Feb 9, 2011

Otak Perempuan dan Polisi

Suatu kali dalam seperempat hari perjalanan bertemu dengan banyak oknum polantas. Polisi, sebuah lembaga atau profesi yang mungkin telah saya masukkan dalam black list. Kalau saja tidak sangat perlu, saya lebih memilih untuk tidak berurusan dengan profesi yang satu ini.



Saya ingat betul sebuah kejadian saat KKN (kuliah Kerja Nyata) yang bertepatan dengan bulan Ramadhan. Jalan ke desa lokasi KKN saya adalah jalan kecil yang biasanya dipakai untuk menyingkat rute semarang-purwodadi agar tidak perlu memutar lewat kota. Jalan yang penerangan di kala malamnya saja tidak ada, jalan yang di samping kanan-kirinya hanyalah hutan karet dan jurang, jalan yang tidak lebih dari 4 meter lebarnya. Namun, memang jalan ini adalah rute alternatif pilihan para supir truk untuk memangkas ongkos transportasi barang. Dan disanalah dua polisi itu memilih tempat berjaga dan melancarkan aksinya.



Ya Allah... saya, teman saya, dan motor saya insyaAllah lengkapkapkap, spion ada, helm ada, intinya tidak ada yang menjadi alasan untuk diberhentikannya kami, tapi kami diminta berhenti. Sebagai warga negara yang baik tentu saja kami berhenti (muter-muter). Saya prediksi ketertarikan itu terdapat pada jaket KKN kami, dan benar saja itulah alasan mereka, saya tangkap bapak-bapak itu mengatakan bahwa yang memakai jaket KKN seringkali pinjam meminjam motor tanpa memerhatikan surat-surat. Di bawah ini adalah dialog kami:

Saya (S); teman saya (TS); polisi 1 (P1); polisi 2 (P2)



P1: minggir dulu dek...STNK dan SIM?

S : ada pak, saya yang punya motor ini, ini STNK dan SIM (kebetulan karena saya sedang sakit, saya dibonceng dan teman saya yang membonceng tidak memiliki SIM)

P2: Lho? Ko gak kamu aja yang nyetir?

S : saya lagi sakit pak, bapak gak lihat saya pucet? (sambil megangin perut)

TS: (speechless)

P1: ya udah, tapi sekarang kamu yang bawa (sambil menunjuk saya).

S : iya pak (sambil turun dan berpikir, tega banget ni polisi kalo gue pingsan dijalan gimana?)

TS: (masih speechless)

Tiba-tiba karena sibuk dengan saya, teman saya, dan motor saya sebuah truk besar yang diberhentikan bersamaan dengan saya mencoba kabur.

P1: WOIII!

P2: dek pinjem motornya,,,



Dan dengan bodoh saya serahkan motor itu

P1: adek tunggu aja dulu disana atau mau masuk ke mobil kalo panas...

S : di sana aja pak, udah biasa kena panas.



30 menit berselang

S : (sudah mulai BT, bad mood, perut saya sudah makin sakit, kepala saya makin tidak karu-karuan) mana temennya pak? Polisi beneran bukan sih, ko lama banget. Baik-baik aja gak nih motor saya?! (kegalakan saya mulai muncul)

P1: tunggu aja dek, lagi ngejar orang, tadi lihat kan?

S : lihat, tapi ini udah lama banget.



Dan datanglah polisi 2 itu dengan motor saya, ngebut dan memutarkan motor saya juga dengan ngebut. Saya termasuk seorang observer yang cukup baik, sedikit saja keganjilan terjadi pada barang-barang yang saya punya insyaAllah saya tahu, tinggal keputusan saya saja , apakah saya akan mempersoalkan atau tidak, dan MOTOR saya berubah bentuknya, lecet parah.



S : pak saya gak punya motor lecet kayak gini!!! Pasti jatoh kan tadi?! (sambil menahan tangis dan mencoba membersihkan lecet di body motor saya, kotor, dan sangat jelas masih baru)



P*lisi 2 yang meminjam, kekeuh tidak mau mengaku, hingga tiga kali saya tanya, tidak mau mengaku juga, akhirnya saya rebut motor saya dan mengatakan:

S: cukup ya pak, saya gak pernah punya motor lecet parah kayak gini, anda p*lisi yang katanya melindungi masyarakat, malah merusak milik masyarakat, saya cukup tau aja. Kerja anda gak bener. (nyerocos)

Setelah itu saya tancap gas.



Temen saya: keren lo Ram,,, (sepanjang jalan dia bermaksud menenangkan saya dan saya hanya bisa diam)



Ya kerenlah, saya mengumpulkan keberanian untuk memarahi polisi-polisi itu selama setengah jam, tapi sekeren-kerennya saya, sampai di pos KKN, sambil memandang dan mengelus-ngelus motor saya yang lecet itu, saya menangis sejadi-jadinya (entah karena takut dengan polisi tadi atau karena motor kesayangan saya lecet parah). Dan lunturlah kekerenan saya siang itu.



Satu lagi ingatan saya mengenai polisi:

Pelanggaran lampu lalu lintas. Saya bertanya dulu, lampu kuning itu berarti hati-hati dan lampu merah berarti berhenti? Dan kami diminta berhenti dengan alasan melanggar lampu lalu lintas warna kuning. Mari tertawa. Kami di bawa ke pos mereka, di introgasi dan diceritakan macam-macam terkait akibat menerobos lampu kuning. Saya memutuskan untuk menjadi observer saja, sambil melihat apa yang akan dilakukan polisi aneh ini. Lama berselang, kami diminta masuk ke ruangan di sebelah pos polisi tersebut, yang ditawarkan pada kami adalah jalan damai (bukan nama tempat), 120 tambah 5 ribu, artinya polisi ini menawarkan kami jasa ilegal dengan membayar Rp125.000,00. Beuuh, mari memulai usaha ngeyel. Kami ngotot agar SIM saja yang diambil. Dalam pikiran saya, “bisa banget ni p*lisi, mentang-mentang plat-nya Z bukan H.”

