Dec 4, 2010

Menimbang Ukhuwah

Menimbang Ukhuwah



Beberapa kali aku ingin menulis tentang ukhuwah, tapi berkali gagal mungkin karena sedikit banyak aku sedang menyiakan ukhuwah yang diamanahkan. Seberapa manisnyakah ukhuwah? Aku tuliskan sedikit cerita tentang ukhuwah yang menopang kehidupanku hingga aku bisa berdiri tegak di sebuah kota asing selama empat tahun belakangan.



Aku menemukan mereka ketika menjadi sebatangkara di sebuah kota asing. Mungkin dalam ukhuwah ini, sering kali aku menjadi tokoh antagonis yang membuat mereka tidak nyaman, kadang menjadi sangat keras dan banyak menuntut pada mereka yang aku anggap mampu memberikan sesuatu yang lebih baik dari apa yang mereka berikan. Esensi ini tidak pernah aku buka, biarlah seakan aku yang paling aneh, asal ujungnya adalah kebaikan bagi semua, tak menjadi masalah.



Memuncak ketika typus meyerang tubuhku yang memang sering sakit, aku pahami ukhuwah itu benar manis. Semenjak kuliah dan jauh dari rumah, sedikitnya tiga penyakit kronis ala mahasiswa menempel di tubuhku, seringkali pulang dengan keadaan dekil dan kulit menghitam yang kadang menjadi pertanyaan ibu padaku, “hehe hasil hidup jauh dari perawatan ma...” celetukku. Seketika aku merasakan betapa hebat ukhuwah itu, selalu ada yang mau mengantarku ke dokter, menunggui di rumah sakit, membawakan kasur dan karpet untuk alas tidur bapakku, menjadi pelawak di kamar rawat inap, menjadi supir ojek dadakan untuk bapak yang harus bolak-balik mengurus ASKES dan biaya rumah sakit, sampai jadi agen tiket kereta.



Aku mulai menimbang ukhuwah ini.



Ketika rasa kecewa, sedih, marah mulai memasuki hati yang kosong, aku mencari-cari maafku untuk kesalahan kecil yang mereka lakukan.



Padahal dibanding rasa itu, berapa banyak kebahagiaan yang terhadirkan saat bersama mereka.



Teringat ketika aku mulai mengenal organisasi di tingkat universitas yang ternyata lebih dingin dari apa yang aku bayangkan sebelumnya, hipotermia akan kehangatan organisasi menyerang hati dan otakku. Tahun pertama aku di organisasi itu, saat lokakarya, aku kirim SMS kepada satu persatu teman seperjuangan di fakultas, aku memilih bolak balik ke tempat wudhu untuk menghapus air mata yang jatuh tanpa kompromi dulu dengan otak. Di hari kedua, aku memperjuangkan kebersamaan bersama mereka, ngawul dan berteriak bersama, berpeluh dan tertawa, meninggalkan dua jam lokakarya, hanya untuk bersama mereka. Atau tentang seorang yang menawarkan bantuan agar rasa dingin itu berkurang, terimakasih aku tersanjung sungguh (mungkin orangnya sudah lupa hehe). Atau tentang dua hari bersama seorang yang sakit giginya, yang berbahagia karena kembali menjadi bayi dan menikmati belaian uminya. Atau tentang hari-hari bersama fans berat einstein dan doraemon yang kesal di hari wisudaku karena telponnya tidak aku angkat.



ingat juga dengan sebuah perjanjian bersama mereka, di depan pintu syurga. Kami akan saling menunggu agar bisa masuk bersama-sama karena ukhuwah kami, akan menjadi pembela ketika ibu bendahara kami tertahan akibat utang-piutang yang belum terselesaikan. Indah dan membahagiakan.

--------------------------------------------------------

Di ujung keberadaan ku di kota yang nanti mungkin akan kembali menjadi asing bagiku, saat aku akan kembali ke rumah di kota tempat aku dibesarkan, yang sekarang terasa asing dan terlalu besar. Aku mulai merasa sendiri dan tertinggal. Aku mulai menyalahkan mereka yang tak kunjung menghubungi aku saat mengambil keputusan-keputusan penting, mulai merasa tak nyaman karena ketidaktahuan yang aku rasakan, asing.



Aku mulai berbohong pada diriku sendiri dengan bersikap seperti anak kecil, aku kembali menjadi mudah marah dan egosentris, aku kembali memaksakan diri untuk tidak peduli, padahal aku peduli, hanya saja aku mulai bingung dengan bagaimana cara untuk menyalurkan kepedulian itu.



Menjauh dari mereka adalah sebuah perjuangan ternyata. Menjadi sulit karena dekapan ukhuwah ini sebuah zona nyaman yang berat untuk ditinggalkan. Satu-satu mereka ibarat puzzle yang memiliki bentuk dan tempatnya masing-masing, akan tetap berada di sana dan akan tetap aku pertahankan di sana.

Semuanya, tidak hanya mereka yang tumbuh besar bersama ku di fakultas, tapi juga yang aku temui di luar fakultas.



Aku mencari maafku dan aku harap juga ada maaf untukku.

-----------------------------------------------------------------------

Ukhuwah ini adalah hadiah yang Allah beri, sebuah bentuk kasih sayang yang terkadang tidak aku temukan dalam hari-hariku di rumah. Bukan berarti keluargaku tidak memberikan kasih sayang, hanya saja, rasanya berbeda, manis dan pahitnya berbeda.

-----------------------------------------------------------------------

Aku kembali menimbang ukhuwah ini, sembari membaca buku “dalam dekapan ukhuwah.” Kutemuka sebuah puisi, tepat saat aku mulai membukanya, mungkin Allah sedang membantuku berjuang untuk menjauh dari mereka dengan lapang dada.



Bata demi Bata, Menara Cahaya



Kau mengatakan,

“dalam tiap takdir kesalahanmu padaku,

Aku senantiasa berharap takdir kemaafanku mengiringinya”

Ku Jawab lirih, “Dalam tiap takdir kejatuhanmu,

Semoga takdir pula uluran tanganku.”

Maka kita pun bersenandung,

“Dalam takdir ukhuwah kita,

Semoga terbangun kokoh menara cahaya,

Tempat kita bercengkrama

Kelak di syurga.”

-------------------------------------------------------------- Salim A. Fillah



Untuk semua kenangan indah yang pernah aku dapatkan, berharap Allah selalu melindungi mereka.

Amin allahuma amin.

---------------------------------------------------------------

Di tengah rasa yang tidak terdefinisikan...

di ujung hari-hari bersama mereka...



terima kasih banyak, jazakumullah khoiron katsir.



Belajar bersyukur dengan setiap apa yang Allah beri, seperti apapun itu, pastilah memiliki makna, entah untuk saat ini atau hari esok, entah untuk di dunia ini atau di akhirat nanti.



(selamat menempuh amanah baru, barakallah ^^b)

No comments:

Post a Comment