Nov 30, 2014

Provokasi Diri (Passenger on the bus)

“Saya mengundang anda untuk membayangkan tentang seorang supir bus dan busnya yang berisi penuh penumpang. Pak supir adalah pengendali dan penanggungjawab utama bus, ditangannya bus itu mungkin bisa sampai ke tujuan, tapi ditangannya pula bus itu mungkin saja masuk jurang. Entah bagaimana perjalanan bus kali ini dipenuhi dengan penumpang-penumpang banyak mau. Ada yang meminta ingin turun, ada yang ingin bus lebih cepat bergerak, ada yang ribut dengan pemandangan alam, ada yang ingin pipis, ada yang... yah, macam-macam. Keadaan riweuh demikian tentu mengganggu konsentrasi pak supir yang menyetir, tetapi bagaimana pun juga ia tak mungkin menurunkan penumpangnya di tengah jalan karena bus punya tujuan akhir dan tanggungjawab itu berada ditangan pak supir yang memegang kendali steer.”

Sebuah metafora: Passenger on the Bus


Apa yang terpikir? Kalo tidak ada, tidak apa. Metafora di atas adalah salah satu paragraf dalam step terapi yang sedang saya gandrungi, terapi yang saya pakai untuk membuat saya lulus dari kuliah, Acceptance Commitment Therapy (ACT). Terapi yang memberikan gambaran berbeda pada diri saya tentang sebuah ketenangan jiwa saat bertemu dengan apa saja. Sebenarnya metafora itu ingin bicara agar kita tidak terprovokasi dengan banyak hal di sekitar dan tetap fokus pada tujuan yang telah disepakati. *lucunya kegandrungan saya pada terapi ini setelah saya pikir-pikir adalah sebuah hasil dari provokasi J ah,, hidup memang sulit hitam-putih.



Dalam perjalanan hidup, manusia memiliki banyak sisi. Misalnya saja diri saya, saya menemukan diri saya memiliki sisi pencemas. Jujur saya baru menyadari dan mengenal sisi ini sekitar 4-5 bulan terakhir. Kalau dia sedang bangun dan berlonjak-lonjak,, diri saya jadi sering menangis, merasa ketakutan, merasa tidak nyaman, banyak menyalahkan diri saya sendiri, bahkan kesenangan saya untuk bisa tidur tenang menjadi terganggu. Ok saat itu saya hanya bisa bilang “Good job ‘pencemas’ kerjamu berhasil mengacaukan sebagian besar hidup ku, bisakah kau musnah saja?”.

Selain sisi pencemas, ada lagi sisi logis. Si logis ini membuat saya sering berbohong mengenai perasaan dan emosi saya sendiri, suka bilang tidak suka, ingin bilang tidak ingin, mau bilang tidak mau, bahkan dalam mengerjalan tes psikologis sisi logis saya ini membuat kekacauan hingga  saya mengganti banyak respons yang ingin saya munculkan menjadi respons lain yang sesuai dengan keinginan si logis. Berbohong, jika berjenis ‘putih’ ada kalanya dibutuhkan, tapi bukan untuk diri sendiri.  Tampaknya cukup saya ceritakan dua sisi yang saya miliki, karena bila lebih bisa makin terlihat buruknya saya ini.



Jika boleh saya hubung-hubungkan, saya menyamakan sisi-sisi saya itu seperti para penumpang dalam bus, dan saya adalah pak supirnya. Setiap sisi seperti setiap penumpang,  berteriak agar dipenuhi inginnya, ingin didengar pendapatnya, ingin saya memperhatikan dia, padahal saya punya tanggung jawab yang lebih besar dari sekedar menuruti kemauan sisi-sisi itu, tujuan akhir. Hem... disini mungkin menariknya, mereka seakan berkuasa, dan saya terjajah atas diri saya. Keterjajahan ini membuat saya tidak mampu lagi menikmati hijaunya daun-daun pepohonan, tenangnya tarikan nafas, segarnya air yang saya minum, atau nyamannya sofa yang saya duduki karena saya larut bersama teriakan mereka. Saya larut dalam kekhawatiran masa depan bersama si pencemas atau sibuk berbohong agar semua tindakan saya sesuai dengan si logika, *karena menikmati hidup tidak melulu harus pas dengan logika, ternyata. Saya menuruti mereka hingga mulai sadar bahwa saya mederita. Dan ini kemudian saya sebut sebagai konflik internal (dalam diri).



Tidak mudah menyelesaikan konflik internal, terlebih bila objek konflik tidak jelas, tidak terlihat siapa yang bertarung, tidak terlihat siapa yang terluka, siapa yang menang, dan siapa yang kalah, yang diketahui hanyalah hasilnya perasaan tidak nyaman. Baiklah, semua ketidaknyamanan terjadi karena diri saya terprovokasi, provokasi atas segala ingin. Padahal dalam realita, saya tidak selalu mendapatkan keinginan saya.



