Apr 13, 2011

seorang sahabat dalam bingkai perpisahan

“Mbak bisa nginep dimisykah gak malam ini?”

Karena aku tidak bisa maka dia yang akhirnya memutuskan untuk menginap di kontrakanku, malam sebelum aku kembali ke rumah. Malam penuh perasaan yang tak bisa aku terjemahkan dengan baik,pun sampai saat ini bila aku mengingatnya. Hanyalah rasa sesak yang bisa aku sebutkan dalam deskripsi malam terakhir itu...

Aku tidur jam satu atau setengah dua pagi malam itu, bukan lagi dikamar yang biasa aku tempati, tapi di depan televisi, di ruang tengah kontrakan yang selama 3 bulan terakhir menjadi tempat ku berlindung dari gelapnya malam. Disebelahku ada dia, adik aneh dari planet lain (sebutan hiperbolisku untuknya), yang menahan tangisnya, yang berpura-pura kuat, walaupun di wajahnya tergambar jelas perjuangannya menerima keputusanku untuk pulang.
Asal tahu saja, aku juga sebenarnya ingin sekali menangis, tapi sekuat jiwa dan raga aku tahan air mata itu agar tak menganak sungai, agar tak menambah rasa berat dan sesak yang membuatku ingin menghentikan waktu. Sampai akhirnya tak bisa lagi ku bendung saat dia mengajakku ke masjid kampus untuk melihat matahari terbit untuk terakhir kali di tembalang, di desa setengah kota yang saat itu akan aku tinggalkan.

Aku bingung malam itu, aku menolak ajakan diriku untuk mendiamkannya, aku tolak dorongan hatiku untuk memeluk dan menenangkannya, bila di tanya mengapa? Aku hanya bisa menjawab jujur karena sebenarnya diriku pun tak tenang, bagaimana mungkin seorang yang tidak tenang mampu untuk menenangkan, aku takut tangisan pecah dan menggagalkan kebulatan tekadku untuk membenahi apa yang perlu ku benahi di rumah...

Seperti biasanya aku hanya bisa sedikit memaksakan tawa, tidak mau banyak bicara, dan mencari obrolan lain agar bisa sedikit menahan rasa pedih, pedih karena aku tahu aku sedang menyiksa seorang yang berjuang terlepas dari kedekatan fisik dan psikis dengan ku.
Dan matahari hari itu pun meninggi, aku siapkan tas yang akan menemaniku pulang ke rumah, aku siapkan diri untuk melepas desa setengah kota itu, melepas ikhlas seluruh kenangan tentang semua orang-orang yang membuatku belajar menjadi manusia yang bisa dibilang lebih dewasa. Satu jam sebelum taksi yang akan mengantarku ke statsiun datang, aku mengiyakan ajakan dia untuk pergi ke Maskam, kami duduk memandangi arah timur tempat dimana matahari muncul malu-malu tapi pasti keluar untuk menggenapkan hari. Aku tahu pipinya basah, aku semakin tak tega, aku tahu dia sesak, aku tahu, aku tahu, akhirnya lelehan air mata itupun jatuh mengalahkan benteng yang ku bangun untuk terlihat tetap tenang, “sebentar, aku mau ke kamar mandi” kataku padanya. Aku berlari ke tempat wudhu mengusap air mata, membasuh muka, tak pedulilah dia mengetahui atau tidak, aku hanya tak ingin membuatnya semakin gusar.

Kedekatan kami sebenarnya tak terhitung lama, mungkin hanya satu tahun, entah mengapa tumben rasanya aku bisa menerima seseorang secepat itu, yang aku tahu, aku dan dia adalah dua diantara segelintir orang yang terkadang punya banyak pikiran dan pertanyaan aneh mengenai alasan dasar mengapa kita harus bertindak seperti ini atau seperti itu. Filsafat, itulah persimpangan yang mempertemukan pikiran kami.

Dia, cenceremen aneh yang meng-sms-ku malam-malam hanya untuk mengatakan “mbak aku pengen pacaran” bodoh saja bocah ini, tapi asik saja menanggapinya, anggap celotehan bocah kecil yang iri dengan mainan baru temannya. Bocah yang belajar memberanikan diri turun gunung (haha kayak pendekar aja) dari tembalang ke pleburan dengan motornya untuk menjagai aku yang terbaring sakit di rumah sakit, bocah yang membawakan alas tidur untuk bapakku, bocah yang aku temukan sebuah kirimannya di wall FB adik kandungku; yang menuliskan “pin, kakaknya buat aku aja ya” (terbang juga rasanya membaca itu), atau yang dengan aneh bertanya kepada seorang dihari wisudaku “mas ***, mbak Nuram mana?” duh gubrak, ngapain juga tanya-tanya ke orang yang jauh, dan dengan pengakuannya itu membuat mukaku memerah padam. Bocah dengan banyak potret hingga aku bingung memilih satu potret di dirinya yang paling ku suka untuk aku deskripsikan.

Bocah yang sebenarnya seringkali tebakan dan analisisnya tepat mengenai apa yang sedang aku rasakan, tapi agar terlihat dewasa ku cari jalan untuk menghindar dari pengakuan. Yah banyak sudah rahasiaku yang dipegang olehnya, mati saja bila itu bocor ke publik.

Nyaman menyebutkan bocah karena dia memang bocah. Ahahhaha...

Sebenarnya sempat terpikir juga untuk menjodohkannya dengan adik kandungku kelak, tapi setelah ku pikir-pikir, nampaknya ia lebih pantas mendapatkan yang lebih baik, yang bisa membawanya ke Jerman dan mendukungnya menjadi peneliti seperti impiannya selama ini. Salutlah untukmu...

---------------------------------------------------------------------------------------------------

Sekarang, aku yang tersibukkan dengan pekerjaanku, dan dia yang juga mulai tersibukkan dengan aktivitas kampusnya, membuat kami jarang bicara. Baru saja dia mengingatkanku akan sebuah janji menuliskan sebuah note tentangnya, “aku penuhi janji itu neng...” maaf bila ku putuskan untuk mengambil potret di hari terakhir kita bersama secara fisik, itu begitu berkesan hingga air mataku pun masih meleleh ketika mengingatnya. Selamat berjuang menapaki medan dakwah kampus, aku berharap suatu saat menerima kabar kau menjadi seorang mujahidah di dakwah akademik kampus kita tercinta, kampus yang mempertemukan keanehan kita, kampus yang membuat kita menangis dan tertawa bersama.