Dec 14, 2011

edisi GALAU


Beberapa pekan ini saya sering sekali bertemu dengan kata “galau”. Entah dari mana kata ini bermula, tapi sedikit saja saya menuliskan curahan hati di akun facebook saya, maka tak sedikit yang berkata “nuram lagi galau neeeh..” tidak hanya adik-adik yang saya cintai, tapi juga kakak-kakak yang saya kagumi. Ada apakah dengan galau?
Galau di halaman 407 Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi IV (2008) berarti kacau (tentang pikiran); “bergalau” berarti (salah satu artinya) kacau tidak keruan (pikiran); dan “kegalauan” berarti sifat (keadaan hal) galau. Jadi seandainya seorang itu merasa galau, maka bisa dikatakan dia sedang mengalami pikiran kusut layaknya benang yang bergumpal, sulit menemukan dimana ujung dan pangkalnya.
Namun, benarkah yang dimaksud orang-orang disana mengenai galau adalah pikiran kusut? Dalam pemaknaan saya, sepertinya galau yang menjadi fenomena itu lebih mendekati makna kegundahan hati ketimbang pikiran kusut. Gundah dan cemas terhadap sesuatu, yah tidak sampai pada anxiety sih, tapi nampaknya perjalanannya menuju definisi stress, semoga tak sampai depresi, hehe...
Sebenarnya bahasa Indonesia menyediakan kata lain yang lebih tepat, “gundah”. Di KBBI, “gundah” berarti sedih, bimbang, gelisah. Dilengkapi menjadi “gundah gulana” berarti keadaan sangat sedih atau sedih dan lesu. Untuk suasana hati yang sering disebut tengah “galau” rasanya lebih pas bila mengatakannya tengah “gundah.” Tapi saya bukan bermaksud mengubah fenomena kata galau menjadi gundah, biarlah, hanya ingin sedikit membahasnya dari sisi psikologis agar nantinya yang sedang mengalami masa-masa galau dapat menstabilkan emosinya yang bergejolak.
Mengapa mereka semua bisa galau?
Bila dalam teori psikoanalisis milik Freud, kita akan megenal kecemasan dan mekanisme pertahanan, kecemasan inilah yang menurut saya mewakili makna “galau” yang fenomenal itu, sedangkan menggalau dengan banyak kata-kata dan curhat colongan di akun jejaring sosial itu adalah manifestasi perilakunya, yang bisa jadi merupakan usaha menstabilkan diri melalui mekanisme pertahanan ego. Apa sajakah itu? Kita bahas nanti, sekarang perhatikanlah terlebih dahulu status-status galau yang sering terpampang di beranda facebook kita (mungkin termasuk juga status saya-hehehehe) kata-katanya akan cocok bila di masukkan dalam macam mekanisme pertahanan ego milik freud.
Misal dengan status ini, saya ambil dari seorang yang tak begitu saya kenal, tapi dua malam ini menghiasi beranda saya dengan kalimat menggalaunya: “mungkn sikap gue akan sedikit berubah,karena lw yg merubahnya.. tapi rasa sayang gue ga akan pernah berubah” (aseeek-red), “Ak rasa sikapmu mulai berubh sama aku.... Qt smkin jauh ajh..” (deketin donk pake lem-red). Dua status ini masuk dalam pembentukan reaksi yaitu menukar suatu impuls atau perasaan yang menimbulkan kecemasan dengan melawannya dalam kesadaran, sedangkan status lainnya (masih dari orang yang sama-hehe) “galau mulai menghantuiku” nah yang ini termasuk dalam rasionalisasi yaitu menciptakan alasan yang “masuk akal” untuk menjelaskan disingkirnya ego yang babak belur. Dan lainnya lah, yang merupakan usaha untuk melakukan sirkulasi emosi.
Namun, satu hal yang saya pikir kurang dari kondisi ini adalah bentuk problem solving yang tidak terbahas, sehingga kegalauan itu akan menetap tetap menjadi galau tanpa kemudian terselesaikan. Ketika bertemu masalah, selayaknya individu dewasa memperhatikan kemampuan dan potensinya untuk memecahkan masalah, bukan “melarikan diri” dengan memilih mekanisme pertahanan ego. Walaupun pada dasarnya kondisi ini tak mengapa dipakai, asal tak terlalu lama. Macam penstabilan emosi melalui mekanisme pertahanan ego seperti
1. Represi: sarana pertahanan yang bisa mengusir pikiran serta perasaan yang menyakitkan dan mengancam keluar dari kesadaran,
2. Memungkiri: cara mengacaukan apa yang dipikirkan, dirasakan, atau dilihat seseorang dalam situasi traumatik,
3. Pembentukan reaksi: menukar suatu impuls atau perasaan yang menimbulkan kecemasan dengan melawannya dalam kesadaran,
4. Proyeksi: memantulkan sesuatu yang sebenarnya terdapat dalam diri kita sendiri ke dunia luar,
5. Penggeseran: suatu cara untuk menangani kecemasan dengan menyalurkan perasaan atau impuls dengan jalan menggeser dari objek yang mengancam ke “sasaran yang lebih aman”,
6. Rasionalisasi: menciptakan alasan yang “masuk akal” untuk menjelaskan disingkirnya ego yang hancur,
7. Sublimasi: cara untuk mengalihkan dorongan yang ada kesaluran lain, yang secara sosial umumnya bisa diterima.
8. Regresi: berbalik kembali kepada prilaku yang dulu pernah mereka alami,
9. Introjeksi:mekanisme untuk mengundang serta “menelaah” sistem nilai atau standar orang lain,
10. Konpensasi: menerima sesuatu sebagai akibat dari apa yang di lakukan atau dirasakan
11. Penghapusan: perilaku berusaha melupakan atau meniadakan masalah atau emosi yang tidak diinginkan.
Tetaplah sesuatu yang masih bisa di toleransi, hanya saja berbatas waktu. Secara sehat saya pikir begitu, hehe.
Seringkali secara tidak disadari mekanisme pertahanan di atas akan langsung terpakai, namun setelahnya, setelah kita menyadarinya bentuk-bentuk penstabilan emosi ini telah terjadi dalam diri kita, bukanlah mandeg dan terkurung dalam kesulitan yang terus saja kita lakukan. Lakukanlah pemetaan kekuatan saat ini dan masa depan, hadirkan kembali impian yang diinginkan, bayangkan orang-orang yang membutuhkan cinta dan perhatian diri kita, sepatutnya menjadi penyemangat untuk bangkit dan segera menyelesaikan masalah kita saat ini, serta tak lupa tersenyum memandang dunia dengan yakin dan optimis.
Yah istilah mudahnya, menggalau menurut saya tak pernah menjadi salah jika dilakukan sesekali, tapi tak mungkin ditoleransi bila terjadi berkali-kali dan seringkali bahkan selalu-kali.
Dan terakhir sesuatu yang saya suka dalam pemahaman atas “galau” menurut salah seorang kakak saya, kegalauan hadir agar manusia mengakui kelemahannya. Agar manusia berpasrah atas usahanya. Dan ujungnya adalah menyadari untuk menjadikan Tuhan-lah satu-satunya titik pemberangkatan dan akhir tujuan.
Fa inna ma’al usri yusroo,
Inna ma’al usri yusroo,
Faidza faroghta fanshob,
Wailaa robbika farghob.
GALAU >>> God Always Listening and Always Understanding

No comments:

Post a Comment