Akhirnya pak polisi menyerah. Rasanya ingin sekali tertawa menang dan bernyanyi “We are the champion my friend....”

------------------------------------------------------------------------

Sampai hari ini saya belum bisa percaya pada polisi. Seringkali masih mencari-cari maaf saya, untuk satu profesi ini. Perilakunya tidak mencerminkan jargon profesi yang diusungnya, dari mulai yang suka menjebak dengan menaruh ganja agar bisa ditangkap dan dipenjara, jadi nantinya bapak polisi mendapat kenaikan pangkat (bagus), kemudian polisi yang mengurus kasus gayus atau teroris, sebuah pertanyaan mengapa urusan terorisme cepat sekali penanganannya dibanding kasus gayus? Jawaban logisnya adalah karena yang tertuduh teroris tidak doyan sogok-menyogok ke pak p*lisi , apalagi polantas, cukuplah, dilihat darimana pun saya lebih memilih untuk tidak melihat.

-------------------------------------------------------------------------

Melihat polisi bergerombol dijalan selalu saja membuat hipokampus dalam otak saya bekerja lebih. Terbuka kembali ingatan-ingatan lama mengenai kejadian yang tidak menyenangkan terkait dengan polisi, keluar bersama dengan emosi yang saya rasakan saat itu, sangat jelas dan saya pun dapat bercerita detail, bisa jadi karena kejadian tersebut adalah kondisi yang menyakitkan bagi mental saya.



Inilah otak perempuan, tercipta untuk hal-hal detail yang banyak menguras emosi. Setiap kejadian yang menyakitkan akan sangat mudah teringat dan dapat di recall beserta emosi yang menyertainya. Jadi , jangan heran ketika ibu memarahi kita, kesalahan-kesalahan yang pernah kita lakukan sebelumnya akan juga dibahas sampai telinga kita terasa panas.



Sebagian dari penyebab ingatan perempuan lebih baik untuk detail-detail yang berhubungan dengan emosi adalah bahwa amigdala (pusat otak untuk rasa takut, kemarahan dan agresi) seorang perempuan lebih mudah di aktifkan oleh nuansa emosi. Sebagian yang lain disebabkan oleh kapasistas hipokampus (bagian otak yang berkaitan dengan memori) yang relatif lebih besar sehingga ingatan perempuan lebih baik untuk setiap detail pengalaman emosi, baik yang menyebalkan maupun menyenangkan, misalnya kapan terjadinya, siapa yang ada disana, seperti apa cuacanya, atau bagaimana bau tempat tersebut, secara terperinci disimpan dalam satu jepretan indra yang terperinci bahkan tiga dimensi.

-----------------------------------

Ingat dengan pernyataan teman saya? Yang menyebut tindakan saya memarahi polisi adalah sesuatu yang keren? Jujur saja saya tidak berani pada awalnya, makanya di awal saya memilih untuk menyerahkan motor saya ketimbang harus adu argumen dengan polisi. Namun pada akhirnya saya tidak mampu membendung agresi saya pada polisi yang membuat lecet motor saya. Tumpukan rasa tidak jelas, fisik yang tidak nyaman karena sedang sakit dan tersengat matahari, belum lagi perasaan terancam kehilangan barang berharga seperti motor membuat saya meluapkan agresi walaupun hanya secara verbal. Mungkin bagi laki-laki, perilaku tersebut merupakan hal biasa saja, terbukti ketika saya bercerita mengenai masalah ini kepada adik saya, responnya hanya berupa: Kenapa gak lo laporin ke pak Lurahnya, biar tuh polisi di tindak, kenapa lo gak gini gak gitu, dan bla-bla-bla, banyak hal teknis dan sangat fisik yang saya pikir itu merupakan tindakan yang terlalu jauh.



Secara fisik, otak perempuan memang di desain untuk sangat menghindari konflik, karena takut akan membuat orang lain marah dan menghilangkan hubungan, makanya teman saya begitu terpesona ketika saya berani memarahi orang, terlebih dengan profesi polisi. Hehe. Namun, ketika kesabaran seorang perempuan sudah habis, biasanya ia akan melawan objek kekesalannya dengan meledakkan agresifitas verbal bukan fisik seperti halnya laki-laki. Sirkuit verbal pada otak perempuan lebih cepat bekerja sehingga membuat perempuan mampu melepaskan rentetan kata-kata amarah yang tidak mungkin di tandingi laki-laki (dalam kondisi normal saja perbandingan kata-kata perempuan dan laki-laki dalam sehari adalah 20.000:7000, bagaimana bila sedang marah, pastinya lebih mantap). Maka dari itu juga pak polisi 2 jadi diam dan tidak bisa menjawab selain kata “tidak” saat saya berkali-kali protes dan bertanya “kenapa motor saya bisa lecet parah???”

----------------------------

Jangan heran ketika menemukan perempuan banyak bicara, karena otaknya memang telah dirancang untuk seperti itu. Hehe.

Dan ternyata otak saya perempuan sekali. Begitu hebatnya Allah menciptakan makhluknya, bahkan mempersiapkannya untuk membela diri.



Dapus:

Brizendine, Louann. 2010. Female Brain. Jakarta: Ufuk Press.

No comments:

Post a Comment