunia.

Itu Papaku dan aku sangat bersyukur memilikinya.

Hari ini hari lahir papa. Aku berharap bisa memberikannya surga untuknya.

Semoga Allah merberkahi usianya, mengampuni segala dosanya, menyayanginya, melapangkan dadanya, meluaskan rasa sabarnya, memberatkan amal ibadahnya.

Ya Allah ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku, sayangilah mereka seperti mereka menyayangi aku diwaktu kecilku. Amin.

………………………………………………………………………………………………………………………………

Kalimat terakhir yang ingin aku ucapkan, walaupun (mungkin) papa ku belum tentu akan membuka notes ini:

Sebuah kado untuk papa: Nuram sayang papa.

14 April 2010.

================================================================

Aku membuka kembali note ini, sepekan lebih aku mencari mood untuk pulang ke rumah, sepekan juga aku menolak untuk mengakui bahwa tugas ku sekarang adalah pulang dan berbakti pada orang tua. Sepekan aku menolak menerima otoritas atas diriku, sepekan menjadi orang yang pura-pura bodoh dengan mimilih diam ketika diminta pulang. Sepekan yang aku lalui dengan perasaan tak bersalah, padahal kesalahan besar sedang berdiri tegak di depan mata, kesalahan karena tidak peduli pada orang tua.

Hari ini aku ingin pulang, sebuah SMS papa membuat aku sadar, aku adalah seorang anak yang sepatutnya berbakti pada orang tuanya, SMS yang berisi: Kakak sedang apa???

Nuram pulang pa, Nuram pulang ma, Nuram Pulang. Hehe… (semua akan baik-baik saja).

=================================================================



dua bulan setelah aku pulang ke rumah,,, banyak hal baru aku temukan. hubungan antara aku dan papaku.

memang tak akan ada yang pernah sempurna selain Zat yang Maha kuasa:: Allah azza wazala.. pun papaku. dengan seluruh kekurangan yang ada padanya, seharusnya aku sebagai anak mampu untuk memahaminya sebagai suatu hal manusiawi.karena kita manusia.

selama masih ada wujud, selama masih ada ruh... jadilah yang berbakti, untuknya:: papa.

sebuah doa, untuk kebahagiannya, dunia dan akhirat. amin.



_--------------------------

maju-mundur keberanianku untuk mem-posting note ini,,, sedikit share, mungkin bisa jadi sarana mengingat, bahwa kita seorang anak. jaga dirimu, sebagai kunci syurga untuk papamu.

Marah dan Memaafkan

Ada yang membuat diri saya marah beberapa hari terakhir ini. Muaranya satu tapi menghasilkan beberapa cabang. Di saat awal menemui sumber kemarahan tersebut, saya hanya memilih untuk meminta maaf dan membuat pernyataan mungkin memang saya yang tak beres saat berkarya, hingga akhirnya membuahkan hasil sebuah kesulitan dan kebingungan bagi generasi selanjutnya. Saya pilih menghindar dan tak ingin membahasnya lebih lanjut, hanya tak ingin kemarahan itu meledak dengan kekuatan ledak yang tidak semestinya.



Saat kedua kali bertemu dengan sumber masalah yang sama, tetapi dengan cabangnya berbeda, ternyata saya tidak mampu untuk mengendalikan ledakannya, ledakan kata-kata dan pecahnya tangis mewarnai respon saya pada masalah kali itu (afwan saya kaget hingga rasanya semua terasa sesak menyesakkan). Yang ketiga dan keempat dengan masalah yang sama, saya memilih untuk menghindar, tapi saya tahu ekspresi kemarahan saya tetap saja terlihat. Saya memendamnya, bukan memaafkannya. Saya menekannya ke dalam, bukan membiarkannya lepas.



Kemarahan kali ini membuat saya berpikir dan mencari-cari apakah alasan tersembunyi itu pantas dijadikan dasar bagi saya mempertahankan kemarahan. Memandangi jendela kamar saya, melihat tumpukan buku psikologi yang selama empat tahun saya pelajari, empat tahun belajar untuk menjadi pribadi yang sehat dan baik, mengulang kembali kenangan tentang apa yang telah saya perbuat dulu, menimbang-nimbang mengapa diri ini tidak mencoba untuk memahami dan memaafkan, toh sangat mungkin memang karena keteledoran saya semua keluhan yang datang itu ada. Ya,,, meskipun rasanya agak berat, saya ambil ponsel dan segera meng-SMS korban ketidakpedulian saya pagi ini. “apa yang membingungkan?”



Sambil menunggu balasan sms itu, saya membuka buku untuk benar-benar memastikan bahwa saya harus menyelesaikan amarah ini. Dalam buku yang saya buka siang itu, saya mencari bab marah, dan yang saya mendapatkan:

Barang siapa yang bisa menahan amarahnya walaupun mempunyai kemampuan untuk melampiaskannya, maka Allah akan memanggilnya diantara orang-orang pilihanNya dan memberikan semua kenikmatan yang ada di syurga Hur’ain (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)



Marah adalah sebuah emosi yang bersifat fitroh, ia diciptakan Allah untuk membantu manusia mempertahankan diri dari lingkungan yang membuatnya merasa tidak nyaman. Apakah pernah Rasulullah marah, jawabannya adalah pernah, ingat saat peristiwa Aisyah yang terfitnah berselingkuh. Namun, ekspresi beliau tak lebih dari perilaku diam, bertanya pada para sahabat untuk bersikap lebih objektif, dan mencoba berpikir jernih hingga wahyu Allah turun menuntunnya untuk mengetahui kebenaran hingga beliau bisa menyelesaikan amarahnya, dan dalam peristiwa itupun Rasulullah sempat berprasangka, karena beliau manusia.



