Oct 31, 2010

Menikah

Bahasan yang sungguh sangat sensitive bagi usia 20an tahun. Ragu juga mengangkat ini sebagai tema note saya kali ini. Namun, perlulah saya coba untuk melihat seberapa menarik topik ini.

Gelap, dalam pikiran saya seringkali masih gelap ketika mencoba memvisualisasikan kata nikah, tapi jujur ada sedikit desiran ketika mencoba untuk memaknainya. Ayo kita pahami dengan lebih objektif.

Maaf, bila nantinya note ini terhubung dengan beberapa kisah dan anda termasuk di dalamnya, hanya ingin sedikit memuat kilas balik untuk mendapatkan jawaban.
Membuka kembali sebuah SMS yang pernah masuk di ponsel saya, isinya tak lain adalah alasan seorang teman untuk menunda pernikahannya, kita simak bersama:

1.Belum lulus S1
2.Masih suka berpetualang (haha, kita sebut saja dia bolangbocah petualang atau malah bocah ilang???)
3.Pemasukan menurutnya belum cukup dibagi untuk bedua
4.Mau membahagiakan orang tua
5.Masih mau memperbaiki diri agar jadi lebih baik
6.Masih ingin menambah hapalan
7.Belum punya kemampuan untuk meyakinkan orang tua untuk nikah di usia muda.

Jujur saya tertawa saja membaca sms itu, menurut saya semua alasan yang disebutkan bukanlah alasan kuat untuk menunda pernikahannya. Malah, sangat mungkin digoyahkan dengan dialog atau musyawarah yang bisa jadi tidak panjang.

Saya sekarang, hidup bersama beberapa teman yang mungkin bisa dikatakan belum dipertemukan dengan jodohnya, di usia mereka yang mulai menginjak angka 25. Sering saya bertanya “kak, gak coba untuk meminta pada MR (guru ngaji-red) untuk di carikan?” atau “kak, pernah gak sih minta sama orang tua untuk dicarikan atau dikenalkan dengan seorang, kali aja jodoh…” dan jawaban mereka hanyalah sebuah senyuman, dan dilanjutkan dengan diskusi panjang hingga ujungnya adalah sebuah kesimpulan bahwa jodoh mutlak berada di tangan Allah.

Dan semua kakak-kakak saya itu adalah perempuan. Tanpa mereka ketahui, sering saya memandangi wajah mereka satu persatu dan berdoa dalam hati, “Ya Allah, datangkanlah jodohnya, datangkanlah jodohnya, pertemukanlah, berikanlah mereka kesempatan untuk berkeluarga, sungguh mereka akan menjadi ibu-ibu yang hebat bagi keluarganya, dekatkanlah ya Allah, dekatkan…Amin.”

Betapa sedihnya saya, ditengah pengalaman kali ini, saya mendapatkan SMS berisi 7 alasan aneh penundaan pernikahan. Padahal secara logika dan emosi 7 alasan di atas masih bisa dilakukan setelah menikah, malah berdua bersama pasangan dan bisa jadi lebih baik, iya gak sih? Atau saya yang salah??? Pertanyaan itu berputar-putar di kepala. Misalnya masalah pendapatan, setahu saya, papa saya dulu hanyalah pemuda dari keluarga miskin, merantau dari desa Pakem di kaki gunung Merapi ke Ibu Kota, kontrakannya hanyalah rumah berdinding anyaman bambu di Jakarta, tapi beliau menikah dengan ibu saya dan kehidupan kami saat ini Alhamdulillah cukup, dan kata papa rejeki berdua itu pasti lebih banyak ketimbang rizki orang yang sendirian.