Bila tak mau terprovokasi, coba kembalilah berdiri ditengah dan siapkan diri menjadi pengamat (saja) untuk setiap sisi dalam dirimu, begitu kata dosen kesukaan saya sewaktu saya menemuinya dengan keadaan kalang kabut. Dan saya mencoba melakukan itu. Satu dua kali memang gagal, tapi ternyata saya bisa juga lakukan, hanya berdiri dan memperhatikan tiap sisi.



Saya memulainya dengan memejamkan mata, membayangkan bentuk si pencemas, dan cerita kali ini hanya tentang si pencemas. Warnanya yang abu-abu, bentuknya seperti anak-anak berumur 9 atau 10 tahun, ia kerap  berjingkrak-jingkrak tak tentu arah, ribut dan selalu banyak bicara.



“ayo kamu bergerak!” katanya , tapi saya pilih diam

“cepet bergerak, nanti hilang” katanya lagi sambil melompat-lompat, tapi kembali saya hanya diam dan memandanginya.

“ayooooooo...” kali ini di tampak makin gemas sehingga saya putuskan untuk bicara

“hallo pencemas, kenalkan aku Nuram. Boleh aku memegang tanganmu? Kau butuh apa?”

Dia mulai diam, lalu kulanjutkan “apa yang bisa ku bantu?”

Dia menjawab “aku ingin KAU bergerak cepat” aku tersenyum, lalu ku bilang sambil berbisik “aku  tidak bisa... aku tidak bisa memenuhi inginmu yang itu, tapi mungkin aku bisa membantumu yang lain” aku mulai duduk disampingnya. “apa yang kau butuhkan?”

“aku ingin kau menemaniku, karena aku sangat cemas... aku takut kehilangan sesuatu, sesuatu yang aku inginkan”

“baiklah... aku temani, tapi aku hanya mampu menemani, maaf ya” kataku sambil masih memegang tangannya.

“tak apa..”



Di atas realita saya duduk diam menikmati nafas, saya biarkan imajinasi saya masih membersamai si pencemas, dan sedikit demi sedikit hati saya mulai tenang, kepala terasa mengendur dan berkurang ketegangannya, dan saya kembali lagi menikmati nafas dalam 2-3 kali tarikan dan hembusan. Pertanyaannya... apakah keinginan sisi saya yang pencemas itu terpenuhi? Jawabannya:: tidak. Karena tujuannya berdialog dengan sisi diri saya bukan untuk memenuhi keinginannya, tapi belajar untuk lebih tenang dan tidak banyak terprovokasi.



Manusia tidak hanya bisa memprovokasi orang lain, tapi juga bisa terprovokasi oleh sisi-sisi dalam dirinya sendiri. Dan sangat mungkin hasil provokasi itu membuat ia melupakan saat ini, waktu dimana ia tegak berdiri, karena sibuk berpikir tentang apa yang belum datang atau apa yang telah terjadi.



Bila mulai terprovokasi: bernafaslah, rasakah sensasi tubuh saat ini. Saat ini, saat ini. Terima bahwa diri ini punya ingin, terima saja, kemudian berdialog, bukan mengontrol, merangkul bukan mengikat.

----jika boleh kembali bermetafora: keinginan adalah sumber penderitaan manusia, tapi tidak mungkin manusia tidak memiliki keinginan, karena tidak ingin memiliki keinginan adalah sebuah keinginan. (

Jalan Menemukan Kebahagiaan (ala filsafat)

Berbicara tentang kebahagiaan, sejak jaman dahulu, proses pencarian tentang makna untuk dapat hidup bahagia telah dipikirkan oleh para filsuf, tentunya untuk membantu memudahkan manusia menjalani hidup dengan lebih baik. Bahagia dapat diawali dengan membersihkan pikiran kita dari kesalahpahaman tentang arti kata bahagia (Adler, 2012). Seringkali kita berpikir bahwa bahagia adalah merasa baik, bersenang-senang, lalu bersenang-senang lagi, atau entah bagaimana tetapi yang utama adalah mencari perasaan suka cita. Namun demikian berbeda untuk Aristoteles, Aristoteles (Aristoteles dalam Adler, 2012) berpendapat bahwa bahagia merupakan sebuah kualitas dari kehidupan manusia secara keseluruhan meskipun kehidupan tersebut harus terlepas dari kesenangan pada setiap menitnya. Menurutnya hidup bahagia adalah kepemilikan atas kehidupan yang baik, yaitu misalnya pada kesehatan yang dirasakan baik, kekayaan yang dikatakan cukup, pengetahuan yang memadai, memiliki sahabat dan teman hidup, dan tentu saja dibersamai dengan moral yang baik pula.

