Jun 14, 2011

Pengerdilan Makna Pikir Manusia

Sedikit membandingkan antara pola pikir saya dan adik saya. Jelas kami berasal dari satu rahim yang sama, tapi sekarang ini menjadi sangat berbeda dalam memandang kehidupan. Bukan kemudian ingin menyepelekan sekolah yang dipilih saudara saya tercinta ini, tapi pada akhirnya output yang dihasilkan memang berbeda. Obrolan serius antara saya dan adik saya ini bertema pola pikir mahasiswa, yang belajar di universitas negeri dan menjadi aktivis dengan yang belajar di universitas swasta dan study oriented.
Bisa dikatakan ini adalah perbandingan antara pola pikir saya memandang hidup dan si “Ndut” dalam memandang hidup dengan kacamata kami masing-masing. Bagi saya jelas, mereka yang punya kesempatan menikmati pendidikan hingga perguruan tinggi adalah seorang yang memiliki tanggungjawab moral untuk memperbaiki bangsanya, lingkungannya, tapi bagi dia tidak, katanya “lo harus mikir lah, sekarang tuh dunia butuh apa? Bisnis dan konsumsi produk sama jasa itu meningkat dengan bertambah banyaknya manusia, yang harusnya dihasilkan adalah orang-orang yang bisa memenuhi kebutuhan pasar. Hidup tuh berjalan kak, perlu biaya.” Dan bla-bla-bla lainnya (saya lupa). Inti pikiran anak ini adalah seharusnya perguruan tinggi mencetak mahasiswa yang memenuhi kebutuhan pasar yang kemudian bisa menghasilkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Bila saya boleh menarik kesimpulan yaitu tanpa menyentuh proses perbaikan atau pembetulan aspek moral, tapi cukup untuk memehuni kebutuhan diri sendiri dan keluarga (tunas pikiran individualis).
Yah kami memang begitu, bisa jadi sama-sama cerdas, tapi beda cara pandang.
Kekhawatiran saya terhadap pragmatisme generasi muda, malah benar-benar diperlihatkan dalam sosok adik kandung saya sendiri, di luar rumah saya berusaha membangun paradigma adik-adik SMA untuk kemudian berakhlak baik dan mau bergerak memperbaiki tidak hanya pribadi tapi juga lingkungan. Eeeh tak tahunya adik saya sendiri... -.-a, ini adalah PR besar bagi saya.
Baiklah. Dalam waktu yang besamaan ketika saya mulai menghabiskan waktu mengkonsumsi rangkaian kata milik Hamka dalam bukunya Falsafah Hidup yang diterbitkan tahun 1982. Buku dengan kertas telah menguning, dan beberapa halamannya hilang entah kemana itu saya temukan dalam deretan buku di rak teman saya, punya ayahnya. Pada awalnya saya pikir buku bertema filsafat kehidupan itu akan mengulas panjang dan menjawab ilmu-ilmu filsafat yang kadang banyak mempertanyakan keberadaan Tuhan. Namun, berbeda, bagi saya buku ini simpel, tapi mengena, bicara tentang bagaimana seharusnya hidup, bagaimana mengelola akal, hawa, dan nafsu yang dibenturkan Tuhan dengan realitas dan syariat yang dibuatNya.
Suatu hal yang saya temukan, rupanya filsafat Islam dalam satu abad ini telah dihambat (atau malah dimatikan) perkembangannya. Ingat beberapa tahun lalu ketika saya begitu anti dengan filsafat. Maklum saat itu ilmu masih cetek, walaupun sekarang juga tak pantas dikatakan tinggi. Saat ini juga banyak muslim, bahkan beberapa dari kalangan santri masih membangun benteng antipati untuk membahas filsafat dengan alasan menghindari perdebatan mengenai keyakinan akan ketuhanan. Sayangnya ini terkesan benar, karena dalam waktu yang bersamaan kita disuguhkan dengan produk-produk filsafat lain yang mengacaukan, layaknya komunisme, atheisme, agnostik, dan lainnya. Namun, perlu disadari juga hilangnya filsafat dari bahasan kita juga mengerdilkan pikiran untuk kemudian menelaah dan menemukan konsep ketuhanan yang menenangkan jiwa.