Akhirnya saya sempat menggugat, bertanya kembali pada teman yang mengirim SMS itu, “coba di pikirkan lagi, hukum antum menikah itu berada pada titik apa? Haram-kah, mubah-kah, sunah-kah, atau wajib-kah??? Kalau sebagian besar dari syarat berkeluarga itu sudah terpenuhi, dan tidak lagi mampu atau sangat kurang mampu mengontrol diri untuk tidak berpikir tentang pernikahan, jangan-jangan hukumnya sudah berubah menjadi wajib ketimbang sunah.” Namun, akhirnya saya berusaha sedikit lebih humanis menanggapi curhatannya, karena saya pikir beliau sudah cukup umur untuk mengetahui posisinya berada di mana.

Atau cerita lain, kali ini di ceritakan oleh teman saya yang baru saja kesal mendengar komentar seorang temannya mengenai mahar penikahan. Ceritanya saat itu, seorang teman kami menikah dan maharnya berupa emas dengan harga ratusan ribu, seorang (yang menurutku tergolong seorang pembelajar agama dan belum menikah) berkomentar, “haha, murah banget maharnya, itukan harga yang diajukan kepada suami, kenapa tidak mencoba meminta yang lebih tinggi?” gantian temanku yang sebisa mungkin menahan tawanya, seandainya tidak ingat akan norma dan harga diri ikhwan (oops…) tersebut ingin sekali ia mengatakan: “dengan mahar yang tidak tinggi saja, putra-putra (putra??? Hahaha) itu tidak berani maju, apalagi meminta tinggi” hahaha, aku tertawa sampai sakit perut mendengar cerita ini, pasti mati kutu seandainya iya kalimat itu diucapkan, tapi biarlah kita-kita saja yang tahu. Sori-sori gak maksud ngomongin orang, tapi semoga kita bisa mengambil ibrohnya.

Terkadang bingung juga, mengenai rahasia Allah yang satu ini, walaupun rahasia Allah yang lain juga rumit, hanya saja ini lebih menarik bagi individu-individu lajang. Saya tahu, pastilah jawaban dari semua ini adalah karena memang Allah belum mengizinkan, tapi ketika dibenturkan dengan alasan aneh di atas… beeeeuuuuh… bayangkan saja.

Gak tau deh, saya pun bingung menyimpulkan kondisi ini, mungkin lebih karena saya juga belum menikah, tapi yang saya pahami, kakak-kakak saya itu adalah wanita, walaupun telah belajar Islam dan memahami dalam Islam tidak pernah salah menawarkan diri untuk dinikahi pria sholih, tapi budaya timur membentuk kami (kok kami ya,,, yayaya termasuk saya) memiliki pemahaman tak elok rasanya perempuan maju terlebih dahulu, maka dari itu… hahaha lanjutkanlah dalam pikiran kita masing-masing.

Yup mengingat taujih Murobbi saya yang pertama saat silaturahim ke rumahnya beberapa waktu lalu, usia 20an tahun adalah usia rawan, keinginan untuk menikah memang seringkali menjadi sangat tinggi, topic tentang menikah pun menjadi bahasan panas yang menarik, baik diulas bersama teman maupun dipelajari secara otodidak, tapi ketika Allah belum menilai kita mampu, maka belajarlah bersabar, perbaiki diri selagi masih sendiri, berbuatlah seproduktif mungkin, dan biarkan Allah yang menentukan, jangan mendikte Allah yang Maha Tahu itu, dan satu resep lain dari Rasulullah adalah perbanyaklah berpuasa, yang kemudian harus dijadikan catatan penting: jangan sampai bahasan itu membuat kita lalai dan cenderung terbatasi geraknya, karena sebenarnya telah tertulis di lauhul mahfudz.

Saya pelajari kriterianya cukup disamakan saja seperti yang telah disebutkan Nabi, wajah (saya memahami ini bukan sebagai cantik atau tampan, karena kata papa saya masalah wajah hanya akan terkait dengan perasaan KLIK), keturunan, harta, serta agamanya, tapi utamakanlah agamanya. Hehehe.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Baiklah ini pandangan saya, seorang berusia 21 tahun yang memasuki tahap dewasa awal.
Setelah ini jangan Tanya apakah saya sudah siap yah… karena jawaban saya hanyalah: setiap individu lajang yang sehat, insyaAllah mempersiapkan. hehehe

Semoga memberikan pencerahan.

