May 12, 2011

Sepi Dunianya_ cerita tentang Penyandang Spektrum Autisme

Pertama kali melihatnya, hanya berkesan ada sesutu yang tak biasa padanya. Seorang anak tak banyak bicara bahkan tak banyak suara. Kedua kali bertemu dengannya, aku ikut tertawa bersama mereka yang meminjamkan anak ini sebuah sepeda tanpa rem, ia terjerembab, hasil memaksakan sang sepeda berheti, disore hari sembari menunggu anak-anak pulang. Ternyata aku kejam juga.
Kali itu aku bertemu dengannya di koridor, berisik teman-temannya sambil menutup pintu sebuah ruang kelas, lagi-lagi dia tanpa suara memilih berada dalam kelas saja, mungkin dari pada harus berdebat panjang dengan teriakan yang akan membuat semakin ricuh- aku membatin. Lalu ku buka pintunya dan memberikan tanda padanya untuk keluar, tanpa ada kontak mata, ia berjalan keluar, lagi-lagi tanpa suara, aku pilih hanya melihatnya berjalan menjauh.
Atau saat aku mulai merasa ketidakbiasaan itu semakin perlu untuk ditelaah lebih jauh, saat aku mulai mendaftar dan menulis deretan indikator perilaku sebuah spektrum dan memberikan daftar itu pada wali kelasnya, kini kembali aku melihat ia sibuk berjongkok memandangi standar sepeda yang patah. “kenapa kak?” kini aku mulai buka suara padanya, tapi lagi-lagi tak ada suara, hening saja. “ini bu, sepeda saya patah standarnya sama Naufal” teriak sang pemilik sepeda padaku yang masih memandang beragantian antara Naufal dan sang sepeda yang patah standarnya. Tiba-tiba ia menjauh, menempelkan tangan pada sebuah pegangan besi dan menunduk, kembali aku buka suaraku “kakak menyesal?” Ia mengangguk perlahan. “coba kakak ke sini, minta maaf pada rahmat” kataku padanya, tapi kembali tak kutemukan kontak mata. “kakak Rahmat maafin Naufal kan???, ini bisa dibetulin ko kak, tinggal di bawa ke bengkel paling perlu skrup baru aja” kataku berganti pada si pemilik sepeda, rahmat mengangguk yakin.
“Rahmat maafin aku ya” katanya kaku sambil menulurkan tangan, kemudian mematung.
Aku kaget, dia mematung seakan berhenti bernafas, bahkan seperti waktu berhenti untuknya.
“hey kak, gak apa-apa, ibu gak marah... come on...”
masih mematung, ku sentuh pundaknya
“kak,,, ayo lah mamen, biasa ajah...”
tetap mematung, panik juga.
Tiba-tiba Rahmat berkata “udah, kamu gak usah begitu terus aku gak apa-apa..” baru kemudian dia bergerak, seakan nyawanya kembali setelah berjalan-jalan, dan tentu saja setelah itu, tanpa suara ia pergi meninggalkan ku yang masih takjub. Sepertinya aku belum masuk dalam daftar manusia di dunianya.
Setelah daftar indikator perilaku itu terisi, aku masih tak yakin terhadap apa yang tertera di sana, tapi daftar checklist itu terlalu nyaris sempurna untuk tidak dikatakan YA. Dia penderita spektrum autisme, individu yang terkunci dalam dunianya, yang kurang mampu berinteraksi dengan dunia sosial di luar dirinya. Individu yang akan selalu terlihat sendiri, ketika bahagia ia sendiri, begitu pun ketika sedih, kecewa, sakit, sepi, dan untuk membayangkannya saja sudah membuat ku bergidik, ya Allah ia terpenjara dalam dunianya. Tak pandai berkomunikasi, tak pandai bercerita apa yang ia rasakan, ia inginkan, bahkan mungkin apa yang ia butuhkan. Walaupun kita masih bisa melihat respon emosinya, terlebih untuk emosi-emosi negatif seperti marah, sedih, dan takut. Dan diagnosisi itu semakin tertegakkan dengan pernyataan wali kelasnya bahwa orang tua Naufal telah menyatakan bahwa Naufal adalah penderita Spektrum autisme.
Sedikit kita akan bicara tentang spektrum autisme yang kini banyak dibicarakan media. Suatu kali aku berpikir, apakah autisme memang baru saja ada belakangan ini akibat banyaknya radiasi, pencemaran lingkungan, efek rumah kaca, bahan makanan beracun dan sebagainya? atau memang telah ada sejak dulu, namun baru menemukan istilahnya akhir-akhir ini saja? atau seperti pada umumnya informasi yang berkembang di negara kita tercinta, spektrum ini baru disadari masyakarat kita setelah berkembang lama di negara-nagara maju sana alias telat info???
Dalam referensi psikologi autisme adalah sebuah gangguan yang akan disandang penderita seumur hidupnya. Hidupnya akan bersama-sama dengan defisit bahasa, perilaku motorik yang aneh, perilaku repetitif, dan tentu saja kesendirian yang sangat.