Filsafat berasal dari kata “pilos” yang artinya penggemar dan “sofos” yang artinya hikmat atau ilmu. Jadi bisa dimaknai filsafat adalah kegemaran akan ilmu. Ketika kesukaan akan ilmu ini dihambat, jelas saja akan banyak individu yang tak bergerak untuk mencari ilmu dan makna untuk kehidupannya, dan sangat jelas bahwa virus-virus kebodohan akan merajalela, subur. Dan indonesia sepertinya adalah tempat basah dimana filsafat itu sengaja dihambat (menurut saya) oleh tangan-tangan tak terlihat, maka jadilah bangsa kita terkondisikan dan memang dikondisikan berpikiran pragmatis, sempit-is dan praktis, contoh dalam hal ini adalah output kampus yang berpola pikir sempit, untuk memenuhi kebutuhan pasar, tidak lagi peduli akan perbaikan dan penjagaan segala aspek kehidupan.
Sepertinya ini memang agenda besar untuk mengerdilkan pikiran. Misal lainnya tentang makna mengaji yang sebenarnya berasal dari kata dasar kaji yang artinya mencari makna atas sesuatu, tapi saat ini mengaji dikecilkan maknanya menjadi membaca Al Quran tanpa mencari maknanya, sedangkan sebutan untuk mencari makna atas sesuatu tergantikan dengan kata MENGKAJI. Padahal maksud para ulama dan ustadz terdahulu yang menyebut membaca Al Quran dengan sebutan mengaji adalah memang mencari makna dari ayat-ayat itu sendiri.
Tidakkah di sadari bahwa muslim saat ini disibukkan dengan pemenuhan kebutuhannya pribadi tanpa diiringi pikiran untuk memperbaiki umat. Padahal jelas perkataan Allah “sampaikanlah walau hanya satu ayat.” Atau banyaknya hadits yang bertema habluminannas dan seruan untuk membentuk kebermanfaatan pribadi terhadap sesama. Maka tak mungkinlah seorang muslim hanya memikirkan diri sendiri, dan hidup dengan pola prinsip individualisme, yang katanya mengedepankan tidak terganggunya hak orang lain. Padahal dalam prinsip islam yang mulai dirancukan, kita juga diharuskan menghormati hak-hak orang lain yang sesuai aturan Allah, larangan bersikap zhalim yaitu tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya, mengganggu hak orang lain yang tidak melanggar syariat tidak pernah diperkenankan dalam islam. Namun sayangnya, saat ini hukum Islam diperlihatkan seperti mengekang hak dan memenjarakan kebebasan berekspresi para pengikutnya, padahal ini adalah bentuk penyempitan pola pikir yang membahayakan, yang membuat umat enggan untuk berdisiplin diri dalam beragama.
Atau tentang sibuknya diri kita untuk memenuhi kebutuhan pasar tanpa berpikir bagaimana mencari kepuasan dan ketenangan diri dengan bertuhan dan mencari ilmu serta makna. Padahal agama Islam adalah agama yang mengedepankan akal dan selalu menyerukan penganutnya untuk berpikir dan mengolah fenomena. Lihatlah berapa banyak ayat dalam Al Quran yang menyerukan untuk berpikir atau ditujukan untuk mereka yang mau berpikir.
Terkungkungnya kita dalam kesibukan memenuhi kebutuhan pribadi dan mengenyampingkan perbaikan dalam kehidupan masyarakat membuat bangsa ini jauh tertinggal. Bangsa kita tercetak sibuk, tapi untuk memenuhi kebutuhan perut, miris. Tak pernah lagi berpikir bagaimana memperbaiki akhlak dan moral sumber daya manusianya. Tak lagi berpikir bagaimana ilmu begitu penting untuk dimiliki, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan fisik, tapi juga untuk menghasilkan generasi cerdas yang peduli dan dapat memberbaiki serta mengangkat kembali nama bangsa yang sedang terpuruk.
Kita hidup bukanlah sendiri, kita hidup dengan banyak koloni, tapi memang juga dengan banyak kepentingan. Jangan mau dijadikan sibuk seperti budak pasar yang tak tahu tujuan kecuali menyenangkan tuan yang membayarnya, tanpa punya keinginan untuk merubah keadaaan untuk menjadi semakin baik. Terlalu sayang bila otak yang diciptakan Allah dengan sangat canggih ini hanya terpakai untuk berpikir masalah perut, apalagi jika tak dipakai.
---------------------------------------------------------------------------
Sebuah note yang sebenarnya ditujukan untuk adik saya tercinta,,,
“kapan kita memiliki cara yang sama lagi dalam memandang,,,? aku rindu beriringan bersamamu, semoga Allah segera mengembalikannya untuk membuat kita kembali bersama...”

No comments:

Post a Comment