Oct 30, 2010

kederisasi

Kaderisasi,pengkaderan.

Istilah ini kayaknya sangat sensitive untuk bulan-bulan oktober-november-desember di kampus diponegoro khususnya bagi para aktivis. Mungkin kalau saja bisa menghindar, beberapa orang mungkin akan memilih menghindar. Kalo kata mama saya dan roommate saya sekarang: Tinggalin aja sih, apa pedulinya?

Tapi… ya kalo saya akhirnya memilih untuk tidak meninggalkan sampai jangka waktu tertentu, sedikit banyak karena saya gak mau apa yang saya perjuangkan selama ini, menjadi berhenti apalagi mati, ketika saya tinggalkan, selebihnya semoga karena ini adalah pengabdian diri saya kepada Zat yang telah memberikan saya kesempatan mengenal dakwah kampus.

Tapi ditengah keputusan untuk tidak meninggalkan sampai beberapa waktu ke depan, saat ini jujur saya sedang memikirkan proses kaderisasi, yang bagi sebagian orang menjadi pertanyaan.

Teringat obrolan saya dengan seorang adik kesayangan saya di salah satu fakultas, ketika saya Tanya apakah dia sudah mulai memikirkan siapa penggantinya di tahun depan dan sedikit melakukan persuasive untuk mau melanjutkan amanah organisasi, jawabannya hanyalah : Moh ah…

Aduuh,,, kaget juga. Saya berkhuznuzhon adik saya ini paham, hanya mungkin cara saya yang kurang tepat…

Atau pertanyaan adik saya yang lain: Kenapa tho mbak, aktivis sampe sebegitunya mikirin kaderisasi?

Yang bisa saya jawab adalah: kadang saya gak mau menjadi stagnant, terus berada di kampus tanpa beranjak ke tantangan lainnya, karena bisa jadi saya punya kesempatan lebih besar untuk berkembang di luar dunia kampus. Bukan menyepelekan mereka-mereka yang mengabdikan diri pada kampus, hanya saja terkadang kita perlu keluar dari laboratorium yang terlalu sempurna ini, dan mencoba hal baru.

Mengasyikan mendapat pertanyaan-pertanyaan dari adik-adik saya tercinta mengenai pentingnya kaderisasi, membuat saya membuka kembali laci-laci memori dalam otak, mengulas kembali alasan saya dari dulu hingga sekarang banyak tertarik dengan proses kaderisasi.

Flash back ke dua tahun yang lalu saat saya pertama kali mempraktekkan konsep kaderisasi dalam pikiran saya (bila saya mengingatnya, sungguh saya memahami bahwa kampus memang laboratorium kehidupan). Air mata menganak sungai, urat syaraf menegang, emosi yang turun naik, sampai darah yang tertumpah, soalnya waktu itu saya kesal sampai memukul tembok. Pelajaran yang saya dapatkan, dakwah dengan mengdepankan nafsu hanya akan menghadirkan kesengsaraan, hehehe.

Tahun berikutnya, konsep kaderisasi saya terapkan dengan lebih banyak berdiskusi, tapi di penguhujung proses itu, saya kembali membuat ulah karena terpancing emosi. Yang kadang (saya ketahui) saya seringkali hanya memahami ketika melakukan kaderisasi, sayasangat ingin memberikan yang terbaik bagi sesuatu yang saya cintai (ex: SKRIPSI) tapi (terlalu) mengedepankan cara saya, apalagi ketika terjepit, tanpa mendengarkan pendapat orang sekitar,,, paragh… karena saya bertipe kerja cepat jadi inginnya juga selesai cepat. Hehehe. Akhirnya malah mengahadirkan lagi kekacauan.

Pelajaran yang saya dapatkan: emosi tidak perlu ditanggapi ketika bertemu saat-saat seperti itu. Biarkanlah mengalir, karena Allah telah menuliskannya di langit. Toh akhirnya Ia menguraikan benang kusut itu, walau dengan tetap menghadirkan konsekuensi sebagai pelajaran yang baik untuk menjadi dewasa dan menerima kuasa Allah.

Tahun ini… entah apa yang akan saya lakukan, semoga ulah saya tidak mengahancurkan proses kaderisasi. Waaah saya harus berdoa nih.hehhehe.

Kaderisasi penting, itu adalah kosep utama yang harus dipegang teguh. Kenapa? Karena tongkat estafet itu butuh dilanjutkan, agar ia bisa menyentuh garis finish. Mungkin bukanlah kita yang membawa tongkat tersebut hingga finish, bisa jadi teman kita, adik kita, atau anak kita (???? Ko anak ya jauh banget, biarin deh). Namun, seharusnya kita telah memiliki karya nyata yang bisa menyemangati kita melakukan proses kaderisasi untuk memberikan yang terbaik, karena kita gak maukan apa yang sudah kita perjuangkan selama ini harus mati di tengah jalan…

Pertanyaan lain adik saya: kenapa mesti ambisius banget sih mbak??? Serem tauk, aku jadi pengennya ditengah-tengah aja, kan aku objektif.

Waaah,,, ini PR, ternyata proses kaderisasi yang dilakukan oleh kita para penggerak organisasi mengesankan ambisiusitas yang menakutkan di mata mereka, adik-adik. Mungkin saya salah satu yang menakutkan juga, hanya adik saya ini aja yang belum tau kayaknya, hehehhe. Gak ko…

Yang saya pahami, kenapa akhirnya terkesan ngotot atau ambisius adalah karena kemi (para tetua, aduh akhirnya mengakui kalo sekarang udah tua) ingin yang terbaik, hanya mungkin caranya yang ternyata belum tepat. Sebuah evaluasi yang baik.
Tapi jangan kemudian enggan menyentuh daerah-daerah dimana proses kaderisasi dilakukan, sungguh konsep utama pengkaderan yang dilakukan adalah alasan yang telah saya sebutkan diatas. Selebihnya semoga hanyalah untuk Allah, sebagai bentuk penghambaan untuk menyebarkan nilai Islami melalui sebuah system dakwah kampus.

Bukan sebuah yang harus di takuti, monggo dipikirkan untuk dakwah yang tak akan pernah berhenti hingga Islam tertegak dan nilai-nilainya mengalir dalam tubuh umatnya. Karena bisa jadi kita tercatat sebagai pelaku sejarah, dan satu pintu syurga terbuka untuk kita.
Menanggapi beberapa SMS yang masuk di ponsel saya pagi ini, dan obrolan saya dengan beberapa adik fakultas.

Berikan yang terbaik, semampu kita.
Maka apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yng lain)
QS. Al Insyirah:7

No comments:

Post a Comment