Apalah Arti Sebuah Nama

Jujur saja, sampai saat ini aku masih bingung merespon kejadian kemarin. Marah, kesal, sedih, tapi yang paling menojol adalah kecewa, yaa… walaupun hanya bisa aku ekspresikan dengan tertawa dan sedikit merengek-rengek saat wisuda.

Aku kesaaaaaaaaaaall,,, hahahha… aku punya nama baru Muram Mubina, S.Psi. adoooh nau’udzubillahi min dzalik. Namaku itu Nuram Mubina, S.Psi. bisa berubah sangat buruk seperti itu. Selama wisuda universitas aku berusaha menutupi kekecewaanku dengan berperilaku rusuh, berisik, menganggu mbak-mbak 2005 dan mas 2003 wisudawan disebelah kiri-kananku, memukul-mukul kakinya (tentu yang mas-mas2 gk yoo), mengiba, kemudian tahu-tahu tertawa, mengeluarkan cerita lucu, berkomentar aneh agar orang-orang disekitarku tertawa, hal yang agak jarang aku lakukan pada orang yang baru ku kenal, semua aku lakukan untuk menutupi rasa malu dan cemas menunggu namaku yang SALAH itu disebut.

Aku sempat merasa senang ketika di awal prosesi wisuda, komputer gedung Prof. Sudharto agak error, ia tidak memunculkan nama-nama wisudawan, maka setelahnya aku segera berdoa semoga kesalahan teknis itu berlangsung hingga akhir prosesi. Hahaha. Namun, tampaknya Allah punya ketetapan lain, Ia memintaku belajar bersabar. Beeeuuuuuh… komputer itu menyala lagi dan baik-baik saja hingga akhir acara. Bayangkan perasaanku saat itu, mengharu biru, merah padam, sendu nila ungu hingga gelap gulita. Sudahlah, aku ini siapa meminta komputer tersebut rusak selama acara, sungguh permintaan yang tidak dewasa, tapi lucu juga seandainya Allah mengabulkan permohonan ku. Hahaha.

Aku takutkan perasaan orang tuaku saat melihat nama itu. Karena aku tahu perselisihan mereka saat dulu memutuskan sebuah nama yang akan dikenakan padaku seumur hidup. Aku hanya takut perasaan papaku hancur karena nama yang katanya penuh makna itu berubah susunan huruf serta MAKNAnya. (tapi ternyata mereka hanya tertawa saat aku ceritakan, aaaaaaaaaaarrrgh,,, ternyata aku lebay..)

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku akui, namaku memang aneh binti ajaib. Ketika berkenalan dengan orang baru aku harus mengeja namaku agar orang tak salah mendengar. Maklum selain nama yang aneh ternyata aksen huruf “R” ku pun sedikit berbeda dengan orang pada umumnya, yaa ampun baru aku sadar betapa uniknya diriku.. hehehe.

Jujur saat kecil aku malas menyebut nama, rasanya ingiiiiiiiin sekali mengganti nama menjadi citra misalnya, atau saski, atau cindy, nana, ata, atau budi (lha?), atau nama lain yang mudah disebut dan diingat. Apalagi biasanya setelah aku menyebutkan namaku mereka –orang yang berkenalan denganku- akan bertanya: artinya apa??? Haaaaaaaaahhhhhhh… males banget, ni nama punya arti yang menurutku agak narsis (secara tekstual silahkan lihat QS. AnNisa:174), kalau sekarang sih sering aku siasati dengan: “gini, mubin itu artinya nyata/jelas, nah kalo nur itu cahaya, jadi nurammubina itu cahaya yang nyata, gitu” yup cukup teratasi.

