Mar 2, 2011

kasih dan sayang. umi, abah, dan aku

Akhir ini pekerjaan menuntut saya bertemu dengan mereka, anak yang tak terbagi kasih sayang orang tua. Bukan bermaksud berprasangka bahwa orang tua mereka tak sayang, hanya saja (saya memilih untuk mengatakan) terkadang pemaknaan kasih sayang ternyata berbeda pada tiap-tiap orang.
Ingatkan ketika dulu saat kecil, apa yang dilakukan ayah atau ibu kita untuk menunjukkan kasih sayang mereka? Ada yang sangat beruntung bisa merasakan kasih sayang berupa peluk, cium, belaian, dan perhatian. Namun, seringkali kasih sayang diartikan dengan pemenuhan bentuk materi bagi anak. Dengan uang, barang, makanan, tetapi bukan kebersamaan. Salahkah?
Ada masanya materi memang diperlukan, misalnya saja untuk sebuah sekolah favorit di bilangan Jabodetabek yang mematok SPP sebesar Rp450.000,00 perbulannya, pendidikan memanglah butuh dana. Bisa kita bayangkan, untuk sebuah pendidikan sekolah dasar yang lengkap dan terpercaya, orang tua harus mampu menyisihkan dana sesebar itu untuk satu orang anaknya, maka realistis memang ketika untuk kebahagian anak orang tua berjuang menjadikan kaki di kepala dan kepala di kaki, tapi sekali lagi bukan selamanya. Tidak mungkin materi bisa menggantikan kasih sayang orang tua, kasih sayang mama dan papa.
Ketika memasuki pekerjaan ini, saya mulai dihadapkan pada anak-anak yang dalam tanda kutip “bermasalah”. Kurangnya sopan santun dan perilaku tidak pantas menjadi laporan utama, atau malah kebingungan atas sikap anak yang cenderung memilih diam dan –sepertinya- sulit untuk mengekspresikan emosinya. Telusur punya telusur, perilaku ini muncul akibat hilangnya sesuatu yang menjadi faktor penentu sehatnya pribadi anak, yaitu kasih sayang dan perhatian orang tua.
Satu kali saya kaget mendengar solusi yang di tawarkan oleh satu dari dua anak yang bertangkar di kantor saya, saya bertanya: “Adam...apa yang bisa kamu berikan agar maafmu diterima Kiko?” Adam menjawab : “besok aku akan kasih kiko uang saku bu...biar kiko gak marah lagi ke Adam...” Bisa kita bayangkan, betapa sebuah pertemanan dinilai dengan uang oleh anak. Saat itu saya begitu kaget, dalam pikir, seperti inikah pemahaman anak? Bahwa teman yang baik dapat dibeli melalui uang sakunya? Respon saya terhadap adam saat itu adalah: “ Adam tahu,,, sebuah persahabatan tidak akan pernah terbeli oleh uang, sahabat memerlukan kasih dan sayang, bukan uang. Hati kiko tidak akan pernah bisa adam beli dengan uang.”
Satu lagi anak yang mendapatkan absen dari kasih sayang orang tuanya. Kali ini yang hilang adalah peran ayah dalam rumah. Sebut saja namanya ahmat . Anak ini pernah menyembunyikan tempat pensil saya karena ingin saya perhatikan, pernah juga menarik-narik tangan saya, meminta doa agar pertandingan sepakbolanya menang, sering sekali meminta saya makan siang bersamanya di kelas, ujungnya adalah kebutuhan ahmat akan perhatian dan kasih sayang. Ahmat adalah anak dengan keluarga broken home, ayahnya tidak lagi tinggal bersama ia, ibu, dan kakaknya. Satu kali saya mengobrol dengannya, ia mengatakan bahwa pendapatan ayahnya ratusan juta rupiah, tapi sekali lagi, wujud ayah sama sekali tak ia miliki dengan sempurna.
Pernahkah kita terpikir betapa anak adalah anugrah dan amanah, sebagai manusia yang dibekali hati dan akal apa iya tidak pernah terbersit untuk menimbang-nimbang: sebegitu praktisnya-kah, bahwa pembekalan uang dan materi, bisa membuat mereka bahagia????
------------------------------------------------------

Satu kali dalam obrolan saya dengan seorang umahat tentang anaknya yang memaknai hadits menghormati ibu 3 kali lebih utama dibanding ayah, membuat si anak lebih mempercayai perkataan ibunya daripada ayahnya sehingga semua pertanyaan sampai pada masalah perkalian di soal PR-nya harus mendapat penegasan dari umi bukan dari abi, atau tentang konsep surga ditapak kaki ibu; pemaknaan anak lebih pada bahwa membersihkan telapak kaki ibu akan sama dengan membersihkan surga, maka ia mencuci kaki uminya setiap malam agar ia bisa masuk syurga.
Sebegitu konkritnya anak memaknai perkataan ibu, pun begitu patuhnya ia dengan apa yang dikatakan ibu, maka tak bisakah kita mengambil kesimpulan bahwa apa yang menjadi perkataan kita akan masuk dalam otak anak dan terinternalisasi dalam perilakunya, walaupun mungkin belum dalam pemaknaan terdalamnya, lalu bagaimana bila perkataan yang keluar adalah cemooh, label negatif, tuduhan, amarah, dan banyak keburukan lainnya, tidakkah menjadi sangat mungkin mereka akan terbentuk menjadi apa yang kita ucapkan???
------------------------------------------------------------------------------------------
Sebuah keluarga dipimpin oleh ayah dengan koordinator lapangan adalah ibu, setiap keputusan berada dalam tangan ayah sehingga tak bisa dengan mudah seorang ayah absen dalam perjalanan kehidupan keluarganya...
------------------------------------------------------------------------------------------
Share pengalaman... semoga bisa diambil manfaat. Pelajaran menjadi orang tua^^
(maaf tulisan ini agak melompat-lompat)

No comments:

Post a Comment