Aug 1, 2011

misteri dan perubahan, perjalanan dan keikhlasan

Aku benar-benar tidak tahu. Mungkin karena memang kemampuan memahamiku yang terbatas. Aku tak paham mengapa aku di berikan ini dan itu, dipindahkan dari sini ke situ, aku dan segala pertanyaanku pada Tuhan, kenapa aku begini atau begitu.



Setahun yang lalu, ketika aku asik menikmati menjadi penyedia ta’jil di masjid kampus, mengebut dengan kecepatan nyaris 100km/jam untuk membeli berkilo-kilo kurma, karena mepet waktu buka puasa. Aku senang mengingat-ingat itu, warna kuning langit sore yang kemudian menjadi remang, lalu hitam malam. Dalam laci memory yang ku buka, mereka –teman-teman ku, bebas berlalu lalang, mengambil piring-piring kecil berisi 3 butir kurma, dan sebuah gorengan atau snack kecil lainnya, lalu kotak-kotak berisi nasi itu, bertumpuk-tumpuk, heboh kami karena koordinasi yang tak becus, tapi semua terbayar, terbayar rasa ikhlas, atau mungkin hanya bisa di sebut sebagai kesenangan berkumpul yang menyamankan.



Kini aku di sini, rumah ku yang dulu dengan tangisan aku tinggalkan. Namun, masih saja aku bertanya, mengapa Allah ku itu mengembalikanku pada titik ini, setelah Ia jauh mengirimku ke tengah pulau Jawa diarah timur sana...

Atau tentang mutasiku, baru saja 6 bulan aku dipertemukan dengan mereka, tapi dengan mudahnya Allah memprosesnya hingga aku harus dipindah, lagi-lagi dengan yang lebih-lebih tak terbayangkan.



Hamparan sajadah sholat maghribku sore ini membantuku duduk dan berpikir, skenario Allah itu memiliki sisi yang menarik, apalagi kalau bukan sisi misterinya, yang membuatku menebak-nebak apa yang akan Ia berikan, sesuai keninginanku atau tidak, atau paliang tidak, miripkah dengan analisisku mengenai rancangan kehidupan(ku).



Aku pikirkan mengapa Allah memberiku posisi ini. Ditarik dari zona nyamanku di tengah teman yang menyayangiku dan kadang sedikit menyebalkan bagiku, tapi tetap saja menarik, kemudian harus datang dan beradaptasi dengan semua orang yang bagiku baru disini, bahkan dengan keluargaku. Meninggalkan mereka yang mungkin selama 4 tahun, atau baru 3 tahun, atau malah 2 tahun, atau hanya setahun, atau malah baru 10 bulan menemaniku dan menyamankan perasaanku, tapi yang aku tahu aku hanya bisa menjalani ini, sambil terus menerus berucap dalam hati::: kemampuanku lah yang belum sampai untuk memahami mengapa semua ini yang datang (usaha menenangkan diri).



Kalau aku sedang kumat, -tentu saja aku tak lagi bisa menjangkau fisik mereka kecuali satu bulan lalu ketika aku nekat pergi ke sana, entah untuk apa, cari-cari alasan untuk mengambil barang yang ketinggalan, tapi alasan tetap saja berkualitas alasan, tapi (lagi) nyatanya Allah masih membelaku habis-habisan di mata ibu, masih untung barangku memang ada yang tertinggal, dan itu baik untuk jadi bukti konkrit sebuah alasan yang tetap saja berkualitas alasan.

,

Kembali bila aku sedang kumat, seringkali aku meng-SMS mereka dengan isi SMS yang juga mengada-ada, entah itu tentang timpukan batu yang dikembalikan dengan lemparan bunga bersama potnya, atau tentang seseorang secret admirer: anak kedokteran UGM bernama Billa, tentu saja nama panjangnya adalah waBILLAhitaufik walhidayah wassalamualaikum wrwb, atau SMS-SMS: sedang apa? Nonton bola gak? Lagi apa? Aku meridukan kalian, atau bahkan hanya sekedar mengetik namanya. Itu semua hanya representasi dari klausa dalam otak: aku yang rindu. Atau banyak kiriman wall di FB, tentu saja yang lebih-lebih tak jelas, hehe. Baiklah yang jelas, maaf bila itu kesannya mengganggu, sayangnya aku yang sekarang memang lebih tak bisa bersikap asertif terhadap apa yang aku rasakan, lebih banyak merepress dan berujung menjadi SMS-SMS atau kiriman-kiriman wall FB yang tak jelasnya minta ampun.