Menyebab autisme belum diketahui secara pasti, tetapi diduga akibat abnormalitas otak. kekurangmampuan seorang penderita autisme untuk melakukan kontal sosial membuat mereka kesulitan untuk memiliki hubungan dekat dengan teman sebaya, guru, saudara (kakak atau adik), bahkan orang tua mereka sendiri.

Menurut Psikolog O.Ivar Lovaas (1979) anak-anak penderita autisme memiliki defisit perseptual sehingga mereka hanya dapat memproses satu stimulus saja pada waktu tertentu, cara berpikirnya fokus dan tidak bisa terpecah pada dua atau lebih masalah sekaligus dalam satu waktu. Pada waktu-waktu tertentu mereka akan terlihat sangat sensitif terhadap rangsangan apapun, dan di waktu lain mereka menjadi sangat tidak sensitif sehingga orang-orang disekitarnya akan bertanya-tanya "apakah mereka tuli?"
kekurangmampuan mereka dalam menerjemahkan kondisi lingkungan sosial menyebabkan penderita autisme gagal atau kurang mampu memahami dan menerapkan aturan-aturan sosial.

Maka ketika suatu kali Naufal terlhat berguling-guling dibawah tangga sekolah kami, hanya sebuah kata: "miris" saat ada yang merespon perilaku Naufal dengan memiringkan jari telunjuknya di depan kening, tanda beliau menuduh Naufal "gila", mungkin itu cara terkasarku untuk menceritakan kejadian tersebut. Naufal memang seringkali tak menengok ketika dipanggil, bukan karena ia tuli, tapi memang otaknya yang meminta ia harus fokus pada satu hal saja serta ketidakmampuannya merespon lingkuan sosial membuat ia terus saja berjalan tanpa mempedulikan orang baru yang memanggil membuat Naufal seperti itu.
Namun satu hal yang seringkali menjadi kemampuan luar bisa seorang penderita autis, para psikolog dan sarjana psikologi biasa menyebutnya sebagai Savant Syndrome yaitu kemampuan luar biasa yang tidak akan di miliki oleh orang normal pada umumnya,misalnya saja kemampuan untuk mengetahui hari disebuah tanggal pada berpuluh-puluh tahun yang akan datang, atau yang terjadi pada Naufal adalah kemampuannya untuk mengingat dan menuliskan sama persis apa yang telah ia baca disebuah buku, bahkan tanpa menggeser titik maupun komanya, seperti proses scanning atau foto kopi, benar-benar persis. tulisannya yang rapi, detail dalam mencatat dan mengerjakan soal, dan benar-benar cerdas dalam menyelesaikan soal matematika, itulah keunggulannya ditengah ketidakmampuannya berinteraksi sosial.

Namun lagi, bukan hanya tujuan untuk mengembangkan kecerdasan intelektual seseorang saja dalam pembelajaran sekolah, tapi sebuah sekolah harus pula memiliki tujuan untuk mengembangkan kecerdasan spiritual dan emosional yang mencakup kontak sosial dengan lingkungan yang akan membantu anak didik bertahan (survive) dalam kehidupannya dunia dan sukses kehidupan akhiratnya. maka keadaan Naufal tetap harus dibantu, paling tidak untuk memperkenalkan norma-norma yang dipegang masyarakat untuk dapat bertahan dalam interaksi masyarakat yang terkadang menyudutkan penderita autisme.

pada akhirnya, sudah cukuplah kita yang berdiri sebagai pendidik berlaku layaknya orang awam yang tak paham perbedaan individu khususnya anak-anak. Hentikanlah tawa-tawa tak berguna yang tercipta akibat kita menemukan perilaku aneh putra-putri didik kita. Hentikan itu semua dan ganti dengan sebuah kepahaman tentang Kemahabesaran Allah yang menciptakan manusia dengan berbagai karakter dan keistimewaan, yang bisa membuat kita belajar untuk lebih mensyukuri hidup. wallahualam bis shawab.

No comments:

Post a Comment