Semakin tinggi tingkat pendidikan yang aku jalani, semakin berpendidikan juga orang-orang menghargai namaku sebagai nama yang unik dan punya makna tersendiri (aku tahu papaku adalah orang yang cukup mempertimbangkan filosofi untuk nama anak-anaknya). Namun dulu saat SD atau SMP… beeeeeuuuuuh… nama adalah hal menyebalkan dan seringkali menakutkan, apalagi jika nama itu di sebut di forum besar dalam rangka perkenalan.

Jika orang-orang berkata apalah arti sebuah nama, maka sebenarnya bagiku nama adalah sebuah doa, harapan, impian orang yang memberikannya, bukan hanya sebuah sebutan atau panggilan tanpa makna. Aku tahu papaku memikirkan nama ku dengan sungguh-sungguh. Bagaimana tidak, putri yang ditunggunya selama tujuh tahun, pastilah nama untukku itu sudah beliau pikirkan masak-masak, hanya saja bisa jadi beliau sedikit tidak terpikir dampak psikologis bagi anak yang memiliki nama tidak biasa atau lebih halusnya aku sebut sebagai UNIK.

Sampai sekarang terkadang aku masih merasa kurang bangga dengan namaku, ayo berikan semangat agar aku merubah persepsi tersebut. Apalagi dengan kejadian di acara wisudaku kemarin, aku sempat mengambil sebuah pelajaran: bahwasanya, janganlah memberikan nama yang terlalu sulit untuk anak, kalaupun menginginkan nama yang unik jangan sampai padanan hurufnya berdekatan dengan kata-kata berkonotasi negatif (azzamku). Haaaaahh.. aku masih sedih, siapa yang sebenarnya bisa aku mintai pertanggungjawaban atas kesalahan namaku itu, di tiga ribu lebih buku wisudawan lulusan UNDIP bulan Oktober 2010. Hahaha, aku tertawa sajalah, walaupun masih sedikit tidak terima.

Mungkin jawabannya hanya: ikhlas…

hihihi susahnya, tapi ya sudah… lupakan-lupakan. Aku sering membahagiakan diriku dengan: yang penting papaku tidak melihat nama yang salah itu di layar dan beliau pun hanya tertawa, pun nama ku di ijazah benar, dan semua itu sudah berakhir, tak usahlah dikenang lagi, tak usahlah buku wisudawan itu aku buka-buka atau kupandangi. Ya sudahlah.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Bisa jadi kejadian ini adalah teguran untukku yang biasa memainkan nama teman-temanku. Hehehe…

Aku beberapa kali merubah nama orang, misal Nastiti menjadi Nanas, Amy menjadi Gome, Tya menjadi Tiyul, Ganda menjadi Gandul, Faisal menjadi Ical, atau….. Amin menjadi Mince atau malah Mincret, Imam Agung Wicaksono menjadi Imam Agung Wica-kesono-kesini, Nush menjadi NushRoot de-el-el . Hihihhi…mungkin salah satu dari mereka ada yang tidak ikhlas… maafkan aku kawand, aku melakukannya agar kita lebih dekat secara emosional. Ya maaf, benar-benar aku meminta maaf.

Walaupun begitu, sebenarnya namaku juga sering diubah menjadi aneh-aneh oleh teman-teman kesayanganku itu, misalnya: NUYAM, URAM, dan yang paling aneh adalah dari Ganda: NUy-nuy. iiigh aneh… hahaha, aku aja geli nyebutnya… yaaah… tak apalah, sebutan itu lebih aku terima ketimbang nama ku yang salah di wisuda kemarin hihihii…
Ayolah kalian tertawai aku. Agar aku bisa menerimanya. Oia aku mendengar ada wisudawan yang berkomentar saat nama yang salah itu disebut, “aku tahu itu aneh tapi asal tahu saja itu SALAH,” ingin rasanya aku berbalik dan berbicara seperti itu. Cukup! Cukup bodoh rasanya membahas masalah ini, tapi semoga teman-teman dapat mengambil sebuah pelajaran. Hehehhee…

