Dec 30, 2010

Mari Bicara Tentang NARSIS

Dialog

Saya: iya donk, kan anak psikologi, jadi lebih peka sama lingkungan.

Teman saya: Narsis



Cerita

Suatu kali membuka mbah gugel dengan mengetik ABG Narsis dalam kategori gambar, kemudian hasil yang ditampilkan adalah foto-foto individu dalam rentang usia remaja dengan gaya berfoto melihat keatas, tersenyum, disertai menempelkan satu jarinya di mulut atau sembari manyun-manyun tidak jelas atau hasil berucap ”unyu-unyu” (kata-kata yang sampai sekarang tidak saya pahami maknanya).



Benarkah itu makna dari narsis?



Mari kita cari tahu makna narsis dari literatur sejarahnya:

Banyak versi mengenai sejarah Narsissus, satu yang saya pilih adalah kisah tentang Narcissus yang sedang berburu kijang di hutan, saat ia merasa haus kemudian bermaksud mengambil air di sebuah danau, sampai terpantulah bayangan dirinya yang tampan di air danau tersebut, ia tak mau menyentuh air danau tersebut karena takut merusak bayangan yang ada pada permukaan airnya, ia terpesona, ia jatuh cinta dengan bayangan dirinya yang terpantul di air hingga tak sampai hati menyentuh air danau. Narcissus kemudian meninggal dalam keadaan memandangi dan mencintai bayangannya sendiri.



Karena terpesona dan kecintaan narsissus dengan bayangan dirinya itulah, selanjutnya penyimpangan perilaku dengan ciri kecenderungan berbangga lebih terhadap diri sendiri disebut sebagai narsissus disorder.



Dalam kajian psikologi, narsistik adalah konsep diri yang terlalu melambung, dalam buku Alexander Lowen (Denial of The True Self) menyebutkan bahwa secara psikologis seorang individu dikatakan narsis ketika ia telah sangat berjuang untuk membangun citra atas dirinya hingga mengorbankan diri mereka sendiri, seringkali berlaku menipu demi penampilannya di mata orang lain. Tindakan dan perilakunya seringkali tanpa melalui proses pikir, cenderung manipulatif, egosentris, sangat ingin memiliki atau menguasai, seringkali tidak jujur dalam membawa diri, dan cenderung tidak bertangungjawab (Lowen, 1985).



Perilaku narsis disini cenderung dikatakan sebagai penyimpangan (disorder) ketika ia mulai merugikan orang lain. Bayangkan seorang yang berperilaku narsissus disorder seringkali menganggap bahwa dirinyalah yang paling benar, apa yang ia persepsikan dan asumsikan pastilah sesuai dengan kenyataan, ia tidak lagi memperdulikan pendapat lingkungan yang akhirnya berujung pada paham egosentrisme yang memperlakukan dunia dengan tolak ukur dirinya. Ia kemudian merusak ikatan sosial dan mendistorsi sikap terhadap masa depan terkait pada estimasi (memperkirakan dan membaca rencana suksesnya).



Dalam studi psikologi, interaksi sosial mereka yang memiliki kecenderungan perilaku narsistik digambarkan dengan sebuah hubungan yang tidak menyamankan orang lain, mereka cenderung memiliki fantasi akan ketenaran atau malah kekuasaan, seringkali merespon kritik yang sampai ke dirinya dengan amarah dan penjalasan panjang tentang apa yang telah dicapainya atau dicapai orang disekitarnya, kadang malah sampai bersikap merendahkan orang lain yang dianggap mengancam posisi dirinya untuk tetap tampil sempurna (dalam standar dirinya). Mereka yang narsistik juga kurang mampu menjaga komitmen dan memberikan perhatian dalam interaksinya dengan orang lain, secara yang diperhatikan olehnya terbatas pada dirinya.



Bisa ditebak, dalam bahasa awam siapakah mereka yang narsis? Mereka yang narsis adalah mereka yang sombong sampai mengganggu orang lain, tidak memiliki tolak ukur yang masuk akal dan sesuai proporsi dirinya, mereka yang sering menjelekkan dan merendahkan orang lain (bisa jadi secara verbal sampai dengan perilaku) guna melindungi dirinya yang merasa terancam (dalam standar dirinya, padahal mungkin bagi orang lain keadaan itu biasa saja), yang seringkali tak mengindahkan orang lain saat akan mewujudkan pengamanan atas diri, “yang penting saya merasa bahagia, yang lain bodo amat,” mungkin itu penjelasan mudah mengenai cara berpikir para narsistik.



Karakter seorang yang mengalami narsissus disorder tidak dapat langsung terlihat, banyak indikator perilaku yang harus dicapai, tapi secara kilat bisa kita ukur melalui sikap seorang yang dengan renyah meremehkan dan atau merendahkan orang lain guna meninggikan dirinya dalam percakapannya, tentu saja tidak hanya dalam konteks verbal tapi juga bahasa tubuh dan sikapnya, mereka yang seringkali tidak mau dan tersinggung ketika mendapat nasihat apalagi bila sampai ditegur.



Sayangnya saat ini dalam masyarakat kita, konsep narsistik sedikit banyak telah bergeser maknanya, terkadang secara dangkal dihubungkan dengan gaya berfoto atau sikap kekanak-kanakan para individu yang memang belum memasuki masa dewasa, atau malah dihubungkan dengan lelucon mengenai orang yang memiliki kepercayaan diri, seperti yang saya gambarkan melalui dialog pembuka note ini.



Perlu dipahami, narsistik memiliki beda dengan percaya diri, mungkin secara gampang bisa kita sebut narsistik sebagai percaya diri yang berlebihan (ke–PD-an). Namun, sebenarnya percaya diri adalah sesuatu yang masih sangat dibutuhkan seseorang untuk mejalin interaksi sosial, berbeda dengan narsistik yang akan merusak interaksi sosial. Percaya diri dalam porsi yang tepat adalah memahami kemampuan yang dimiliki oleh diri, meyakini bahwa diri mampu dengan telah mengukur kapasitas, memprediksi kuantitas, dan mengetahui kualitas atas diri dengan baik dan berimbang.



--------------------------------------------------------------

Sedikit pembetulan tentang makna narsis yang seringkali dimaknai dangkal, narsis adalah sebuah penyimpangan perilaku, jangan dengan mudah kita melabelkan diri dengan istilah narsis, karena kata adalah doa. Narsis adalah sebuah kesombongan atau sikap takabur, yang tak pernah diajarkan, yang tak pernah menyamankan.



By the way... bercermin pada diri, adakah ciri narsistik yang pernah atau sering kita lakukan?



Dapus:

http://www.e-psikologi.com/epsi/klinis.asp



No comments:

Post a Comment