---------------------------------------------------



Bila aku pikir-pikir, sepertinya setiap kali mendapatkan kedatangan maka aku harus segera mempersiapkan diri untuk menemui kepergian, jika tidak maka siap-siap sajalah bertemu rasa sesak karena harus bertemu kehilangan mendadak.



Kali ini aku merindukan seorang sahabat lama dan semua kenangan Ramadhan bersamanya, aku pikir dia masih akan tersenyum sambil membagikan ta’jil-ta’jil ala mahasiswa di hari pertama Ramadhan tahun ini, tapi nyatanya tidak demikian. Ternyata nasibnya tak jauh beda denganku yang hanya bisa memandang dari jauh, karena ini bukanlah jaman kami. Bisa ku bayangkan perasaannya, mungkin lebih berat menjadi dirinya ketimbang menjadi diriku.



Dalam dinamika psikologis yang ku rumuskan, emosi yang kusebut rindu itu berkembang menjadi arousal yang terus mendesak untuk bisa bergerak keluar, agar ia bisa berhomeostasis terhadap kestabilan emosi, namun ternyata arousal itu hanya bisa ditekan ke dalam agar tak keluar, karena dunia luar benar-benar telah berubah, maka keluarlah ia menjadi letupan-letupan berupa emosi negatif yang aku sebut sebagai kesepian dan mungkin juga kesedihan. Baiklah, itu sebagian emosi yang menerpa si subjek yang mengalami post power syndrome atas organisasi kampus, atau yang malah terkirim jauh ke kota lain.

----------------------------------------------------------

Menyelami skenario Allah, tentu saja akan terus menemukan misteri. Jika tak lagi menemukan misterinya, maka sebut saja itu sebagai masa lalu, yang secara apatis, pragmatis, praktis, dan juga berunsur pesimistis pernah aku simpulkan gunanya hanya untuk diambil ibroh atau dilupakan. Padahal bila dipahami lebih jauh lagi, masa lalu bisa jadi adalah pondasi mendasar, adukan beton yang akan menguatkan topangan diri untuk kemandirian, kedewasaan, dan kestabilan jiwa saat ini.



Jadi, kesimpulan dalam pemikiranku maghrib tadi adalah posisi saat ini bisa jadi adalah ketentuan Allah untuk melihat seberapa berhasil proses pembelajaran di masa lalu, atau malah sedang diberi lagi proses pembelajaran untuk sesuatu yang lebih besar di masa datang. Kesepian, kesedihan, ketidaknyamanan, keheranan, dan semua perasaan tak mengenakkan yang di jalani saat ini adalah rangkaian skenarioNya untuk topangan lain di masa yang akan datang. Karena roda teruslah berputar, membuat kita suatu saat berada di atas, dan lain waktu dikirim ke bawah.

------------------------------------------------------------

tapi, bukankah memang kita tidak baik selamanya terus berada dalam titik yang sama? karena itulah yang disebut sebagai stagnansi atau ketiadaan perkembangan, maka ketika waktu dan jaman itu terus bergerak, tentu saja diri kita pun harus ikut bergerak, bila tak ingin mengalami jalan ditempat yang melelahkan.



Baiklah, mencari sedikit sisi positif dari semua perubahan yang aku rasakan ini, aku bisa membersamai ibuku, memasangkan kancing bajunya, melihat beliau tertawa dan mengalami kenaikan berat badan semenjak aku ada di rumah, sholat berjamaah dengannya, mendengar ceritanya walaupun kadang juga menemukan tingkah lakunya yang bagiku sangat lucu untuk seorang ibu-ibu. Kalaupun aku disana, menyulam senyum bersama mereka, lalu bagaimanakah nasib ibuku? Yang mungkin menyeka air mata menungguku mencairkan batuan beku keegosentrisan.

----------------------------------------

Setiap kedatangan, logikanya akan diikuti dengan kepergian. Kenyamanan, logikanya akan dibayangi dengan ketidaknyamanan, itulah perubahan dalam rangkaian skenario kehidupan, yang sejatinya diperuntukkan agar seorang menjadi dewasa dan bijak dalam memandang hidup. Menyiapkan segala bentuk ketidaknyamanan, untuk bisa berdiri kokoh ditengah hempasan misteri skenario Allah. Karena bila saja kehidupan itu tak dipenuhi dengan misteri, pastilah kita hanya akan duduk berongkang-ongkang kaki, tak berikhtiar apalagi berdoa, terlebih memanjatkan syukur padaNya.



Fabiayyi alaairobbikuma tukadzibaan

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan (QS. Ar Rahman).

No comments:

Post a Comment