Note ini sebanarnya aku buat sebagai salah satu bentuk terapi bagi diriku sendiri untuk menyeimbangkan perasaanku yang kacaubalau karena kesalahan nama ku itu. Silahkan ditertawai, atau berikanlah empati,,, biarkan aku memproses diriku menjadi tenang melalui tanggapan kalian… okelah ini akan baik-baik saja.
-----------------------------------------------------------------------
Nama adalah doa, namaku serta maknanya merupakan keinginanan orang tua atas aku atau malah mungkin perasaan mereka saat mendapatkan aku, berat, tapi nama itu telah disematkan, tertempel pada ku, hingga nanti aku dipanggil di yaumil akhir, maka (nuram) belajarlah menumbuhkan rasa bangga pada namamu, seunik apapun nama itu. (sugesti positif bagi diriku sendiri).

Semoga bisa memberikan pencerahan.
----------------------------------------------------------------------------
Oia terimakasih bagi teman-teman yang telah memberiku ucapan selamat, jujur itu membuat ku berbahagia ditengah kekecauan perasaanku saat wisuda,,,

Oct 30, 2010

kederisasi

Kaderisasi,pengkaderan.

Istilah ini kayaknya sangat sensitive untuk bulan-bulan oktober-november-desember di kampus diponegoro khususnya bagi para aktivis. Mungkin kalau saja bisa menghindar, beberapa orang mungkin akan memilih menghindar. Kalo kata mama saya dan roommate saya sekarang: Tinggalin aja sih, apa pedulinya?

Tapi… ya kalo saya akhirnya memilih untuk tidak meninggalkan sampai jangka waktu tertentu, sedikit banyak karena saya gak mau apa yang saya perjuangkan selama ini, menjadi berhenti apalagi mati, ketika saya tinggalkan, selebihnya semoga karena ini adalah pengabdian diri saya kepada Zat yang telah memberikan saya kesempatan mengenal dakwah kampus.

Tapi ditengah keputusan untuk tidak meninggalkan sampai beberapa waktu ke depan, saat ini jujur saya sedang memikirkan proses kaderisasi, yang bagi sebagian orang menjadi pertanyaan.

Teringat obrolan saya dengan seorang adik kesayangan saya di salah satu fakultas, ketika saya Tanya apakah dia sudah mulai memikirkan siapa penggantinya di tahun depan dan sedikit melakukan persuasive untuk mau melanjutkan amanah organisasi, jawabannya hanyalah : Moh ah…

Aduuh,,, kaget juga. Saya berkhuznuzhon adik saya ini paham, hanya mungkin cara saya yang kurang tepat…

Atau pertanyaan adik saya yang lain: Kenapa tho mbak, aktivis sampe sebegitunya mikirin kaderisasi?

Yang bisa saya jawab adalah: kadang saya gak mau menjadi stagnant, terus berada di kampus tanpa beranjak ke tantangan lainnya, karena bisa jadi saya punya kesempatan lebih besar untuk berkembang di luar dunia kampus. Bukan menyepelekan mereka-mereka yang mengabdikan diri pada kampus, hanya saja terkadang kita perlu keluar dari laboratorium yang terlalu sempurna ini, dan mencoba hal baru.

Mengasyikan mendapat pertanyaan-pertanyaan dari adik-adik saya tercinta mengenai pentingnya kaderisasi, membuat saya membuka kembali laci-laci memori dalam otak, mengulas kembali alasan saya dari dulu hingga sekarang banyak tertarik dengan proses kaderisasi.

Flash back ke dua tahun yang lalu saat saya pertama kali mempraktekkan konsep kaderisasi dalam pikiran saya (bila saya mengingatnya, sungguh saya memahami bahwa kampus memang laboratorium kehidupan). Air mata menganak sungai, urat syaraf menegang, emosi yang turun naik, sampai darah yang tertumpah, soalnya waktu itu saya kesal sampai memukul tembok. Pelajaran yang saya dapatkan, dakwah dengan mengdepankan nafsu hanya akan menghadirkan kesengsaraan, hehehe.

