Oct 12, 2012

Sakit Mental (itu) Tidak Memalukan

Sepertinya tidak banyak yang sadar, 10 Oktober adalah hari kesehatan mental internasional. Bahkan saya yang sedang belajar ilmu yang dekat dengan kesehatan mental pun, walaupun tahu, ternyata lebih memilih melewatkannya, kecuali pagi ini saat sudah merasa ditegur oleh dosen.

Kesehatan mental, mungkin akan terasa memalukan saat seorang mengakui atau malah hanya menyadari bahwa mentalnya sedang sakit. Padahal, seperti halnya sakit fisik yang sering kita alami, psikis atau mental juga bisa mengalami rasa sakit, dan percayalah itu tidak memalukan, minimal itu dimata kami para sarjana psikologi. Karena seperti sakit fisik, sakit mental pun memiliki tingkatan. Misalnya. Flu akan berbeda dengan sakit jantung koroner, maka stres juga akan berbeda dengan depresi atau skizofren (atau yang biasa disebut gila). yaitu dalam hal kehilangan kesadaran, dalam keterbatasan sosial, dalam tingkat rasa tertekan, dan sebagainya. Dan percayalah itu bukan sebuah hal memalukan yang harus ditutupi dan di sangkal (deny).

Harus diakui, kondisi budaya kita memang tidak mendukung seseorang untuk mengalami rasa sakit secara mental. Misalnya ketika kita sakit flu, lingkungan atau teman-teman atau keluarga atau siapaun yang peduli pada kita akan akan segera berkata “istirahat, minum air putih, makan teratur, semoga lekas sembuh” dan sebagainya yang menujukkan atensi pada kita dan pada akhirnya kita merasa diperhatikan. Namun, saat kita merasa sedikit stres, misal diungkapkan di akun jejaring sosial milik kita pribadi, bukan milik orang, maka akan ada orang atau bisa dikatakan banyak orang yang (minimal dalam hati) mengatakan “ni orang kenapa?” atau “lo lagi galo?? Hi man, hidup tu sellloooo” atau ketika pun mereka memberikan perhatiannya, maka akan ada embel-embel “si ini yang begini aja tetep bahagia, masa’ lo gak sih?” yaaah bisa jadi dengan kalimat lain dengan esensi yang sama. Padahal stres itu wajar, seperti halnya flu yang bisa datang saat fisik kita sedang rapuh, stres juga datang saat mental kita sedang rapuh. Tidak perlu disangkal, tidak perlu merasa itu memalukan, karena semakin kita bersikap begitu maka semakin dalam dan berkepanjanganlah sakit mental yang kita alami.

Dari beberapa kasus psikologis yang pernah saya dengar di kuliah-kuliah saya, awal munculnya gejala (onset) gangguan kesehatan mental adalah komentar-komentar kecil yang ternyata berdampak besar. Misalnya seorang penderita anorexia nervosa (masalah dengan berat badan, takut gemuk, dan terus-terusan ingin memiliki berat badan minimal) dengan depresi berat, ternyata gangguannya terpantik hanya dengan sebuah komentar “kayaknya kamu makin gemuk yah..” dari ayahnya saat ia baru saja kembali dari sekolah di luar negeri. Setelah itu kehidupannya berubah menjadi tertutup, enggan bersosialisasi, dan sebagainya, yaa walaupun sangat mungkin kondisi itu juga dipengaruhi oleh kepribadian seseorang, tapi ternyata komentar kecil itulah yang membuat hidup seseorang berubah, jadi... bisalah kita mengusahakan agar tidak memunculkan komentar “kecil” yang menyakitkan.
----------------------------------------------------------

Dalam periode panjang hidup kita pun ternyata masih wajar bila ada satu episode depresi dalam hidup kita, asal kemudian dengan sadar kita akui dan tidak malu untuk kemudian mencari bantuan.

Sebenarnya karena budaya yang menganggap bahwa kesedihan itu butuh ditekan dan memalukan untuk diungkapkan inilah yang membuat profesi psikolog tidak lebih ber”jaya” ketimbang dokter. Dan biasanya orang dengan masalah psikis, bisa jadi juga akan mencari guru mengaji atau temannya yang dipercaya untuk kemudian meminta didengarkan, bukan meminta dinasehati. Atau mengunggah status yang biasa di sebut “galau” di akun jejaring sosial pribadinya. Karena pada dasarnya pula, manusia agak sulit menerima nasehat, dan hanya butuh didengarkan dan merasa diberi perhatian. Ok lah mungkin itu sedikit curhat tentang nasib terkini calon profesi saya.
---------------------------------------
but anyway...
sebelum menjadi lebih parah, cobalah membuat sirkulasi (perputaran) atas masalah mental yang sedang dialami. Kesedihan sekecil apapun, rasa tertekan seperti apapun, bila memang masih berpedoman bahwa kesedihan bukanlah hal yang butuh dibagi secara sehat dengan sesama manusia, maka masih ada Tuhan yang selalu terbuka telingaNya, tanganNya, selalu ON line 24 jam perhari dan 7 hari perminggu, dan yang lebih penting adalah menerima dengan sadar bahwa kita sedang mengalami kesakitan mental itu, ketimbang menolak atau menyangkalnya.

Sedikit saya kutipkan paragraf dalam artikel Kompas di hari kesehatan mental:
Hampir 450 juta orang di seluruh dunia menderita gangguan mental, dan sepertiganya tinggal di negara berkembang. Dalam Hari Kesehatan Jiwa Ke-20 Sedunia yang bertema "Depresi: Suatu Krisis Global", disadari bahwa penanganan depresi dan kesehatan jiwa pada umumnya belum menjadi sebuah gerakan.
Karena depresi merupakan sumber kesakitan kedua yang menganggu hidup manusia. malah dalam sebuah penelitian di kampus saya, 1 dari 2 orang mahasiswa rawan menderita depresi.
Karena lingkupnya kampus, dengan desain penelitian yang lebih ketat, saya bisa katakan penelitian ini lebih valid dan akurat jadi masih enggan bicara?
-------------------------------------------
Bicarakanlah jika butuh, bukan memendam, bukan menangisi, tapi buatlah sebuah sirkulasi.



------------------------------------------ btw saya mohon maaf kalo beberapa waktu terakhir kata-kata yang saya pilih menjadi agak tidak biasa, sedikit pembelaannya, karena saya sedang terkagum-kagum dengan dunia ilmiah.semoga hari esok menjadi lebih baik dan lebih berguna.
SELAMAT HARI KESEHATAN MENTAL.