Aug 25, 2011

Melacur (melakukan curhat)

Saya masih tetap saja kesal bila tulisan-tulisan saya masih dianggap sebagai curhat. Berarti seperti kata adik saya, ketika saya menulis saya sedang melacur (melakukan curhat) dan saya sedang berprofesi sebagai pelacur (pelaku curhat). Ah ada-ada saja istilah remaja, selalu saja membuat saya terbelalak mendengarnya.



yup, mengenai tulisan-tulisan saya yang terlihat sebagai curhat. Saya agak sulit mengubah gaya ini, kecuali untuk tulisan-tulisan serius untuk essay atau karya ilmiah saat kuliah, karena bagi saya menulis adalah kegiatan menguapkan sumber stres, mencari nikmat, dan mengekspresikan emosi dan rasa. Jadi biarlah saya gunakan diri saya sebagai objek yang kemudian dibicarakan, di tertawai, diberi empati, dan tentu saja diperhatikan, karena pun (menurut saya) didalamnya akan terdapat nilai untuk memandang kehidupan dari kaca mata lain. Pun selama ini saya banyak menterjemahkan masalah-masalah yang saya alami ke dalam bahasa-bahasa dan perhitungan-perhitungan psikologis.



So, paling tidak yang (mau) membaca bisa mengenal dunia dalam kacamata ilmu psikologi yang saya pahami.

Tapi, tidak bohong deh, saya masih harus menarik nafas dan mengatur emosi ketika, tulisan-tulisan saya dikatakan sebagai curhat, hehehe. Walau sisi hati saya yang lain bilang “peduli apa Ram???” tapi tetap saja, si seberang hati yang lain mengatakan “ya pedulilah, bisa gak sih kita cari gaya menulis yang lain?” ah, tapi akhirnya saya bulat berkata peduli apa kata orang, Toh ini adalah ajang saya membahagiakan diri, kalau mau menikmati tulisan saya ya baca saja, tapi kalo mau mengkritik atau komen-komen pedas dengan bilang itu adalah curhatan berkualitas recehan yang berisik ya,,,, terserah deh, asal yang membaca masih menemukan hal baik, saya masih bersyukur. Karena kritik pun akan membuat saya (sadar ataupun tanpa sadar) belajar memperbaiki.



-----------------------------------------------------------------------------------



saya senang membaca, koran juga termasuk yang saya baca (yaiyalah). Nah bila sedang membaca kompas edisi hari minggu (kenapa kompas? Karena bapak saya langganan koran kompas, hehe) di bagian Tren, akan ada satu pojok tulisan, parodi. Gaya menulisnya, mirip dengan gaya tulisan saya yang melacur itu. Tiap minggu yang menulis tetap sama, seorang designer/perancang busana. Tema tulisannya apa saja, tapi memang lebih pada masalah kehidupannya sehari-hari. Membaca tulisan itu membuat saya belajar memandang hidup dengan cara yang lain dan tentu saja tak merasa sedang digurui atau di cekoki masalah materi-materi tentang cara hidup yang benar. Mengalir dan bebas mempersepsi, membuat saya berpikir di luar kotak, menterjemahkan tulisannya untuk di aplikasikan dalam keseharian saya, simpel dan tidak mengangan-angan.



Pojok parodi itu memang hanya sempilan tulisan ditengah banyak berita tentang negeri ini. Bosan rasanya melihat berita negeri ini yang nyaris selalu negatif, misal tentang si Bendum partai besar yang sekarang jadi super bisu setelah awalnya berkicau layaknya burung melihat fajar. Atau tentang para pemudik yang harus tersiksa karena rebutan tiket dan tempat duduk, padahal tiap tahun mudik itu ada, tetap saja pemerintah tak bisa meng-handle agar tak terjadi penyiksaan terhadap masyarakat. Belum lagi masalah pembagian infaq-shadaqoh bahkan (katanya) zakat yang benar-benar miris, terinjak-injak, berdarah-darah, menangis, terjepit, dan yang paling menyedihkan adalah fakir miskin benar-benar makin terlihat hina. Memang dalam dunia komunikasi ada istilah “bad news is a good news”, tapi apakah ia saya akan terus tercekoki dengan berita-berita negatif ala media yang kesannya mencuci otak saya, yang membuat saya seringkali membangun prasangka, ini dilakukan agar masyarakat acuh dan pesimis bahwa bangsa ini bisa menjadi lebih baik...