Tahun berikutnya, konsep kaderisasi saya terapkan dengan lebih banyak berdiskusi, tapi di penguhujung proses itu, saya kembali membuat ulah karena terpancing emosi. Yang kadang (saya ketahui) saya seringkali hanya memahami ketika melakukan kaderisasi, sayasangat ingin memberikan yang terbaik bagi sesuatu yang saya cintai (ex: SKRIPSI) tapi (terlalu) mengedepankan cara saya, apalagi ketika terjepit, tanpa mendengarkan pendapat orang sekitar,,, paragh… karena saya bertipe kerja cepat jadi inginnya juga selesai cepat. Hehehe. Akhirnya malah mengahadirkan lagi kekacauan.

Pelajaran yang saya dapatkan: emosi tidak perlu ditanggapi ketika bertemu saat-saat seperti itu. Biarkanlah mengalir, karena Allah telah menuliskannya di langit. Toh akhirnya Ia menguraikan benang kusut itu, walau dengan tetap menghadirkan konsekuensi sebagai pelajaran yang baik untuk menjadi dewasa dan menerima kuasa Allah.

Tahun ini… entah apa yang akan saya lakukan, semoga ulah saya tidak mengahancurkan proses kaderisasi. Waaah saya harus berdoa nih.hehhehe.

Kaderisasi penting, itu adalah kosep utama yang harus dipegang teguh. Kenapa? Karena tongkat estafet itu butuh dilanjutkan, agar ia bisa menyentuh garis finish. Mungkin bukanlah kita yang membawa tongkat tersebut hingga finish, bisa jadi teman kita, adik kita, atau anak kita (???? Ko anak ya jauh banget, biarin deh). Namun, seharusnya kita telah memiliki karya nyata yang bisa menyemangati kita melakukan proses kaderisasi untuk memberikan yang terbaik, karena kita gak maukan apa yang sudah kita perjuangkan selama ini harus mati di tengah jalan…

Pertanyaan lain adik saya: kenapa mesti ambisius banget sih mbak??? Serem tauk, aku jadi pengennya ditengah-tengah aja, kan aku objektif.

Waaah,,, ini PR, ternyata proses kaderisasi yang dilakukan oleh kita para penggerak organisasi mengesankan ambisiusitas yang menakutkan di mata mereka, adik-adik. Mungkin saya salah satu yang menakutkan juga, hanya adik saya ini aja yang belum tau kayaknya, hehehhe. Gak ko…

Yang saya pahami, kenapa akhirnya terkesan ngotot atau ambisius adalah karena kemi (para tetua, aduh akhirnya mengakui kalo sekarang udah tua) ingin yang terbaik, hanya mungkin caranya yang ternyata belum tepat. Sebuah evaluasi yang baik.
Tapi jangan kemudian enggan menyentuh daerah-daerah dimana proses kaderisasi dilakukan, sungguh konsep utama pengkaderan yang dilakukan adalah alasan yang telah saya sebutkan diatas. Selebihnya semoga hanyalah untuk Allah, sebagai bentuk penghambaan untuk menyebarkan nilai Islami melalui sebuah system dakwah kampus.

Bukan sebuah yang harus di takuti, monggo dipikirkan untuk dakwah yang tak akan pernah berhenti hingga Islam tertegak dan nilai-nilainya mengalir dalam tubuh umatnya. Karena bisa jadi kita tercatat sebagai pelaku sejarah, dan satu pintu syurga terbuka untuk kita.
Menanggapi beberapa SMS yang masuk di ponsel saya pagi ini, dan obrolan saya dengan beberapa adik fakultas.

Berikan yang terbaik, semampu kita.
Maka apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yng lain)
QS. Al Insyirah:7