Nov 30, 2014

Jalan Menemukan Kebahagiaan (ala filsafat)

Berbicara tentang kebahagiaan, sejak jaman dahulu, proses pencarian tentang makna untuk dapat hidup bahagia telah dipikirkan oleh para filsuf, tentunya untuk membantu memudahkan manusia menjalani hidup dengan lebih baik. Bahagia dapat diawali dengan membersihkan pikiran kita dari kesalahpahaman tentang arti kata bahagia (Adler, 2012). Seringkali kita berpikir bahwa bahagia adalah merasa baik, bersenang-senang, lalu bersenang-senang lagi, atau entah bagaimana tetapi yang utama adalah mencari perasaan suka cita. Namun demikian berbeda untuk Aristoteles, Aristoteles (Aristoteles dalam Adler, 2012) berpendapat bahwa bahagia merupakan sebuah kualitas dari kehidupan manusia secara keseluruhan meskipun kehidupan tersebut harus terlepas dari kesenangan pada setiap menitnya. Menurutnya hidup bahagia adalah kepemilikan atas kehidupan yang baik, yaitu misalnya pada kesehatan yang dirasakan baik, kekayaan yang dikatakan cukup, pengetahuan yang memadai, memiliki sahabat dan teman hidup, dan tentu saja dibersamai dengan moral yang baik pula.

Sejalan dengan Aristoteles, kehidupan bahagia menurut Maslow dalam teori humanistiknya adalah ketika seorang individu telah mencapai aktualisasi diri dan kondisi ini ditentukan oleh kemampuannya memenuhi seluruh hirarki kehidupan sehingga kehidupannya tidak lagi hanya disibukkan dengan pencarian kebutuhan fisiologis, keamanan, cinta, atau agar dilihat sebagai orang yang berharga, tetapi telah berada pada posisi berbagi bahagia, cinta, dan menikmati untuk menjadi seorang yang baik sesuai dengan pemaknaannya terhadap nilai-nilai kehidupan (Maslow dalam Fiest, 2009).

Lalu sebenarnya apakah kebahagiaan itu?

Pertanyaan menarik mengenai kebahagiaan disampaikan dengan mendalam yaitu “apakah karakteristik hidup bahagia adalah dengan mendapatkan momen keberuntungan dan melakukan banyak pembicaraan tetapi sepele atau dengan melakukan sebuah refleksi kehidupan dan menemukan kenyamanan ditengah kehidupan sosial?”

Bahasan mengenai kebahagiaan lebih sering berdiri pada ranah folk psychology yang berdasar pada belief, desire, dan intention. Subjektifitas dan free will bermain sangat besar dalam pemaknaan arti bahagia pada tiap-tiap individu, karena seringkali manusia hanya peduli tentang apa yang baik dan penting bagi dirinya bukan bagi lingkungan sosialnya.

Untuk individu modern khususnya yang bertempat tinggal di kota besar, agenda untuk berinteraksi dengan lingkungan sosial seringkali bukanlah sebuah hal penting yang harus dilakukan. Kesibukan dengan urusan masing-masing dan atau tidak mau merasa terganggu oleh kehadiran orang lain membuat seorang individu memilih menjalani kehidupan soliter ketimbang kehidupan sosial. Dengan keadaan demikian, individu seringkali memilih untuk berbicara ala kadar dan seperlunya saja, misal hanya untuk basa-basi pada orang yang ia kenal dengan menanyakan kabar, mengucapkan selamat, atau mengutarakan kesenangan dengan satu kata “yummy!”. Maka pertanyaan kemudian adalah apakah seorang individu masih tetap bisa merasakan kebahagiaan dengan kehidupanyang soliter tersebut?

Kembali menurut Aristoteles, manusia merupakan zoon politicon yang berarti memiliki peran ganda, yaitu selain sebagai makhluk individualis yang cenderung memiliki kemampuan  berbeda satu sama lain tetapi juga sebagai makhluk sosial dimana manusia tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan interaksi satu sama lain. Sehingga interaksi diantara manusia merupakan proses untuk membantu seorang individu dalam mewarnai kehidupannya. Namun demikian, pendapat ini pada zaman tersebut masih berupa asumsi pribadi Aristoteles ketika belum dilakukan sebuah penelitian dan pembuktian bahwa ada kaitan antara kehidupan sosial dan kebahagiaan seorang individu.

Beberapa abad kemudian, pada akhirnya muncul sebuah penelitian dalam ranah scienceyang mendukung dan membuktikan dengan perhitungan empiris bahwa asumsi mengenai manusia yang membutuhkan kehidupan sosial benar adanya. Penelitian (Mehl, 2009) yang melibatkan 71 orang sarjana membuktikan bahwa mereka yang lebih bahagia atau paling tidak melaporkan bahwa dirinya memiliki kehidupan yang bahagia lebih sering melakukan interaksi sosial, lebih banyak mengobrol dan melakukan substantive conversation(pembicaraan yang berisi informasi bermakna) dengan orang-orang terdekatnya, serta sedikit saja melakukan small talk (basa-basi). Bersama dengan itu, penelitian ini juga menemukan bahwa kehidupan bahagia adalah hidup bersama lingkungan sosial bukan soliter, dan pembicaraan yang dalam lebih baik dari pada “superfisial”. Dan pada akhirnya, disimpulkan bahwa kebahagiaan dapat ditingkatkan dengan cara melakukan substantive conversation (Sheldon & Lyubomirsky, dalam Mehl, 2009).

Mengutip kalimat Socrates “The unexamined life is not worth living,” serta Dannet “The overly examined life is nothing to write home about either”, pada akhirnya ditemukan bahwa individu menemukan kehidupan mereka lebih bernilai setelah mereka melalui sebuah ujian dalam hidup, terlebih ketika mereka melalui ujian tersebut bersama orang-orang terdekatnya (Mehl, 2009).

Terakhir, apakah kita bahagia?
Jika jawabannya adalah belum, maka tidak salah rasanya untuk mulai mencari seorang teman yang dapat diajak bicara lebih dalam, dan temukan kebahagiaan kita di sana.
*filsafat ilmu_

No comments:

Post a Comment