Di lain hari, dalam sebuah kajian yang saya datangi dengan telat, hehe. Pak ustadz-nya sedang bicara tentang berita-berita baik yang tenggelam. Tentang pak Dirman misalnya, jendal Besar anumerta bintang 5 ini benar-benar membuat saya kagum. Ia wafat di usia muda 34 tahun, tapi insyaAllah akan terus hidup selama bangsa ini hidup. Terus berada di gunung untuk merancang strategi perang dan dengan kekuatan ruhiyah yang ia jaga dengan konsisten sholat subuh di masjid, ia mampu menjalanan tugasnya dalam keadaan juga bertarung dengan penyakit tubercolosisnya yang parah. Atau tentang bu tri mumpuni, ada yang kenal? Saya angkat jempol saya bila ada yang kenal, ia adalah seorang yang berhasil menggerakkan masyarakat untuk keluar dari kegelapan desa terpencil di sudut gunung. Semangatnya yang menggerakkan dan kemampuannya merancang Pembangkit Listrik Tenaga Microhidro membuatnya malah lebih terkenal di Asia bagian Selatan, ketimbang negaranya sendiri, yang lebih suka menenggelamkan berita-berita baik.

saya kagum, saya senang, berkutat dengan inspirasi-inspirasi baru walaupun bagi orang itu berita lama.



----------------------------------------------------------------

Tidakkah menemukan berita baik itu membahagiakan? Membagikan berita baik juga menyenangkan, bahkan bercerita bahwa telah menemukan kebahagiaan setelah terpenjara dalam rasa tak nyaman (bagi saya) itu juga membahagiakan, intinya berbagi cerita itu menyenangkan (wanita sekali pendapat ini). Bila saja eksprsi saya itu tak berbatas pada orang-orang yang menyamankan bagi saya, tentu saya akan memilih berbicara. Namun, nampaknya Allah tak memberi saya kelebihan untuk banyak mengungkap ekspresi pada banyak orang. Ekspresi saya yang seringkali datar dan terkesan cool pada orang yang baru atau berbatas emosi dengan emosi saya, membuat cerita-cerita saya menjadi sangat biasa saja. Kalaupun saya paksakan, bisa sih tapi agaknya gregetnya akan kurang tersampaikan, jadi tetap saja tulisan menjadi pilhan saya mengutarakan ekspresi dengan bebas, baik itu sedih ataupun senang. dan saya membiarkan persepsi orang yang membaca mengalir.



Jadi sepertinya tulisan receh saya ini, tetap akan saya pertahankan. Saya sih berharap semoga ada nilai lain yang bisa diambil, dan semoga itu nilai positif. Dan dalam pengakuan saya, pekerjaan rumah kemudian adalah, belajar tersenyum ketika tulisan saya yang recehan ini dikritik sebagai curhatan atau kritik lainnya seperti mengenai cara saya menyelesaikan masalah atau mengungkapkan rasa.

Aug 1, 2011

misteri dan perubahan, perjalanan dan keikhlasan

Aku benar-benar tidak tahu. Mungkin karena memang kemampuan memahamiku yang terbatas. Aku tak paham mengapa aku di berikan ini dan itu, dipindahkan dari sini ke situ, aku dan segala pertanyaanku pada Tuhan, kenapa aku begini atau begitu.



Setahun yang lalu, ketika aku asik menikmati menjadi penyedia ta’jil di masjid kampus, mengebut dengan kecepatan nyaris 100km/jam untuk membeli berkilo-kilo kurma, karena mepet waktu buka puasa. Aku senang mengingat-ingat itu, warna kuning langit sore yang kemudian menjadi remang, lalu hitam malam. Dalam laci memory yang ku buka, mereka –teman-teman ku, bebas berlalu lalang, mengambil piring-piring kecil berisi 3 butir kurma, dan sebuah gorengan atau snack kecil lainnya, lalu kotak-kotak berisi nasi itu, bertumpuk-tumpuk, heboh kami karena koordinasi yang tak becus, tapi semua terbayar, terbayar rasa ikhlas, atau mungkin hanya bisa di sebut sebagai kesenangan berkumpul yang menyamankan.



