Feb 9, 2011

Marah dan Memaafkan

Ada yang membuat diri saya marah beberapa hari terakhir ini. Muaranya satu tapi menghasilkan beberapa cabang. Di saat awal menemui sumber kemarahan tersebut, saya hanya memilih untuk meminta maaf dan membuat pernyataan mungkin memang saya yang tak beres saat berkarya, hingga akhirnya membuahkan hasil sebuah kesulitan dan kebingungan bagi generasi selanjutnya. Saya pilih menghindar dan tak ingin membahasnya lebih lanjut, hanya tak ingin kemarahan itu meledak dengan kekuatan ledak yang tidak semestinya.



Saat kedua kali bertemu dengan sumber masalah yang sama, tetapi dengan cabangnya berbeda, ternyata saya tidak mampu untuk mengendalikan ledakannya, ledakan kata-kata dan pecahnya tangis mewarnai respon saya pada masalah kali itu (afwan saya kaget hingga rasanya semua terasa sesak menyesakkan). Yang ketiga dan keempat dengan masalah yang sama, saya memilih untuk menghindar, tapi saya tahu ekspresi kemarahan saya tetap saja terlihat. Saya memendamnya, bukan memaafkannya. Saya menekannya ke dalam, bukan membiarkannya lepas.



Kemarahan kali ini membuat saya berpikir dan mencari-cari apakah alasan tersembunyi itu pantas dijadikan dasar bagi saya mempertahankan kemarahan. Memandangi jendela kamar saya, melihat tumpukan buku psikologi yang selama empat tahun saya pelajari, empat tahun belajar untuk menjadi pribadi yang sehat dan baik, mengulang kembali kenangan tentang apa yang telah saya perbuat dulu, menimbang-nimbang mengapa diri ini tidak mencoba untuk memahami dan memaafkan, toh sangat mungkin memang karena keteledoran saya semua keluhan yang datang itu ada. Ya,,, meskipun rasanya agak berat, saya ambil ponsel dan segera meng-SMS korban ketidakpedulian saya pagi ini. “apa yang membingungkan?”



Sambil menunggu balasan sms itu, saya membuka buku untuk benar-benar memastikan bahwa saya harus menyelesaikan amarah ini. Dalam buku yang saya buka siang itu, saya mencari bab marah, dan yang saya mendapatkan:

Barang siapa yang bisa menahan amarahnya walaupun mempunyai kemampuan untuk melampiaskannya, maka Allah akan memanggilnya diantara orang-orang pilihanNya dan memberikan semua kenikmatan yang ada di syurga Hur’ain (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)



Marah adalah sebuah emosi yang bersifat fitroh, ia diciptakan Allah untuk membantu manusia mempertahankan diri dari lingkungan yang membuatnya merasa tidak nyaman. Apakah pernah Rasulullah marah, jawabannya adalah pernah, ingat saat peristiwa Aisyah yang terfitnah berselingkuh. Namun, ekspresi beliau tak lebih dari perilaku diam, bertanya pada para sahabat untuk bersikap lebih objektif, dan mencoba berpikir jernih hingga wahyu Allah turun menuntunnya untuk mengetahui kebenaran hingga beliau bisa menyelesaikan amarahnya, dan dalam peristiwa itupun Rasulullah sempat berprasangka, karena beliau manusia.



Marah merupakan peristiwa pelepasan hormon stres, saat ini terjadi kebutuhan oksigen meningkat, darah menjadi bertambah kental yang memacu pembekuan darah. Kemarahan juga membuat detak jantung meningkat lebih cepat melebihi batas wajar, dan menyebabkan naiknya tekanan darah pada pembuluh nadi, dan jika terjadi terus menerus akan memperbesar kemungkinan terkena serangan jantung.



Pernah satu kali saya bercerita dan bertanya pada pada teman saya mengapa seringkali kita masih saja marah pada seseorang yang sudah kita dengar permintaan maafnya. Jawabannya, cobalah kita meraba-raba hati, apakah iya permintaan maaf dan kesalahan objek marah kita sudah sudah benar diterima?