Sejalan dengan Aristoteles, kehidupan bahagia menurut Maslow dalam teori humanistiknya adalah ketika seorang individu telah mencapai aktualisasi diri dan kondisi ini ditentukan oleh kemampuannya memenuhi seluruh hirarki kehidupan sehingga kehidupannya tidak lagi hanya disibukkan dengan pencarian kebutuhan fisiologis, keamanan, cinta, atau agar dilihat sebagai orang yang berharga, tetapi telah berada pada posisi berbagi bahagia, cinta, dan menikmati untuk menjadi seorang yang baik sesuai dengan pemaknaannya terhadap nilai-nilai kehidupan (Maslow dalam Fiest, 2009).

Lalu sebenarnya apakah kebahagiaan itu?

Pertanyaan menarik mengenai kebahagiaan disampaikan dengan mendalam yaitu “apakah karakteristik hidup bahagia adalah dengan mendapatkan momen keberuntungan dan melakukan banyak pembicaraan tetapi sepele atau dengan melakukan sebuah refleksi kehidupan dan menemukan kenyamanan ditengah kehidupan sosial?”

Bahasan mengenai kebahagiaan lebih sering berdiri pada ranah folk psychology yang berdasar pada belief, desire, dan intention. Subjektifitas dan free will bermain sangat besar dalam pemaknaan arti bahagia pada tiap-tiap individu, karena seringkali manusia hanya peduli tentang apa yang baik dan penting bagi dirinya bukan bagi lingkungan sosialnya.

Untuk individu modern khususnya yang bertempat tinggal di kota besar, agenda untuk berinteraksi dengan lingkungan sosial seringkali bukanlah sebuah hal penting yang harus dilakukan. Kesibukan dengan urusan masing-masing dan atau tidak mau merasa terganggu oleh kehadiran orang lain membuat seorang individu memilih menjalani kehidupan soliter ketimbang kehidupan sosial. Dengan keadaan demikian, individu seringkali memilih untuk berbicara ala kadar dan seperlunya saja, misal hanya untuk basa-basi pada orang yang ia kenal dengan menanyakan kabar, mengucapkan selamat, atau mengutarakan kesenangan dengan satu kata “yummy!”. Maka pertanyaan kemudian adalah apakah seorang individu masih tetap bisa merasakan kebahagiaan dengan kehidupanyang soliter tersebut?

Kembali menurut Aristoteles, manusia merupakan zoon politicon yang berarti memiliki peran ganda, yaitu selain sebagai makhluk individualis yang cenderung memiliki kemampuan  berbeda satu sama lain tetapi juga sebagai makhluk sosial dimana manusia tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan interaksi satu sama lain. Sehingga interaksi diantara manusia merupakan proses untuk membantu seorang individu dalam mewarnai kehidupannya. Namun demikian, pendapat ini pada zaman tersebut masih berupa asumsi pribadi Aristoteles ketika belum dilakukan sebuah penelitian dan pembuktian bahwa ada kaitan antara kehidupan sosial dan kebahagiaan seorang individu.

Beberapa abad kemudian, pada akhirnya muncul sebuah penelitian dalam ranah scienceyang mendukung dan membuktikan dengan perhitungan empiris bahwa asumsi mengenai manusia yang membutuhkan kehidupan sosial benar adanya. Penelitian (Mehl, 2009) yang melibatkan 71 orang sarjana membuktikan bahwa mereka yang lebih bahagia atau paling tidak melaporkan bahwa dirinya memiliki kehidupan yang bahagia lebih sering melakukan interaksi sosial, lebih banyak mengobrol dan melakukan substantive conversation(pembicaraan yang berisi informasi bermakna) dengan orang-orang terdekatnya, serta sedikit saja melakukan small talk (basa-basi). Bersama dengan itu, penelitian ini juga menemukan bahwa kehidupan bahagia adalah hidup bersama lingkungan sosial bukan soliter, dan pembicaraan yang dalam lebih baik dari pada “superfisial”. Dan pada akhirnya, disimpulkan bahwa kebahagiaan dapat ditingkatkan dengan cara melakukan substantive conversation (Sheldon & Lyubomirsky, dalam Mehl, 2009).

Mengutip kalimat Socrates “The unexamined life is not worth living,” serta Dannet “The overly examined life is nothing to write home about either”, pada akhirnya ditemukan bahwa individu menemukan kehidupan mereka lebih bernilai setelah mereka melalui sebuah ujian dalam hidup, terlebih ketika mereka melalui ujian tersebut bersama orang-orang terdekatnya (Mehl, 2009).

Terakhir, apakah kita bahagia?
Jika jawabannya adalah belum, maka tidak salah rasanya untuk mulai mencari seorang teman yang dapat diajak bicara lebih dalam, dan temukan kebahagiaan kita di sana.
*filsafat ilmu_