Kini aku di sini, rumah ku yang dulu dengan tangisan aku tinggalkan. Namun, masih saja aku bertanya, mengapa Allah ku itu mengembalikanku pada titik ini, setelah Ia jauh mengirimku ke tengah pulau Jawa diarah timur sana...

Atau tentang mutasiku, baru saja 6 bulan aku dipertemukan dengan mereka, tapi dengan mudahnya Allah memprosesnya hingga aku harus dipindah, lagi-lagi dengan yang lebih-lebih tak terbayangkan.



Hamparan sajadah sholat maghribku sore ini membantuku duduk dan berpikir, skenario Allah itu memiliki sisi yang menarik, apalagi kalau bukan sisi misterinya, yang membuatku menebak-nebak apa yang akan Ia berikan, sesuai keninginanku atau tidak, atau paliang tidak, miripkah dengan analisisku mengenai rancangan kehidupan(ku).



Aku pikirkan mengapa Allah memberiku posisi ini. Ditarik dari zona nyamanku di tengah teman yang menyayangiku dan kadang sedikit menyebalkan bagiku, tapi tetap saja menarik, kemudian harus datang dan beradaptasi dengan semua orang yang bagiku baru disini, bahkan dengan keluargaku. Meninggalkan mereka yang mungkin selama 4 tahun, atau baru 3 tahun, atau malah 2 tahun, atau hanya setahun, atau malah baru 10 bulan menemaniku dan menyamankan perasaanku, tapi yang aku tahu aku hanya bisa menjalani ini, sambil terus menerus berucap dalam hati::: kemampuanku lah yang belum sampai untuk memahami mengapa semua ini yang datang (usaha menenangkan diri).



Kalau aku sedang kumat, -tentu saja aku tak lagi bisa menjangkau fisik mereka kecuali satu bulan lalu ketika aku nekat pergi ke sana, entah untuk apa, cari-cari alasan untuk mengambil barang yang ketinggalan, tapi alasan tetap saja berkualitas alasan, tapi (lagi) nyatanya Allah masih membelaku habis-habisan di mata ibu, masih untung barangku memang ada yang tertinggal, dan itu baik untuk jadi bukti konkrit sebuah alasan yang tetap saja berkualitas alasan.

,

Kembali bila aku sedang kumat, seringkali aku meng-SMS mereka dengan isi SMS yang juga mengada-ada, entah itu tentang timpukan batu yang dikembalikan dengan lemparan bunga bersama potnya, atau tentang seseorang secret admirer: anak kedokteran UGM bernama Billa, tentu saja nama panjangnya adalah waBILLAhitaufik walhidayah wassalamualaikum wrwb, atau SMS-SMS: sedang apa? Nonton bola gak? Lagi apa? Aku meridukan kalian, atau bahkan hanya sekedar mengetik namanya. Itu semua hanya representasi dari klausa dalam otak: aku yang rindu. Atau banyak kiriman wall di FB, tentu saja yang lebih-lebih tak jelas, hehe. Baiklah yang jelas, maaf bila itu kesannya mengganggu, sayangnya aku yang sekarang memang lebih tak bisa bersikap asertif terhadap apa yang aku rasakan, lebih banyak merepress dan berujung menjadi SMS-SMS atau kiriman-kiriman wall FB yang tak jelasnya minta ampun.

---------------------------------------------------



Bila aku pikir-pikir, sepertinya setiap kali mendapatkan kedatangan maka aku harus segera mempersiapkan diri untuk menemui kepergian, jika tidak maka siap-siap sajalah bertemu rasa sesak karena harus bertemu kehilangan mendadak.