Tentu saja untuk mempertahankan ego saya saat itu, saya jawab kesalahan dulu ya sudah menjadi bagian dulu, kesalahan sekarang berbeda. Namun, yang tidak saya sadari adalah lebih mudahnya marah tersulut adalah akibat belum termaafkannya rasa sakit masa lalu. Sakit yang senantiasa ditekan dan akhirnya menumpuk, bukan diterima kemudian dilepas dengan ikhlas. Proses meminta maaf memang lebih mudah dilakukan ketimbang memaafkan, pelajaran yang saya ambil saat itu.



Dalam otak saya, sudah ter-setting: apabila saya salah, saya akan mengakui kesalahan itu, dan saya akan minta maaf. Namun ternyata, otak saya (dan beberapa otak individu lain) tidak tersetting untuk mudah menerima kesalahan individu lain dan mudah memaafkan. Karenanya bagi saya kemudian, memaafkan adalah proses yang begitu sulit dan membutuhkan waktu.



Pernah satu kali dalam obrolan panjang saya dengan sahabat saya, kami membahas tentang proses memaafkan. Ternyata ia juga seorang yang tidak mudah melakukan proses memaafkan, bedua kami bingung dan bertanya-tanya bagaimana cara memaafkan, karena benar ini tidaklah mudah, rasa sakit itu berat dan sesak. Saya dan dia mengungkapkan banyak alasan mengapa memaafkan begitu sulit dilakukan. Namun, beberapa saat kemudian saya yang membuat sahabat saya itu marah dengan celetukan saya. Saya meminta maaf, tapi tidak seperti biasanya, kali ini di tambah dengan bayangan-banyangan akan pernyataan ia mengenai kesulitannya untuk memaafkan sebuah kesalahan, begitu bingungnya saya saat itu, sampai banyak SMS yang saya kirim untuk mendapatkan sebuah maaf hingga akhirnya saya memilih diam dan membiarkan waktu meredakan marahnya. Alhamdulillah Allah melembutkan hatinya, saya lupa entah berapa lama kami tak bicara, tapi insyaAllah tak lebih dari tiga hari. Ya saya tahu, betapa maaf itu berharga, karena mendapatkannya begitu membutuhkan perjuangan.



Sikap memaafkan memang hanya dimiliki pada orang-orang luar biasa, biasanya banyak dari kita hanyalah memendam, menekan, dan menumpuk kekesalan terhadap kesalahan yang ada. Seperti yang saya ceritakan, dalam menemukan proses memaafkan pun saya memerlukan waktu untuk belajar, bagaimana cara menerima kesalahan sebagai perbuatan manusiawi, dan bisa saja kesalahan itu saya yang melakukannya esok hari. Hem...



Bahkan untuk kesalahan-kesalahan yang terjadi diantara kita dan orang tua. Baik yang kita lakukan atau pun mungkin papa dan mama kita yang melakukan. Sudah sebesar ini, bisa saya hitung berapa kali saya minta maaf kepada mereka, selebihnya malah hanya memasang muka tak bersalah dan langsung gelendotan gak jelas. Memang kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak, gak panjang. Hehe.



Menemukan beberapa lembar kertas dalam lemari buku saya, rak paling bawah, membuka apa isinya, ternyata tulisan-tulisan berisi ungkapan kekesalan saya terhadap ibu. Ah saya lupa, ternyata saya pernah sekurangajar itu. Baiklah, dengan menarik nafas panjang, saya tutup tumpukan kertas itu, suatu saat akan saya bakar, dan membiarkan abunya terbang, hilang bersama rasa kesal yang telah saya lupakan dan akan saya ikhlaskan. Karena orang tua adalah manusia, maka memaafkan mereka adalah wajib hukumnya, atas semua kasih sayang yang sudah diterima, atas semua pengorbanan yang telah ada.



sugesti bagi diri dan hati saya:

Memaafkan bagaimana pun berat prosesnya akan terasa lebih membahagiakan, melepaskan beban emosi, mengurangi penderitaan, dan membantu individu menikmati hidupnya.

“Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada, apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampuni dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” QS. AnNur: 22

Terima dan Lepaskan.

---------------------------------------------------------------------------

Sebuah pelajaran dikala marah.... heeeeffffffffhhhh....

1 comment:

  1. tapi mau memaafkan kadang berat ketika ingat perbuatannya lagi,, ingat kenangannya lagi,,

    ReplyDelete