Marah merupakan peristiwa pelepasan hormon stres, saat ini terjadi kebutuhan oksigen meningkat, darah menjadi bertambah kental yang memacu pembekuan darah. Kemarahan juga membuat detak jantung meningkat lebih cepat melebihi batas wajar, dan menyebabkan naiknya tekanan darah pada pembuluh nadi, dan jika terjadi terus menerus akan memperbesar kemungkinan terkena serangan jantung.



Pernah satu kali saya bercerita dan bertanya pada pada teman saya mengapa seringkali kita masih saja marah pada seseorang yang sudah kita dengar permintaan maafnya. Jawabannya, cobalah kita meraba-raba hati, apakah iya permintaan maaf dan kesalahan objek marah kita sudah sudah benar diterima?



Tentu saja untuk mempertahankan ego saya saat itu, saya jawab kesalahan dulu ya sudah menjadi bagian dulu, kesalahan sekarang berbeda. Namun, yang tidak saya sadari adalah lebih mudahnya marah tersulut adalah akibat belum termaafkannya rasa sakit masa lalu. Sakit yang senantiasa ditekan dan akhirnya menumpuk, bukan diterima kemudian dilepas dengan ikhlas. Proses meminta maaf memang lebih mudah dilakukan ketimbang memaafkan, pelajaran yang saya ambil saat itu.



Dalam otak saya, sudah ter-setting: apabila saya salah, saya akan mengakui kesalahan itu, dan saya akan minta maaf. Namun ternyata, otak saya (dan beberapa otak individu lain) tidak tersetting untuk mudah menerima kesalahan individu lain dan mudah memaafkan. Karenanya bagi saya kemudian, memaafkan adalah proses yang begitu sulit dan membutuhkan waktu.



Pernah satu kali dalam obrolan panjang saya dengan sahabat saya, kami membahas tentang proses memaafkan. Ternyata ia juga seorang yang tidak mudah melakukan proses memaafkan, bedua kami bingung dan bertanya-tanya bagaimana cara memaafkan, karena benar ini tidaklah mudah, rasa sakit itu berat dan sesak. Saya dan dia mengungkapkan banyak alasan mengapa memaafkan begitu sulit dilakukan. Namun, beberapa saat kemudian saya yang membuat sahabat saya itu marah dengan celetukan saya. Saya meminta maaf, tapi tidak seperti biasanya, kali ini di tambah dengan bayangan-banyangan akan pernyataan ia mengenai kesulitannya untuk memaafkan sebuah kesalahan, begitu bingungnya saya saat itu, sampai banyak SMS yang saya kirim untuk mendapatkan sebuah maaf hingga akhirnya saya memilih diam dan membiarkan waktu meredakan marahnya. Alhamdulillah Allah melembutkan hatinya, saya lupa entah berapa lama kami tak bicara, tapi insyaAllah tak lebih dari tiga hari. Ya saya tahu, betapa maaf itu berharga, karena mendapatkannya begitu membutuhkan perjuangan.



Sikap memaafkan memang hanya dimiliki pada orang-orang luar biasa, biasanya banyak dari kita hanyalah memendam, menekan, dan menumpuk kekesalan terhadap kesalahan yang ada. Seperti yang saya ceritakan, dalam menemukan proses memaafkan pun saya memerlukan waktu untuk belajar, bagaimana cara menerima kesalahan sebagai perbuatan manusiawi, dan bisa saja kesalahan itu saya yang melakukannya esok hari. Hem...



Bahkan untuk kesalahan-kesalahan yang terjadi diantara kita dan orang tua. Baik yang kita lakukan atau pun mungkin papa dan mama kita yang melakukan. Sudah sebesar ini, bisa saya hitung berapa kali saya minta maaf kepada mereka, selebihnya malah hanya memasang muka tak bersalah dan langsung gelendotan gak jelas. Memang kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak, gak panjang. Hehe.



Menemukan beberapa lembar kertas dalam lemari buku saya, rak paling bawah, membuka apa isinya, ternyata tulisan-tulisan berisi ungkapan kekesalan saya terhadap ibu. Ah saya lupa, ternyata saya pernah sekurangajar itu. Baiklah, dengan menarik nafas panjang, saya tutup tumpukan kertas itu, suatu saat akan saya bakar, dan membiarkan abunya terbang, hilang bersama rasa kesal yang telah saya lupakan dan akan saya ikhlaskan. Karena orang tua adalah manusia, maka memaafkan mereka adalah wajib hukumnya, atas semua kasih sayang yang sudah diterima, atas semua pengorbanan yang telah ada.



sugesti bagi diri dan hati saya:

Memaafkan bagaimana pun berat prosesnya akan terasa lebih membahagiakan, melepaskan beban emosi, mengurangi penderitaan, dan membantu individu menikmati hidupnya.

“Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada, apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampuni dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” QS. AnNur: 22

Terima dan Lepaskan.

---------------------------------------------------------------------------

Sebuah pelajaran dikala marah.... heeeeffffffffhhhh....