Kali ini aku merindukan seorang sahabat lama dan semua kenangan Ramadhan bersamanya, aku pikir dia masih akan tersenyum sambil membagikan ta’jil-ta’jil ala mahasiswa di hari pertama Ramadhan tahun ini, tapi nyatanya tidak demikian. Ternyata nasibnya tak jauh beda denganku yang hanya bisa memandang dari jauh, karena ini bukanlah jaman kami. Bisa ku bayangkan perasaannya, mungkin lebih berat menjadi dirinya ketimbang menjadi diriku.



Dalam dinamika psikologis yang ku rumuskan, emosi yang kusebut rindu itu berkembang menjadi arousal yang terus mendesak untuk bisa bergerak keluar, agar ia bisa berhomeostasis terhadap kestabilan emosi, namun ternyata arousal itu hanya bisa ditekan ke dalam agar tak keluar, karena dunia luar benar-benar telah berubah, maka keluarlah ia menjadi letupan-letupan berupa emosi negatif yang aku sebut sebagai kesepian dan mungkin juga kesedihan. Baiklah, itu sebagian emosi yang menerpa si subjek yang mengalami post power syndrome atas organisasi kampus, atau yang malah terkirim jauh ke kota lain.

----------------------------------------------------------

Menyelami skenario Allah, tentu saja akan terus menemukan misteri. Jika tak lagi menemukan misterinya, maka sebut saja itu sebagai masa lalu, yang secara apatis, pragmatis, praktis, dan juga berunsur pesimistis pernah aku simpulkan gunanya hanya untuk diambil ibroh atau dilupakan. Padahal bila dipahami lebih jauh lagi, masa lalu bisa jadi adalah pondasi mendasar, adukan beton yang akan menguatkan topangan diri untuk kemandirian, kedewasaan, dan kestabilan jiwa saat ini.



Jadi, kesimpulan dalam pemikiranku maghrib tadi adalah posisi saat ini bisa jadi adalah ketentuan Allah untuk melihat seberapa berhasil proses pembelajaran di masa lalu, atau malah sedang diberi lagi proses pembelajaran untuk sesuatu yang lebih besar di masa datang. Kesepian, kesedihan, ketidaknyamanan, keheranan, dan semua perasaan tak mengenakkan yang di jalani saat ini adalah rangkaian skenarioNya untuk topangan lain di masa yang akan datang. Karena roda teruslah berputar, membuat kita suatu saat berada di atas, dan lain waktu dikirim ke bawah.

------------------------------------------------------------

tapi, bukankah memang kita tidak baik selamanya terus berada dalam titik yang sama? karena itulah yang disebut sebagai stagnansi atau ketiadaan perkembangan, maka ketika waktu dan jaman itu terus bergerak, tentu saja diri kita pun harus ikut bergerak, bila tak ingin mengalami jalan ditempat yang melelahkan.



Baiklah, mencari sedikit sisi positif dari semua perubahan yang aku rasakan ini, aku bisa membersamai ibuku, memasangkan kancing bajunya, melihat beliau tertawa dan mengalami kenaikan berat badan semenjak aku ada di rumah, sholat berjamaah dengannya, mendengar ceritanya walaupun kadang juga menemukan tingkah lakunya yang bagiku sangat lucu untuk seorang ibu-ibu. Kalaupun aku disana, menyulam senyum bersama mereka, lalu bagaimanakah nasib ibuku? Yang mungkin menyeka air mata menungguku mencairkan batuan beku keegosentrisan.

----------------------------------------

Setiap kedatangan, logikanya akan diikuti dengan kepergian. Kenyamanan, logikanya akan dibayangi dengan ketidaknyamanan, itulah perubahan dalam rangkaian skenario kehidupan, yang sejatinya diperuntukkan agar seorang menjadi dewasa dan bijak dalam memandang hidup. Menyiapkan segala bentuk ketidaknyamanan, untuk bisa berdiri kokoh ditengah hempasan misteri skenario Allah. Karena bila saja kehidupan itu tak dipenuhi dengan misteri, pastilah kita hanya akan duduk berongkang-ongkang kaki, tak berikhtiar apalagi berdoa, terlebih memanjatkan syukur padaNya.



Fabiayyi alaairobbikuma tukadzibaan

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan (QS. Ar Rahman).